Daniel M Rosyid: Syarikat Islam Membangun Kemandirian Pangan

Daniel M Rosyid: Syarikat Islam Membangun Kemandirian Pangan
Daniel Mohammad Rosyid

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@RCAgroTren Wonosalam

Saat HOS Tjokroaminoto menuntut zelbestuur pada pemerintah kolonial dalam pidato monumentalnya di Bandung 1916 dia sudah membayangkan kemerdekaan 100% bagi bangsa ini. Tuntutan berpemerintahan sendiri atau swaparaja ini tuntutan-antara sebelum terwujud hampir 30 tahun kemudian. Beda dengan Boedi Oetomo yang diawaki oleh kaum ningrat Jawa, Syarikat Islam lahir dengan semangat baru yang lebih demanding walau awalnya kooperatif tidak lepas dari kompromi dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Memang semangat kemandirian ini harus diawali dengan kemandirian menggagas imajinasi baru. Dalam perspektif ini semangat zelbestuur ini serupa dengan semangat hijrah saat Muhammad Rasulullah saw membayangkan sebuah masyarakat baru di Yastrib. Ini sebuah proses yang diprakarsai lazimnya oleh sebuah creative minority. Ini sekaligus menandakan perubahan awal namun fundamental. Perubahan tidak pernah diprakarsai oleh kerumunan massa yang lazimnya mengambang dipenuhi oleh para oportunis free riders yang tidak sudi membayar ongkos perubahan ini.

Segera setiba di Yastrib itu, Rasulullah mendirikan sebuah masjid di Quba – sekitar 5 km arah Tenggara dari Yastrib- setelah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Masjid adalah simbol masyarakat baru yang dinubuwahkan dalam al Qur’an. Sadar bahwa persoalan utama masyarakat jahilliyah adalah riba, Rasulullah segera membangun pasar untuk menyaingi pasar konvensional yang dikelola kaum Yahudi. Begitulah masyarakat muslim awal dibangun oleh Rasulullah bersama para sahabat dengan semangat membebaskan diri dari praktek-praktek riba.

Dalam sebuah ekonomi riba, petani adalah kelompok yang paling dirugikan. Sistem keuangan ribawi membuat petani selalu dalam posisi lemah karena tidak memiliki akses pada sumber-sumber pembiayaan yang adil. Nilai Tukarnya selalu digembosi oleh para tengkulak yang punya duit, sekaligus menguasai pasar. Tidak mengherankam jika dalam ekonomi ribawi kita selalu mendapati kebanyakan petani maupun nelayan sebagai kelompok miskin, sedangkan para tengkulak adalah para juragan. Dalam konteks ini, kondisi petani kita saat ini tidak jauh berbeda dengan para petani di zaman awal Madinah, dan di zaman Max Havelaar di Lebak, Banten di pertengahan abad 19.

Syarikat Islam, sebelumnya disebut Syarikat Dagang Islam, dilahirkan dengan semangat membebaskan pribumi muslim dari penguasaan sumber-sumber pembiayaan dan pasar oleh Pemerintah Kolonial dengan memanfaatkan kelompok saudagar-saudagar keturunan China. Sejak awal pemerintah kolonial memanfaatkan kelompok-kelompok China ini untuk menjadi kaki tangannya, sekaligus memecah belah bangsa Indomesia secara etnis, dan kemudian secara agama. Kaum China Indonesia secara sengaja diposisikan Belanda sebagai kaum berminoritas ganda : China-Kristen. Segera setelah Kemerdekaan, aset-aset penjajah Belanda banyak dititipkan pengelolaannya ke kelompok-kelompok minoritas ganda ini, terutama sebagai sesama kristen atau katolik yang pergi ke gereja yang sama.

Tidak ada negara yang berdaulat tanpa kelompok petani yang berdaulat. Kemandirian pangan mensyaratkan kemandirian petani. Ini mensyaratkan sebuah ekonomi yang dibebaskan dari riba. Sayang sekali, Konferensi Meja Bundar di Den Haag 1949 justru menjerumuskan Republik yang baru berdiri itu kedalam jebakan riba sebagai bagian dari perwujudan konferensi Bretton Woods 1944 di New Hampshire, AS menjelang akhir Perang Dunia II. Sistem riba ini mencengkeram Republik ini hingga sekarang.

Perlu segera disadari bahwa Islam adalah sebuah tatanan hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk bebas-riba. Islam, disebut dalam Al Qur’an sebagai ad diinul Islam, diwujudkan dalam sebuah kota, madinah, sebagai tempat di mana berbagai barang dan jasa diperjualbelikan. Sejak awal, Islam tidak mentolerir perdagangan yang tidak jujur dan adil. Islam mendoronag trade and commerce yang terbuka tapi berkeadilan. Hanya dengan cara ini, sektor-sektor primer seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dapat berkembang baik menjadi basis ekonomi pangan yang sehat dan produktif.

Perdagangan yang tidak adil adalah bentuk penjajahan baru, bagitu yang disampaikan presiden Prabowo beberapa waktu lalu. Sebuah praktek nekolim. Satu perang asimetri melalui berbagai institusi dan perjanjian yang tidak adil antara bangsa penjajah dengan bangsa bekas-jajahan. Kemenangan dagang sudah cukup, tidak perlu dengan kemenangan militer. Menukar ribuan ton ikan, kayu, emas atau batubara dengan uang kertas yang dicetak from thin air jelas penipuan jika bukan korupsi sistemik sepert yang dikatakan James Wharram sekitar 25 tahun silam di ITS Surabaya.

Saat Indonesia masuk ke dalam BRICS dengan semangat dedolarisasi sekaligus dewesternisasi, dalam perspektif membangun kemandirian pangan itu, hemat saya, Syarikat Islam bersama ormas-ormas Islam lainnya di Indonesia hendaknya mulai membangun kembali semangat membangun ekonomi pertanian yang dibebaskan dari riba. Hanya dengan pertanian bebas riba, bangsa ini bisa mandiri yang diawaki oleh generasi muda yang bangga menjadi petani.

Wonosalam, Jombang. 600 mdpl. 20 Januari 2025.

EDITOR: REYNA

Baca juga artikel Prof. Daniel M Rosyid lainnya:

Daniel M Rosyid: Imlek dan PSN

Daniel M Rosyid: Pembangunan Berkelanjutan

Daniel M Rosyid: Rebuilding Indonesia Anew

Last Day Views: 26,55 K