Oleh: Madi Saputra
Pembukaan UUD 1945 adalah salah satu dokumen paling fundamental dalam sejarah bangsa Indonesia. Tidak hanya menjadi fondasi lahirnya negara ini, tetapi juga berfungsi sebagai landasan filosofis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembukaan ini, menurut Koentowibisono Siswomiharjo, adalah “mutiara yang tertinggal”—satu-satunya bagian yang tak tersentuh oleh amandemen UUD 1999-2002, dan hingga saat ini, menjadi pijakan kuat bagi semua golongan di masyarakat.
Deklarasi Kemerdekaan: Jiwa dan Semangat Pembukaan UUD 1945
Sebagaimana dikemukakan oleh Notonagoro, Pembukaan UUD 1945 merupakan declaration of independence bagi Indonesia. Ini adalah manifestasi dari cita-cita dan keinginan luhur bangsa Indonesia untuk merdeka, yang tidak hanya melepaskan diri dari penjajahan fisik, tetapi juga dari penjajahan pikiran dan ideologi. Lebih jauh, Notonagoro menegaskan bahwa setiap hukum positif di Indonesia, termasuk batang tubuh UUD 1945, tidak boleh bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Pembukaan tersebut.
Sebagai “piagam kehidupan” bangsa, Pembukaan UUD 1945 tetap utuh meski Indonesia telah mengalami banyak perubahan konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah konsensus tertinggi yang masih mempersatukan semua golongan di Indonesia. Mengubah Pembukaan berarti membubarkan bangsa yang memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sebuah tindakan yang tidak bisa diterima oleh sejarah maupun akal sehat.
Pancasila sebagai Falsafah Negara dalam Pembukaan UUD 1945
Menurut Notonagoro, Pancasila yang kita jadikan sebagai falsafah negara, termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila yang keluar dari konteks Pembukaan tidak menjadi acuan yang sah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembukaan UUD 1945, yang diresmikan pada 18 Agustus 1945 dan kemudian diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah satu-satunya versi yang menjadi kesepakatan nasional hingga saat ini.
Pertanyaan yang sering muncul adalah: versi Pembukaan UUD 1945 mana yang sah? Apakah yang dihasilkan oleh Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, versi yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan pada 18 Agustus 1945, atau versi Dekrit Presiden 5 Juli 1959? Secara ideologis, ketiganya memang memiliki perbedaan yang mendalam, dan perbedaan ini memiliki dampak langsung pada kebijakan publik di Indonesia. Namun, hingga kini, Pembukaan UUD 1945 yang diberlakukan adalah versi yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945, diperkuat oleh Dekrit 1959, dan tertuang dalam konsideran perubahan keempat UUD pada 2002.
Makna Pembukaan UUD 1945 bagi Umat Islam
Bagi umat Islam, Pembukaan UUD 1945 memiliki makna yang sangat esensial. Di dalamnya, terdapat tujuan yang sejajar dengan maqashid syariah—prinsip utama dalam hukum Islam yang bertujuan menjaga lima kebutuhan dasar manusia: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Tujuan syariah ini selaras dengan tujuan Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia.
Dengan demikian, perjuangan umat Islam untuk menerapkan kebijakan pro-syariah memiliki landasan hukum yang sah dan konstitusional. Ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang memberikan ruang bagi semua pihak untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa, dengan tetap berpegang pada falsafah negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Amandemen 1999-2002 dan Penyimpangan dari Filosofi Awal
Sayangnya, dalam perjalanan reformasi konstitusi yang terjadi antara 1999-2002, banyak pasal dalam batang tubuh UUD 1945 yang diubah secara signifikan. Banyak di antaranya yang menyimpang dari pokok-pokok pikiran yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Bahkan, dalam beberapa hal, perubahan tersebut bertentangan langsung dengan semangat Pembukaan UUD 1945.
Walaupun konstitusi ini masih dinamakan UUD 1945, namun substansi aslinya telah mengalami pergeseran besar. Amandemen tersebut membuka jalan bagi liberalisasi dan kapitalisme yang menjauhkan kita dari nilai-nilai dasar bangsa. UUD yang dihasilkan dari amandemen tersebut lebih pantas disebut sebagai UUD 2002 atau UUD 1945 palsu, atau bahkan konstitusi yang mengkhianati prinsip dasar negara.
Pembukaan UUD 1945 Sebagai Pilar Utama
Pembukaan UUD 1945 tetap menjadi landasan filosofis yang tak tergoyahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ia bukan hanya fondasi dari segala peraturan perundang-undangan, tetapi juga menjadi simbol persatuan dan kesepakatan bangsa. Dalam Pembukaan inilah tersimpan cita-cita luhur untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera, serta menciptakan kehidupan yang damai di tingkat global.
Bagi umat Islam, Pembukaan UUD 1945 memberikan ruang untuk memperjuangkan syariah dalam kerangka negara yang konstitusional. Pembukaan ini menjadi bukti bahwa perjuangan umat Islam tidak hanya sah secara agama, tetapi juga sah secara hukum negara. Oleh karena itu, tugas kita bersama adalah memastikan bahwa setiap kebijakan publik dan setiap langkah dalam pembangunan bangsa tetap berpegang pada semangat Pembukaan UUD 1945.
Dalam menyongsong masa depan, termasuk Indonesia Emas 2045, kita perlu menjaga mutiara bangsa ini agar tetap bersinar, sebagai panduan dan pengingat akan jati diri bangsa Indonesia.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kegilaan yang Menyelamatkan Bangsa

Invasi Senyap Tiongkok di Bumi Pertiwi

Tahun 2025 diperkirakan akan menjadi 1 dari 3 tahun terpanas yang pernah tercatat

Rekom Dari Camat Kwadungan Sudah Keluar: Rizky Gugur!

Ketua PKBM Muslimat NU Sumenep Lolos Program Bergengsi YSEALI di Amerika Serikat

Giat BSPS Kementerian Perumahan, Merenovasi Rumah sekaligus Menumbuhkan Semangat Swadaya Masyarakat

Misteri Kebahagiaan

Diduga Ada Oknum ASN Melakukan Penipuan Jual Beli “Kursi” Calon Perangkat Desa Tirak

“Ratu Pupuk Indonesia”: Ucok Khadafi Soroti Keistimewaan Istri Dirut Pupuk Indonesia

Hakim Perlu Dilindungi


No Responses