Oleh: Zamal Nasution, PhD.
Pakar Kependudukan, Dewan Pakar Timnas Anies-Muhaimin
Indonesia memang bukan negara Islam, namun konstitusi beserta undang-undang dan peraturan daerah sangat kental dengan keyakinan para perumusnya yang merupakan mayoritas Muslim. Begitu juga dengan regulasi pernikahan yang mewajibkan bahwa pasangan harus terdiri dari perempuan dan laki-laki dewasa. Terkait kedewasaan ini, Undang-undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 mempersyaratkan usia minimal 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki. Usia 19 tahun ini merupakan konsensus hasil judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor 22 tahun 2017 karena kriteria usia anak di Indonesia bervariasi secara sektoral.
Undang-undang Perlindungan Anak mengklasifikasi usia anak yaitu sejak bayi hingga usia 18 tahun. Pasal 45 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menganggap anak belum cakap hukum jika berusia di bawah 16 tahun. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan pekerja anak untuk individu yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur anak yang berkonflik dengan hukum pada usia 12-18 tahun. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menetapkan kategori anak jika masih berusia di bawah 18 tahun. Melihat standar di negara lain, Nepal menetapkan batas usia anak hingga 20 tahun, Amerika 21 tahun, dan Inggris 18 tahun. Bervariasinya batas usia anak merefleksikan kebingungan negara dalam menggunakan standar universal kedewasaan fisik dan psikologis.
Pernikahan merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban, serta berdampak hukum karena berkaitan dengan pembagian harta suami istri dan waris. Hanya manusia dewasa yang bisa menghayati hukum pernikahan, serta hak dan kewajiban sebagai keluarga. Terkait standarisasi usia menikah, sebagai negara mayoritas Muslim, Indonesia perlu mempertimbangkan tinjauan agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Kapasitas Berpikir sebagai Landasan Menikah
Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21 menyatakan bahwa pernikahan terdiri dari pasangan perempuan dan laki-laki yang saling menyayangi dan mengasihi. Dalam ayat tersebut ditambahkan bahwa kasih dan sayang dalam pernikahan dilandasi kemampuan berpikir dan kesadaran tanggung jawab. Ayat yang juga berkaitan yaitu surat An-Nisaa ayat 6 dan 5 dengan perintah pasangan yang akan menikah untuk diuji kecerdasannya dan kesempurnaan akalnya. Hanya manusia berakal yang mampu menghayati perintah menikah, bahwa perkumpulan perempuan dan laki-laki non-muhrim haram hukumnya kecuali setelah akad nikah. Generasi yang lahir dari pernikahan harus lebih baik, sementara statistik menunjukkan anak yang lahir dari pernikahan anak akan meningkatkan resiko gizi buruk.
Para ulama bersepakat bahwa masa-masa akil baligh atau pubertas yang terlihat dari perubahan organ tubuh anak perempuan dan laki-laki. Mayoritas anak perempuan akan mendapatkan menstruasi pertama, sementara anak laki-laki akan mengeluarkan sperma lewat mimpi basah. Terdapat kemungkinan anak perempuan terganggu mesntruasi pertama dengan mundurnya dari usia 10-14 tahun, namun sangat jarang ditemukan anak laki-laki yang gagal keluarnya sperma pertama karena terlambatnya produksi hormon testosteron dan sistem endokrin kecuali karena kegagalan fungsi organ. Tanda pubertas ini umumnya menjadi stigma bahwa Islam menganjurkan pernikahan sedini mungkin. Bila dicermati ayat-ayat yang seharusnya berkaitan, maka anjuran nikah dini tersebut tidak tepat karena fungsi reproduksi merupakan salah satu komponen pernikahan.
TERKAIT :
- Zamal Nasution: Pekerja Migran Indonesia Terselubung di Perbatasan Thailand-Malaysia
- Zamal Nasution: Darurat Perkawinan Anak Di Indonesia (Bagian Pertama)
- Zamal Nasution: Darurat Perkawinan Anak Di Indonesia (Bagian Kedua)
- Zamal Nasution: Darurat Perkawinan Anak di Indonesia (Bagian Ketiga)
Anak yang telah pubertas telah menjadi subyek hukum Islam karena berada pada masa transisi dari anak menjadi orang tua. Dia tetap menjadi anak dan berada dalam tanggung jawab orang tuanya, kecuali jika sudah menikah dan membentuk keluarga baru. Masa pubertas tersebut perlu disyukuri karena sempurnanya sistem reproduksi, namun tetap diatur agar jangan sampai mendekati zina atau aktivitas yang mengarah pada hubungan seksual di luar pernikahan (Surat Al-Isra ayat 32).
Sebuah artikel menggambarkan bahwa generasi abad 21 lebih cepat pubertas namun terlambat dewasa/matang secara emosional dibanding generasi abad 20. Situasi ini sesuai dengan anjuran dalam Islam untuk menikah tidak hanya karena alasan matangnya sistem reproduksi, sebab kedewasaan berpikir lebih penting dalam pernikahan. Proses pendewasaan berpikir hendaknya diisi dengan menjaga kesucian melalui aktivitas keseharian dengan penambahan ibadah seperti berpuasa (Surat An-Nur ayat 33). Proses pendewasaan berpikir terkait dengan kematangan fungsi otak yang dijelaskan oleh teknologi kedokteran.
Kematangan Fungsi Otak
Para ahli neurologi bersepakat bahwa otak manusia normal mencapai usia kematangan pada tahun ke-25 sejak kelahiran. Pada tahun ke-25 ini pusat pengatur kecerdasan, panca indera, ritme tubuh, dan psikologis mulai bekerjasama secara maksimal. Otak terdiri dari 3 bagian yang memiliki fungsi masing-masing pengaturan yang kemudian bekerjasama menjadi sentral koordinasi manusia. Usia remaja merupakan periode transisi dari anak-anak menuju dewasa. Kedewasaan diukur dari kematangan intelektual, jasmani, hormonal, dan sosial. Kecepatan kematangan otak setiap anak dipengaruhi faktor keturunan, lingkungan dan pembentukan hormon (estrogen, progesteron, dan testosteron). Dikarenakan 3 faktor tersebut, ada sebagian kecil anak yang lebih cepat matang dan luar biasa pemikirannya. Anak-anak tersebut memiliki kecerdasan unggul dari kebanyakan di usia sebayanya.
Dikarenakan otak yang masih masa perkembangan, anak usia remaja belum bisa utuh memperkirakan resiko atas konsekuensi aktivitasnya. Maka, banyak kejadian remaja yang membahayakan dirinya dan orang sekitar, tanpa didahului niat atau perencanaan sistematis. Mereka tidak membayangkan bahwa dampak dari perbuatannya melewati perkiraan awal, yang sering disebut sebagai kenekatan. Situasi ini merupakan refleksi dari belum sempurnanya sistem limbik dan prefrontal cortex. Sistem limbik berperan dalam pembentukan dan kontrol tingkah laku/emosi, sedangkan prefrontal cortex berperan menyimpan memori kebiasaan yang akan membentuk kepribadian.
Semua anak lahir suci dengan otak yang mengarahkan pada kebaikan, jika ada anak yang berlaku kriminal maka dipastikan dorongan tersebut berasal dari luar diri anak. Anak dan remaja yang dibiasakan dalam lingkungan yang kondusif, sistem dalam otaknya akan melarang mendekati perilaku keburukan. Sebaliknya, anak dan remaja yang kemudian melanggar norma tentu disebabkan pembiaran dan pembiasaan.
Kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol terbawa dari masa kecil dan jika diteruskan akan semakin meningkat menjadi kebiasaan kriminal di usia dewasa. Maka, jika ditemukan anak berperilaku seperti orang dewasa, dipastikan itu meniru dan bukan dari perkembangan alamiah. Ini juga berimplikasi pada subyek hukum, dimana anak dan remaja seharusnya mendapatkan pembinaan dari ahli psikologi bukan dipenjara.
Pernikahan Usia Dewasa
Selaras dengan anjuran Islam untuk menguji kemampuan berpikir sebelum menikah serta kematangan otak pada usia tahun ke-25, maka solusi atas fenomena pernikahan anak seharusnya fokus pada penyebab. Masa anak dan remaja merupakan periode bermain dan belajar untuk peningkatan kapasitas berpikir. Mereka secara perlahan dididik menerima tanggung jawab atas dirinya sendiri, dan belajar bertanggungjawab sosial. Pada masa pembelajaran ini seharusnya mereka tidak diijinkan bereksperimen dengan bertanggungjawab mengasuh rumah tangga individual. Menurut statistik, peluang kegagalan pernikahan akan mengecil seiring bertambahnya kematangan usia. Pernikahan anak dan remaja merupakan kegagalan pemerintah, keluarga, dan masyarakat dalam mendidik generasi muda.
Banyak aktivitas yang seharusnya tersedia bagi para anak dan remaja, dengan memperbanyak ruang berekspresi seperti olahraga, musik, dan keagamaan. Islam bahkan menganjurkan para remaja untuk mengendalikan fungsi reproduksinya dengan berpuasa. Berpuasa yang sesuai dengan tuntunan agama yakni mengurangi konsumsi, memperbanyak ibadah, mencukupkan istirahat, dan menundukkan pandangan. Puasa yang ditekuni secara ideal di masa anak dan remaja akan berdampak pada kebiasaan pengendalian emosi dan kesehatan mental. Puasa yang berarti delay gratification akan mendidik anak dan remaja untuk menjauhi perzinaan yang mendominasi penyebab pernikahan dini.
Dispensasi pernikahan anak hampir seluruhnya direkomendasi hakim pengadilan agama jika alasannya pasangan sudah melakukan zina. Pernikahan bermakna moralitas seksual yang membedakan hewan dengan manusia, dimana menikah bukan hanya pertimbangan reproduksi namun juga kematangan otak dan kedewasaan berpikir. Untuk itu, pernikahan anak harus dilarang secara sistematis dengan menyediakan solusi atas penyebabnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Off The Record

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Saatnya Meninggalkan Perangkingan

Jejak Dua Tokoh Nasional di Era SBY, Diduga Menitip MRC ke Mantan Dirut Pertamina

Mikul Duwur Mendem Jero

Novel “Imperium Tiga Samudra” (9) – Prometheus

Negeri Yang Menukar Laut Dengan Janji dan Rel Dengan Ketergantungan

Misteri Kebahagiaan

Masa Depan ITS

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3



No Responses