Muhammad Chirzin: The Battle of Pilkada

Muhammad Chirzin: The Battle of Pilkada
Ilustrasi

Oleh: Muhammad Chirzin

Pilkada adalah ritual lima tahunan Pemilihan Kepala Daerah, baik Kepala Daerah Tingkat Satu, Gubernur, maupun Kepala Daerah Tingkat Dua Bupati/Walikota.

Dahulu, berdasarkan UUD 1945, Presiden sebagai Kepala Negara/Kepala Pemerintahan dipilih oleh MPR/DPR Pusat. Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih oleh DPR Daerah sebagai wakil-wakil rakyat. Mekanisme pemilihan Presiden dan Gubernur serta Bupati/Walikota demikian itu sesuai dengan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Eforia reformasi 1998, selain menuntut penghapusan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), juga menuntut perubahan konstitusi UUD 1945, khususnya tentang masa jabatan Presiden, yang semula dinyatakan bahwa bila masa jabatan presiden habis, bisa dipilih kembali. Pasal tersebut telah disalahtafsirkan di era Orde Baru, sehingga Pak Harto bisa dipilih berulang kali menjadi Presiden RI. Bersama itu lahir slogan plesetan, bahwa syarat menjadi presiden ialah berpengalaman menjadi presiden.

Di era Orde Baru setiap warga negara, lebih-lebih para pelajar boleh dikatakan hafal nama menteri-menteri kabinet Pak Harto. Selain karena para menteri ditunjuk langsung oleh Presiden, mereka masing-masing memiliki popularitas karena kepakarannya, seperti Adam Malik, Ir. Sutami, Prof. Emil Salim, Prof. Fuad Hasan, Dr. Daoed Joesoef, dan Prof. A. Mukti Ali.

Barangkali tidak jauh berbeda dengan wibawa gubernur dan bupati/walikota sebagai kepala daerah. Pada masanya, setiap pelajar mengenal dan bangga dengan kepala daerahnya. Setiap murid Sekolah Dasar hafal nama Kepala Derahnya.

Amandemen UUD 1945 telah mengubah segalanya. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan lagi lembaga tertinggi Negara yang berhak memilih dan memberhentikan Presiden; Presiden bukan mandataris MPR, dan tidak bertanggung jawab kepada MPR; Presiden tidak dipilih oleh MPR, tetapi oleh semua warga negara/rakyat Indonesia tanpa mempertimbangkan isi kepalanya – yang sesungguhnya bertentangan dengan sila keempat Pancasila; kedudukan MPR menjadi setara dengan lembaga tinggi negara lainnya, baik Presiden maupun DPR. Presiden menjadi lembaga yang super-kuasa, tanpa kontrol yang cukup berarti dari lembaga legislatif maupun yudikatif, bahkan menguasai keduanya.

Kini pemilihan Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota dilaksanakan seperti pemilihan Kepala Desa. Pesta rakyat semesta dengan segala dinamikanya.

Tidak jarang calon kepala daerah terdiri atas tiga pasang. Bisa jadi masing-masing pasangan berasal dari basis pemilih yang berbeda-beda. Tetapi tidak jarang dua pasang calon berasal dari basis pemilih yang sama, sedangkan satunya lagi dari basis pemilih yang berbeda.

Dalam sejumlah pemilihan terjadi, hingga pemilihan calon rektor perguruan tinggi sekalipun, pasangan yang dari luar komunitas yang sama memenangkan perebutan kursi kekuasaan.

Ditengarai pilkada beberapa provinsi maupun kabupaten/kota diikuti oleh tiga pasang calon, dua calon dari basis pemilih yang sama, dan yang satu lagi dari basis pemilih yang berbeda. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, untuk memenangkan perhelatan, kedua paslon dari basis pemilih yang sama akan bertarung dan berjuang habis-habisan untuk meraup suara dari komunitasnya, ditambah dengan upaya menggerogoti calon pemilih dari ceruk basis lainnya.

Masa kampanye pilkada telah usai, dan kita tinggal menghitung dengan jari sebelah tangan tibanya. Masing-masing paslon tentu telah mengerahkan tenaga, pikiran, dan biaya demi memenangkan pilkada.

Suasana panas dingin tampaknya menyergap setiap kontestan, dengan dukungan tokoh/figur maupun komunitas tertentu untuk kesuksesannya.

Anies Baswedan, misalnya, secara terbuka dan serius mendukung paslon Pramono-Rano untuk Pilkada Jakarta, dan itu bukan eksperimen belaka. Ia mengapresiasi komitmen Pramono-Anung-Rano yang kerap menyampaikan bakal melanjutkan program gubernur terdahulu di depan publik.

Anies Baswedan juga menyatakan dukungan kepada pasangan Calon Gubernur tertentu, baik di Jawa Barat maupun Sumatera Utara.

Pada Pilkada Kota Yogyakarta tiga pasangan calon walikota, Heru, Hasto, dan Afnan, memperebutkan suara warga dengan aneka cara. Masing-masing telah menghitung secara cermat prakiraan suara yang bakal diperolehnya. Tampaknya semua harus berjuang habis-habisan untuk meraih kemenangan.

Pada 27 November 2024 nanti, seluruh daerah di Indonesia akan menyelenggarakan salah satu pesta demokrasi terbesar, yakni Pilkada Serentak 2024. Pilkada serentak kali ini hanya berlangsung 1 putaran saja, 543 wilayah yang menggelar Pilkada serentak 2024 tetap berpedoman pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Aturan ini mengatur pasangan calon Gubernur-wagub, calon Wali kota-Wakil Wali kota dan calon Bupati-Wakil Bupati yang memperoleh suara terbanyak akan langsung ditetapkan sebagai paslon terpilih. Hal ini diatur dalam Pasal 107 Ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Pilkada.

“Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih,” bunyi Pasal 107 Ayat (1) UU Pilkada.

“Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih,” bunyi Pasal 109 Ayat (1) UU Pilkada.

Provinsi DKI Jakarta menjadi satu-satunya provinsi yang memiliki keistimewaan untuk menyelenggarakan Pilkada hingga dua putaran dari total 545 daerah yang menggelar Pilkada serentak 2024.

Artinya, jika pada Pilkada 27 November 2024 mendatang di Jakarta, ada tiga pasangan calon gubernur-wakil gubernur yang ikut serta dan tidak ada kandidat yang berhasil meraih lebih dari 50 persen suara, maka akan ada putaran kedua. Pilkada putaran kedua akan diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

“Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih,” bunyi Pasal 11 ayat (1) UU tentang Provinsi DKI Jakarta.

“Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama,” bunyi Pasal 11 Ayat (2) UU tentang Provinsi DKI Jakarta.

Tak hanya itu, aturan terbaru yakni UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) yang baru disahkan April 2024 lalu juga mengatur gubernur dan wakil gubernur Jakarta terpilih harus memperoleh lebih dari 50 persen suara.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K