Soni Fahruri: Ormas Kelola Tambang Batubara, Apa Yang Keliru?

Soni Fahruri: Ormas Kelola Tambang Batubara, Apa Yang Keliru?
Soni Fahruri, Founder dan CEO Centre for Energy and Innovation Technology Studies (CENITS)

 

JAKRTA – Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara langsung menjadi perdebatan publik sampai hari ini. Beleid ini membuka kesempatan bagi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk memiliki konsesi wilayah tambang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 83A.

Mereka yang menentang pelibatan ormas dalam kegiatan pertambangan, apalagi ormas keagamaan, umumnya menilai kebijakan tersebut adalah trik untuk membungkam nalar kritis, “suap” supaya ormas diam terhadap berbagai persoalan sosial dan lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang marak terjadi. Bahkan lebih jauh, disebutkan sebagai upaya adu domba ormas dengan masyarakat demi menyelamatkan penguasa tambang.

Di kutub berseberangan, mereka yang sepakat ormas diberi izin mengelola tambang berargumen bahwa apa yang dilakukan pemerintah adalah perintah konstitusi, memberikan kesempatan yang sama kepada warga negara. Nahdlatul Ulama (NU) menjadi ormas pertama yang segera punya lahan konsesi di bekas wilayah tambang batubara milik KPC.

Founder dan CEO Centre for Energy and Innovation Technology Studies (CENITS) Soni Fahruri berpendapat polemik pemberian izin wilayah usaha pertambangan untuk ormas keagamaan mesti dilihat dari kacamata lebih luas yaitu pemenuhan ketersediaan energi.
Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa izin yang disiapkan untuk ormas seluruhnya berada di wilayah tambang Batubara.

Menurut Soni, PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) secara jelas menyatakan bahwa bauran energi primer yang dipergunakan oleh Indonesia, dalam upaya pemenuhan penyediaan dan pemanfaatan energi antara lain energi baru dan energi terbarukan, minyak bumi, batu bara, dan gas bumi.

Peran batubara dalam bauran energi secara prosentase mengalami penurunan, namun meningkat secara kuantitas. Hal ini dapat dilihat dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Pada tahun 2025, bauran energi untuk batubara lebih dari 30% dan akan menjadi sekitar 25% pada tahun 2050.

”Ini berarti sumberdaya batubara masih memegang peranan penting dalam penyediaan energi bagi rakyat Indonesia hingga tahun 2050,” ujar alumnus Teknik Sistem Perkapalan ITS ini.

Berangkat dari hal ini, Soni yang juga menjabat mencatat sedikitnya ada empat hal yang penting. Pertama, pelibatan ormas keagamaan dalam aktivitas pengelolaan tambang dapat dipandang sebagai upaya salah satu upaya untuk mendorong terpenuhinya target bauran energi, sekaligus implementasi sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945.

Sudah menjadi rahasia umum, aspek pendanaan masih menjadi kendala ormas di Indonesia pada umumnya. Kenyataan tersebut disampaikan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, juga diakui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf.

Hasil dari pengelolaan tambang diharapkan menjadi sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan operasional dan pengembangan organisasi. Dengan demikian, hasil tambang tidak hanya dinikmati segelintir orang melainkan juga anggota ormas keagamaan.

Kedua, bagaimana pun, semangat PP 25/2024 tetap memperbesar penerimaan dan devisa negara. Lahan konsesi yang disiapkan untuk ormas keagamaan adalah wilayah tambang yang masa kontraknya sudah habis sehingga tidak berproduksi. Tetapi, cadangan atau kandungan batubaranya masih besar.

Pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan otomatis memunculkan investasi baru, yang berarti pendapatan bagi negara berupa pajak perusahaan, penermaan negara bukan pajak dan sebagainya. Khusus untuk ormas Islam juga kegiatan produksi dan perdagangan dari konsesi yang diberikan juga dikenai zakat mal barang tambang.

Ketiga, apabila kita tengok, pelaku usaha sumber daya mineral dan batubara justru banyak perusahaan asing. Selama berpuluh-puluh tahun, mineral dan batu bara dikeluarkan dari perut bumi Indonesia lalu diangkut melalui kapal-kapal keluar dari wilayah Nusantara ini. Banyaknya pelaku usaha asing di bidang tambang, kalau tidak disebut dominan, selama ini menjadi salah satu hal yang kerap dikritik. Kalau bisa dikelola sendiri, kenapa diberikan untuk asing?

Patut diingat bahwa bangsa Indonesia sudah banyak memiliki anak yang ahli di bidang pertambangan. Jurusan Teknik Pertambangan, Teknik Geologi dan jurusan lain yang berkaitan dengan pertambangan, tersebar di hampir semua kampus ternama di Indonesia. Mereka pun sudah berpengalaman di industri pertambangan, dan sebagian besar dari mereka memiliki kedekatan atau afiliasi dengan ormas keagamaan seperti NU.

Lagipula, faktanya selama ini industri tambang juga tidak melulu dikelola ahli tambang atau miner. Sudah hampir tiga dasawarsa kaum banker (perbankan) dan trader menguasai dunia pertambangan. Para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) selama ini ada sebagian bukan orang-orang dari jurusan tambang. Namun mereka punya kemampuan manajerial dalam mengelola bisnis tambang dengan bantuan para konsultan, kontraktor, dan ribuan pekerja tambang.

Oleh karena itu, ormas keagamaan yang diberikan izin untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), setidaknya harus memiliki 4 (empat) kemampuan yakni: administrasi/manajemen, teknis, keuangan, dan pengelolaan lingkungan. Bukan hal yang terlalu sulit untuk memenuhi empat kriteria itu. Ormas dapat saja membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kader-kader maupun profesional yang memang punya kualifikasi tersebut.

Kesempatan bagi ormas keagamaan untuk mengelola sumber daya alam yang diatur dalam PP 25/2024 sudah semestinya dibaca sebagai jawaban atas kritik penguasaan asing pada sektor tambang. Kepercayaan yang diberikan menjadi anak tangga bagi Indonesia menuju kemandirian.

Keempat, setiap kegiatan pemanfaatan sumber daya alam berpotensi akan menimbulkan kerusakan lingkungan, kendati levelnya bisa berbeda. Sebenarnya hal ini telah diantisipasi dan dimitigasi lewat sejumlah regulasi, misalnya penekanan lolos Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), kewajiban reklamasi pascatambang dan sejumlah regulasi lain. Tetapi masalah yang umum terjadi adalah aturan tidak bisa tegak di lapangan. Dan, hal semacam ini bukan monopoli sektor pertambangan. Seandainya aturan bisa ditegakkan, tentu potensi masalah kerusakan lingkungan yang timbul akibat kegiatan pertambangan bisa dikelola dengan baik.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K