Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi Pengajar Psikologi Komunikasi
“Nak, kau harus jadi manusia merdeka. Merdeka berpikir, merdeka bersikap, dan merdeka membela kebenaran. Jangan pernah takut pada kuasa zalim. Jika kau takut, rakyat akan kehilangan pembela.”
Itulah pesan yang selalu diingat Anies Rasyid Baswedan dari kakeknya, Abdurrahman (A.R.) Baswedan, salah satu tokoh penting pergerakan kemerdekaan Indonesia, seorang diplomat, wartawan, dan pejuang yang sejak awal meyakini bahwa kemerdekaan sejati hanya hadir bila rakyat tidak lagi diperbudak ketidakadilan.
Sejak kecil, Anies sering diajak sang kakek berjalan kaki menyusuri kampung-kampung di Yogyakarta, menyaksikan langsung denyut nadi masyarakat kecil. Dari situ Anies belajar tentang ketulusan, kesederhanaan, dan keberanian melawan ketidakadilan, meski dengan risiko besar. Kakeknya mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi untuk umat, untuk bangsa. Pelajaran itulah yang kemudian tumbuh dalam diri Anies kecil menjadi keberanian intelektual dan keberpihakan kepada yang lemah.
Kini, puluhan tahun berselang, pesan kakeknya menjelma nyata dalam langkah-langkah Anies, terutama saat bangsa ini tengah diliputi kegelapan panjang akibat kerakusan kekuasaan yang telah berjalan hampir satu dekade.
Pasca Pilgub Jakarta, Anies menjadi warga biasa. Namun apa yang dilakukannya justru menjadi magnet besar bagi masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. Anies menjadi simbol gerakan perubahan, gerakan untuk Indonesia yang lebih baik, lebih adil, lebih berpihak kepada rakyat kecil, dan lebih bersih dari korupsi serta oligarki.
Pidato-pidato Anies di berbagai tempat kini menjadi oase bagi kehausan masyarakat akan pemimpin yang jujur dan berani. Salah satu pidato yang menggugah hati adalah pidato Anies di Masjid UGM, saat ia berkata:
“Hari ini banyak orang bertanya, apakah negeri ini akan tetap seperti ini? Saya jawab: tidak! Karena setiap ketidakadilan, setiap kezhaliman, pasti akan menemukan ujungnya. Jangan pernah ragukan, setiap kekuasaan yang tidak adil, pasti akan diganti. Dan siapa yang menggantikan? Rakyat yang sadar, rakyat yang berani, rakyat yang memilih jalan perubahan.”
Pidato itu membakar semangat ribuan mahasiswa dan masyarakat, yang berkumpul tanpa paksaan, tanpa bayaran, hanya karena rindu pada keadilan yang nyata.
Tak lama berselang, di Masjid Salman ITB, Anies kembali menyampaikan pesan yang tak kalah dahsyat:
“Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tidak kekurangan orang hebat. Yang kita kekurangan adalah orang-orang yang berani jujur, yang mau berpihak kepada kebenaran walau harus melawan kekuasaan. Karena itu, kita butuh gerakan perubahan. Gerakan ini harus dimulai dari hati yang tulus, dari semangat untuk memperbaiki negeri, bukan untuk kepentingan diri.”
Kata-kata itu menjadi pemantik kesadaran baru, terutama di kalangan muda, yang selama ini mungkin apatis pada politik karena dikhianati oleh pemimpin-pemimpin palsu.
Selama 10 tahun terakhir, bangsa ini diseret dalam kubangan gelap oleh rezim Jokowi. Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, dirusak oleh politik transaksional. Kebenaran dikubur dalam-dalam, hukum menjadi alat penguasa untuk menakut-nakuti rakyat, dan sumber daya negara diserahkan ke oligarki. Harapan masyarakat kepada Prabowo sebagai presiden pengganti, ternyata hanya menjadi kelanjutan dari drama kekuasaan yang sama. Prabowo seolah menjadi Jokowi jilid ketiga, dan rakyat kembali dikhianati.
Di tengah kondisi itulah Anies tampil menjadi tokoh yang membawa harapan baru, menjadi antitesa dari kegelapan kekuasaan. Namun Anies sadar, gerakan perubahan tidak cukup hanya berhenti di panggung pidato. Karena itu, dia sering mengajak:
“Perubahan itu bukan hanya di atas kertas, bukan hanya mimpi. Perubahan harus diwujudkan. Mulai dari diri kita sendiri, mulai dari lingkungan kita. Kalau lihat ketidakadilan, lawan. Kalau lihat kecurangan, tolak. Jangan diam.”
Anies memahami bahwa perjalanan perubahan adalah jalan panjang dan sunyi. Tetapi dia yakin, dengan keikhlasan dan keteguhan hati, rakyat akan menang melawan kuasa gelap. Gerakan perubahan yang dibawa Anies adalah panggilan nurani, bukan ambisi politik. Inilah gerakan yang berangkat dari kesadaran moral, bahwa bangsa ini harus diselamatkan. Anies tidak sekadar berbicara, tetapi menghidupkan harapan yang selama ini dipadamkan oleh ketakutan dan intimidasi.
Kini, Anies bukan sekadar pribadi, ia adalah simbol gerakan moral rakyat Indonesia.
Sebagaimana pesan kakeknya dahulu:
“Jadilah manusia merdeka yang tak takut pada kegelapan.”
Maka hari ini, Anies dan jutaan rakyat yang menginginkan perubahan, siap menjadi cahaya di tengah gelapnya bangsa. Dan tugas kita semua adalah menjadi bagian dari gerakan perubahan ini — gerakan Indonesia yang lebih baik, lebih adil, lebih jujur, dan lebih manusiawi.
Gerakan yang berpihak pada rakyat kecil. Gerakan yang menolak kekuasaan yang zalim. Gerakan yang memuliakan kejujuran dan keberanian. Karena seperti kata Anies:
“Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?”
Di tengah situasi gelap itu, Anies hadir bak obor yang menyalakan harapan.
Ia menjadi simbol antitesa dari kekuasaan yang dzalim. Sosok yang menolak tunduk kepada politik kompromi dan politik transaksional. Sosok yang percaya bahwa politik seharusnya berpihak pada rakyat, bukan menjadi alat elite untuk memperkaya diri.
Bagi Anies perubahan ini tidak boleh hanya menjadi sebatas pidato, ia harus menjadi sebuah gerakan. “Perubahan itu bukan hanya mimpi. Perubahan harus diwujudkan. Mulai dari diri sendiri, dari lingkungan. Kalau lihat ketidakadilan, lawan. Kalau lihat kecurangan, tolak. Jangan diam.”
Baginya, gerakan perubahan adalah gerakan moral, gerakan kesadaran kolektif. Ia mengajak rakyat untuk tidak hanya berharap, tetapi bergerak. Melawan ketidakadilan, menyuarakan kebenaran, dan membangun Indonesia yang kembali berpihak pada rakyat kecil.
Maka, gerakan perubahan yang Anies gagas harus disambut, harus dilanjutkan. Tidak cukup menunggu pemilu berikutnya, tetapi harus menjadi gerakan sosial yang hidup dalam keseharian rakyat. Petani, buruh, guru, nelayan, mahasiswa, dan rakyat miskin kota harus menjadi bagian dari gerakan ini.
Dan kini, saatnya rakyat menyambut suara perubahan itu, menjadi cahaya bersama dalam gelapnya negeri. Lebih baik menyalakan obor bersama sama daripada mengutuk kegelapan. Bila kebenaran sudah datang, pastikan kebathilan akan tumbang. Dan ini akan menjadi revolusi mawar revolusi damai, revolusi menuntut perubahan dan keberpihakan kepada rakyat , gerakan revolusi dengan berbuat kebaikan kepada masyarakat.
Surabaya, 16 Maret 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Surat Rahasia Bank Dunia: “Indonesia Dilarang Membangun Kilang Minyak Sendiri”

Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Mengaku Ditekan 2 Tokoh (PY) dan (HR) Untuk Memperhatikan Perusahaan Riza Chalid

Prabowo Melawan Akal Sehat atas Dugaan Ijazah Palsu Jokowi dan Kereta Cepat Whoosh

Pangan, Energi dan Air

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

NKRI Sesungguhnya Telah Bubar

Dalang Lama di Panggung Baru



No Responses