Jika merujuk pada Al Qur’an secara benar, maka kita tidak saja menemukan betapa kitab suci ini memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal manusia. Logika dan berfikir menjadi proses untuk memahami ciptaanNya yang akan bermuara pada mengimani keberadaanNya. Dengan kata lain antara hati dan otak atau antara keyakinan dan fikiran bukan saja seharusnya berjalan seiring, lebih dari itu seharusnya saling menopang dan saling melengkapi. Jika muncul ketidak serasian atau ketidak sinkronan diantara keduanya, maka kita harus introspeksi diri, mungkin saja ilmu yang terakumulasi di kepala belum cukup atau perkembangan sain dan teknologi belum menjangkau atau pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an keliru.
Novel ini berkisah seputar masalah ini.
Karya: Dr Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism
================================
SERI – 12 : ANTARA DUA MASJID
“Sekarang Kita makan siang dulu lalu ke Topkapi”, kata Arslan.
Arslan memilihkan Dolmabache Kafeterya Restaurant yang terletak di pinggir Selat Bosporus. Aku kemudian mengambil kursi yang menghadap Selat yang ramai dilalui kapal-kapal kecil maupun besar, terlihat kapal-kapal jenis yach milik pribadi maupun kapal mengangkut para turis, sementara kapal-kapal besar berupa kapal tanker maupun container. Aku lihat ada masjid kecil yang sangat indah di pinggir Selat ini.
Memperhatikan Aku menatap bangunan ini berlama-lama, lalu Arslan mendekatiku sambil berkata: “Itu Masjid Dolmabache yang pasti banyak anda lihat di berbagai brosur atau buku wisata, karena keunikan dan keindahannya sehingga ia dijadikan salah satu ikon Kota Istanbul”.
“Aku menyukai gaya arsitekturnya”, kataku sambil tertegun dan terus membayangkan bagaimana proses sang arsitek sampai menemukan gagasannya.
Lalu Arslan memutar kepalanya kearah kiri sambil mengatakan: “Itu adalah Istana Dolmabache yang menjadi istana terakhir Turki Usmani. Saat Ataturk berkuasa, Ia sempat menjadikannya sebagai kantor Presiden”, sambil mengarahkan telunjuknya ke sebuah bangunan megah dan indah yang terletak di tepi Selat ini.
“Kita akan mengunjunginya ?”, tanyaku.
“Tidak !”, kata Arslan tegas.
“Kenapa ?”.
“Karena ia menjadi simbul keruntuhan bangsa Turki selain arsitekturnya tidak mewakili wajah Turki. Di sini walaupun ada banyak istana tetapi yang paling menggambarkan kebesaran Bangsa Turki adalah Topkapi yang kini statusnya menjadi museum”, katanya.
Usai makan siang Kami mengunjungi bekas Istana Topkapi yang sangat luas dan menawan. Bangunan-bangunan yang berada di dalamnya seakan berbicara sejarah panjang kebesaran dua imperium yakni Bizantium dan Turki Usmani. Bangunan-bangunan berarsitektur Bizantium masih nampak kokoh di sejumlah lokasi di dalam kompleks ini, sementara bangunan-bangunan berarsitektur Turki ditambahkan tanpa merusak bangunan sebelumnya.
Dari tempat ini nampak Selat Bosporus sekaligus Laut Marmara. Tempatnya sangat tinggi di atas bukit batu yang terjal yang dikenal dengan sebutan Golden Horn atau Tanduk Emas, sehingga sulit ditembus dari laut. Sementara bagian daratnya dilindungi oleh benteng yang sangat tinggi dan kokoh. Kok sampai bisa menemukan tempat sestrategis ini gumamku kagum dalam hati.
Setelah puas melihat dari berbagai sisi dan koleksi benda-benda bersejarah yang ada di dalamnya, Kami bergerak menuju Masjid Ayasofia.
“Aku ingin shalat di tempat ini”, kataku sambil bergerak melewati turis-turis bule yang bergerombol ingin memasukinya dan melihatnya dari dekat.
“Tahu kisah panjang masjid ini ?”, tanya Arslan seakan mengetes pengetahuanku tentang sejarah bangsanya.
“Sedikit !”, jawabku merendah.
“Awalnya Katedral saat Bizantium berkuasa lalu diubah menjadi Masjid saat Turki Usmani menaklukan Konstantinopel, kemudian diubah menjadi Museum saat Turki diubah menjadi Republik oleh Ataturk, sekarang dikembalikan menjadi masjid oleh Erdogan”.
“Apa kira-kira alasan Presiden Erdogan mengembalikannya menjadi masjid ?”, tanyaku.
“Terlalu banyak kontroversi dan pekat nuansa politiknya”, kata Arslan yang terasa ingin menghindar melanjutkan diskusi kearah dimensi politiknya.
Aku mencoba memahami sikapnya akan tetapi otakku terus berputar menerka-nerka sembari terus mengingat-ingat berbagai berita yang pernah aku baca terkait bangunan yang bersejarah ini.
Saat memasuki ruang dalamnya aku perhatikan masjid ini besar, kokoh, dan sangat indah. Meskipun usianya sudah berabad-abad tetapi aura kemegahannya tidak menyusut sedikitpun. Bagian dalam khususnya dinding-dinding tertentu dan sejumlah langit-langitnya nampak ditutup dengan wallpaper.
“Di baliknya banyak gambar-gambar yang bernuansa Kristen”, kata Arslan menjelaskan.
“Tampaknya penguasa saat ini meniru pendahulunya saat mengubahnya dari Katedral menjadi Masjid”, kataku merujuk kebijakan Muhammad Alfatih saat mengambilalihnya kemudian dilanjutkan oleh penerusnya.
“Dalam aspek apa ?”, kejar Arslan yang belum faham arah komentarku.
“Turki Usmani menjaga orisinalitasnya dan hanya menambah empat menara di bagian luarnya”, komentarku. Fikiranku bergerak spontan membandingkan peristiwa berbeda saat Reconquista di Spanyol yang kemudian disesali oleh tokoh-tokohnya sendiri.
Sesudah shalat aku berdoa semoga silih-bergantinya penguasa di negri ini dan berbagai peristiwa politik yang mengiringinya tidak akan menggoyahkan persatuan bangsa ini yang mulai bangkit dan diperhitungkan baik di kawasan maupun di tingkat global.
Aku kemudian dipandu Arslan keluar melewati taman yang sangat luas dan hijau dihiasi dengan berbagai macam taman bunga dengan air mancur di bagian tengahnya. Banyak orang duduk di kursi-kursi kayu yang tersedia di sejumlah sudutnya.
“Kita sekarang ke Blue Mosque”, kata Arslan sambil mempercepat langkahnya.
Kepalaku menoleh ke belakang kearah Masjid Ayasofia berkali-kali membandingkan keindahan dan kemegahan dua bangunan ini.
“Tahu cerita dibalik dibangunnya Blue Mosque ?”, tanya Arslan.
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Nama sebenarnya adalah Masjid Sultan Ahmed yang dibangun pada awal Abad 17 dengan gaya arsitektur Bizantium yang dikombinasikan dengan arsitektur Turki. Sejak berdirinya bangunan ini kemudian menjadi Ikon kota Istambul selama berabad-abad menggantikan Ayasofia. Lebih dari itu, ia kemudian menjadi model berbagai masjid yang dibangun di Turki dan masjid di banyak negara yang dibangun oleh orang Turki sampai sekarang”.
“Anda belum menjelaskan tentang sebutan Blue Mosque”, kataku tak sabar.
“Nanti saat memasukinya anda akan melihat interiornya yang sangat indah didominasi dengan warna biru”.
Saat memasukinya aku perhatikan tinggi kubahnya yang ditopang dengan pilar-pilar besar dan kokoh tidak kalah dengan Ayasofia. Bedanya di masjid ini banyak sekali kaligrafi yang dilukis diantara mozaik yang dikenal dengan sebutan Arabes diantara anyaman daun dan bunga yang menambah keindahannya. Aku lalu shalat attahiyatul masjid dua rakat seraya memanjatkan doa bagi kemajuan Bangsa Turki.
Saat meninggalkan masjid Arslan melanjutkan ceritanya: “Maaf tadi terputus, selain kemegahan dan keindahannya secara fisik ada dimensi politik yang cukup penting yang melatari dibangunnya masjid ini”.
“Oh ya ?”, komentarku.
Arslan lalu melanjutkan: “Saat Sultan menerima tamu-tamu penting dari Eropa, ia sering disindir, bagaimana sebuah bangsa besar masih menggunakan Ayasofia yang dibangun oleh bangsa lain sebagai ikon ibukota negaranya”.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca seri sebelumnya:
Seri-11: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-11): Ziarah ke Makam Alfatih
Seri-10: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-10): Islam Agama Sejak Adam
Seri-9: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-9): Usaha dan Do’a
Seri-8 : Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-8): Wisata Islami
Novel karya Dr Muhammad Najib yang lain dapat dibaca dibawah ini:
1) Di Beranda Istana Alhambra (1-Mendapat Beasiswa)
2)Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-1): Dunia Dalam Berita
3)Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-1): Meraih Mimpi
Related Posts

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik



No Responses