Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@ PTDI Jawa Timur
UUD45 tidak pernah menyebut demokrasi sekalipun. Jika demokrasi begitu penting, UUD45 pasti menyebutnya walau hanya sekali. UUD45 disusun dan kemudian disepakati oleh para tokoh yg paling terpelajar dari berbagai kalangan dan latar belakang saat menjelang proklamasi kemerdekaan 17/8/1945. Jika kita cermati naskahnya, maka jelas bahwa UUD45 adalah sebuah pernyataan perang melawan penjajahan.
Belakangan kita tahu, William Blum mengatakan bahwa demokrasi adalah ekspor AS yang paling mematikan, bukan Bom Atom yg pernah dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki untuk mengalahkan Jepang. Dalam perspektif Samuel Huntinton, Islam adalah musuh Barat yg paling baru setelah sosialisme USSR dikalahkan pada awal 1990an yg oleh Francis Fukuyama disebut sebagai The End of History. Narasi2 islamphobia pasca perisitiwa WTC 9/11/2001 adalah upaya2 keji Barat untuk terus memerangi Islam sebagai kelanjutan perang Salib.
Para ulama perumus UUD45 memahami bahwa Islam yg menjiwai teks UUD45 itu adalah kekuatan spiritual yang tidak saja memungkinkan kelahiran bangsa Indonesia yg bhinneka tunggal ika, Islam pula yang mengilhami perlawanan terhadap penjajah. Tanpa Islam, maka nasib ratusan suku yg menghuni Nusantara akan mengakami genosida bernasib sama dengan suku2 Indian di benua Amerika, dan suku2 aborigin di benua Australia.
Segera setelah proklamasi kemerdekaan itu, Belanda yang membonceng NICA segera berusaha kembali menjajah Indonesia. Respons pertama ummat Islam adalah fatwa Resolusi Jihad NU yang telah mengobarkan perlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya. Paling tidak dua jendral Inggris terbunuh di Surabaya walaupun puluhan ribu laskar tewas melawan pasukan pemenang PD II ini.
Perang untuk melestarikan penjajahan itu kemudian berubah bentuk, bukan lagi perang dengan senjata dan tentara, tapi menggunakan cara2 baru : perjanjian2, dan sekulerisasi dan deislamisasi melalui berbagai cara termasuk hutang ribawi. Bahkan kampus2 tidak diberi kesempatan dan waktu yang cukup untuk mengembangkan body of knowledges yg dipijakan pada UUD45 untuk memberi arah dan nilai pada upaya2 pembangunan. Semua kampus sibuk dan lahap menelan berbagai gagasan2 Barat di berbagai cabang ilmu dari ekonomi, politik sampai pemerintahan. Ini masih berlangsung hingga hari ini. Pembangunan tidak dirumuskan sebagai upaya perluasan kemerdekaan, penguatan persatuan, dan kedaulatan, serta keadilan dan kemakmuran. Pembangunan bahkan dipersempit menjadi sekedar pertumbuhan ekonomi korporasi2 besar untuk kemudian diteteskan ke bawah. Tidak mengherankan jika rasio ginie kita masin berkutat di sekitar 0.4, dan angka stunting sekitar 20% yg mengancam bonus demografi kita.
Proyek sekulerisasi dan deislamisasi itu dijalankan terutama melalui persekolahan massal sejak Orde Baru yang dibiarkan memonopoli sistem pendidikan. Pendidikan yg seharusnya ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui sekolah tujuan itu dibelokkan menjadi hanya sekedar menyiapkan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin2 sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilk modal, terutama asing. Praktis melalui persekolahan ini investasi diubah menjadi invasi diam2.
Instrumen perang Barat menghadapi Islam setelah disekulerkan melalui persekolahan adalah demokrasi. Prinsip2 kerakyatan yg semula dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan digusur melalui politik liberal yang mensyaratkan kapital. Yg terjadi kemudian adalah korporatokrasi, bukan demokrasi seperti yang sering digemborkan. Jagad politik mensyaratkan uang sebagai oksigen, bukan hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Partai politik menjadi institusi baru yang sangat berkuasa bahkan memonopoli politik sebagai public goods. Akibatnya, berbagai maladministrasi publik terjadi di mana regulasi dibuat bukan untuk kepentingan publik dalam sebuan republik, tapi untuk kepentingan segelintir oligarki dan aristokrat baru. Republik ini praktis menjadi seperti Roma di tangan Nero bersama kaum feodal baru yang menguasai partai2 politik tersebut.
Pukulan terakhir atas UUD45 sebagai bendera perang melawan neokolonisasi adalah amandemen ugal2an menjadi UUD2002. Melalui serangkaian pemilu sejak 2004 yg diikuti oleh parpol2 hijau dan kehijauan, kekalahan Islam secara politik telah diresmikan. Presiden terpilih sekalipun adalah petugas partai, jika bukan boneka oligarki, apalagi gubernur, bupati dan walikota terpilih. Fenomena kotak kosong yang mendampingi paslon tunggal di banyak pilkada serentak 20024 yad makin membuktikan bahwa demokrasi ala UUD2002 ini adalah mbelgedhes bel gedhuwel beh. No more no less.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Informaliti

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Sebuah Kereta, Cepat Korupsinya

Menata Ulang Otonomi: Saatnya Menghadirkan Keadilan dan Menata Layanan

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang



No Responses