Oleh: Jamil Siregar
Pada pertengahan tahun 1990 an (- hari dan tanggalnya lupa – ) saya pernah menulis di majalah terbitan Jogyakarta yang alamat redaksi Jl KHA Dahlan no 43, yaitu majalah SUARA MUHAMMADIYAH.
Artikel singkat yang hanya 1 halaman tanpa illustrasi maupun foto sebagai data dukung menurut saya cukup padat dan akurat.
Saat itu, sebuah buku karya futurolog Alfin Toffler yang berjudul The Third Wave telah mencapai best seller sebagaimana buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari.
Alfin Toffler pada karyanya yang bertajuk The Third Wave atau dalam terjemah sederhana ialah Gelombang Ketiga, berupaya memaparkan perjalanan peradaban umat manusia dari era pertanian, era industri dan akhirnya pada era baru yang dinisbatkan sebagai the third wave atau gelombang ketiga sebagai kontinuitas era industri sebagai titik gelombang kedua.
The third wave, menurut Alfin merupakan era teknologi informasi setelah ditemukannya serat optik atau optic fibre sebagai piranti yang mampu membawa perubahan laju informasi yang melesat pesat ke seluruh jagat.
Sehingga setiap yang terjadi di suatu titik yang sangat tersembunyi pun, dalam waktu yang sangat singkat bisa dapat di ketahui oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun.Oleh sebab itu, era teknologi informasi sebagai the third wave identik dengan globalisasi. Setitik informasi dapat segera menjadi berita global.
Mengapa globalisasi identik dengan westernisasi atau pembaratan?.Jawabnya teramat sederhana, karena pemilik teknologi informasi adalah dunia barat.
Aksiomanya begitu jelas, siapapun pemilik teknologi informasi, dialah pengendali sekaligus suplaiyer informasi yang wira-wiri di persada dunia ini.
Karena dunia barat adalah pemasok sekaligus pengendali informasi, maka dari barat budaya bangsa melakukan infiltrasi ke timur.
Jangan heran, jika panggung lenong tiba² berubah menjadi panggung break dance atau tari patah² karena masyarakat Jakarta gandrung dengan J. Travolta.
Kini, teknologi informasi semakin meroket. Ketika masyarakat tengah tertegun layar sentuh pada android yang semakin familiar dengan siapapun, lagi-lagi masyarakat dibuat tertegun dan terkagum dengan penemuan baru teknologi Artificial Intelligence/AI. sebagai bentuk kecerdasan buatan yang menyelusup ruang dan waktu.
Saya menjadi teringat dengan pidato Bp Dahlan Ihsan. Bahwa saat ini, kebenaran ada dua macam, yaitu : Kebenaran lama dan Kebenaran baru.
Kebenaran lama ialah sajian kebenaran yang berdasarkan data, fakta dan realita. Adapun kebenaran baru ialah sajian sebuah kebenaran yang berupa framing semata.
Framing yakni kondisi kebenaran hasil penggiringan opini via media sosial baik berupa tulisan-tulisan berupa distorsi informasi, gambar-gambar atau video-video yang diedit dengan sangat sempurna.Terlebih dengan aplikasi AI atau Artificial Intelligence, maka banyak masyarakat menjadi penikmat Kebenaran baru yg tidak pernah merasa ragu.
Oleh sebab itu, kita harus bisa cerdas agar tidak melulu menikmati kebenaran baru.
Sebab data, fakta dan realita adalah kesahihan kebenaran yang tidak pernah bisa basi sekaligus bukan permainan kata sekedar basa basi
EDITOR: REYNA
Related Posts

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai

Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Sebuah Kereta, Cepat Korupsinya

Menata Ulang Otonomi: Saatnya Menghadirkan Keadilan dan Menata Layanan

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon



No Responses