Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, @Rosyid College of Arts
Merenungkannya hari ini, sebagai generasi baby boomer sekaligus anak dari seseorang pengagum M. Natsir, saya memahami Piagam Jakarta sebagai kesepakatan para pendiri bangsa yg paling penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa yang majemuk ini hidup di sebuah bentang alam kepulauan seluas Eropa yang terlalu menarik bagi banyak pendatang. Setelah hampir 5 tahun Konstituante gagal menyepakati sebuah konstitusi baru, Soekarno memutuskan untuk Kembali Ke UUD45 melalui Dekrit Presiden 5/7/1959 dengan konsideran Piagam Jakarta.
Kita kemudian menyaksikan bahwa UUD45 gagal dipraktekkan secara konsisten baik oleh Soekarno maupun Soeharto karena pertarungan geopolitik global saat keduanya berkuasa. Justru saat Soeharto mulai lebih konsisten menjalankan UUD45 di penghujung Orde Baru, Soeharto justru dijatuhkan oleh koalisi kekuatan2 sekuler nasionalis maupun kiri yg memendam dendam politik sejak peristiwa G30S/ PKI. UUD45 18/8/1945 sesungguhnya adalah panji2 perlawanan terhadap penjajahan. Sejak kudeta konstitusi saat UUD45 diganti UUD2002 yang sesungguhnya terjadi bukan reformasi, tapi justru deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan bangsa ini makin menjauh dari cita2 para pendiri bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Eksperimen demokrasi liberal berdasar UUD2002 selama 25 tahun terakhir makin menunjukkan bahwa biaya politik makin mahal tapi mutunya menurun. Bahkan para die hard Jokowers kemudian mengeluhkan dekadensi demokrasi menjelang Pemilu 2024. Kedaulatan rakyat praktis diambil alih oleh (elite) partai politik yang menempati posisi istimewa dalam jagad politik nasional. Saat politik dimonopoli partai politik, maladministrasi publik makin marak di mana Undang Undang dan regulasi turunannya dibuat untuk kepentingan elite politik dan para bandar yang mendukung logistik partai2 tersebut, bukan untuk wong cilik. Selama 10 tahun terakhir kita menyaksikan Jokowisme tumbuh subur di mana DPR sakit gigi, banyak ulama menjadi setan bisu, dan kampus2 asyik masyuk mengejar world-class ranking, serta media arus utama hanya menjadi corong penguasa.
Saatnya tiba bagi para tokoh Islam yang mewarisi cita2 Masyumi untuk lebih percaya diri dan articulatively more assertive untuk menyelamatkan republik ini dari para bandit, badut dan bandar politik yang juga sering memerankan glembuk, gendham dan copet politik. Bersama kepemimpinan Prabowo, semangat majelis syuro muslimin itu perlu direvitalisasi agar ummat Islam segera bersatu tidak mudah dipecah belah menjadi berbagai organisasi massa yang sering terjebak ke dalam kebanggaan kelompok yang kerdil. Syuro itu perlu diarusutamakan kembali agar kekuatan ummat bisa menjadi penentu sekaligus penyelamat Republik ini agar tidak ditelan Naga atau diinjak Gajah.
Gunung Anyar, Surabaya. 22 Juni 2024.
EDITOR: REYNA
Related Posts

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Habil Marati: Jokowi Mana Ijasah Aslimu?

Misteri Pesta Sabu Perangkat Desa Yang Sunyi di Ngawi: Rizky Diam Membisu Saat Dikonfirmasi

“Purbayanomics” (2): Pemberontakan Ala Purbaya: Rekonstruksi Ekonomi Nasional

“Purbayanomics” (1): Purbaya Hanyalah Berdrakor?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata

Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global

Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

Menyikapi UUD 18/8/1945



No Responses