Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Dalam lanskap ekonomi Indonesia yang terus bertransformasi, hilirisasi sumber daya alam (SDA) kembali menjadi topik hangat dan strategis. Mneteri ESDM Bahlil Lahadalia tak henti menyuarakan pentingnya hilirisasi sebagai pijakan utama pembangunan nasional, sejalan dengan visi Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Menurut Bahlil, hilirisasi bukan sekadar proyek ekonomi jangka pendek, tetapi fondasi menuju kemandirian nasional dan keadilan ekonomi. “Kita tidak boleh lagi menjual tanah air kita dalam bentuk mentah. Harus ada nilai tambah di dalam negeri. Inilah yang menjadi garis besar dari visi Presiden Prabowo,” tegas Bahlil dalam sebuah pernyataan di Jakarta, awal Juni lalu.
Pernyataan tersebut bukanlah isapan jempol. Hilirisasi yang telah dijalankan di era Presiden Joko Widodo akan terus dilanjutkan dan diperkuat di era pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, dengan pendekatan yang lebih merata dan inklusif. Jika sebelumnya fokus hilirisasi dominan di sektor mineral seperti nikel dan bauksit, ke depan akan diperluas ke sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan energi baru terbarukan.
Bahlil menekankan bahwa hilirisasi harus menghadirkan dua hal: kedaulatan ekonomi dan keadilan pembangunan. Artinya, industri pengolahan tidak boleh hanya terpusat di wilayah tertentu atau dikuasai oleh konglomerat semata. Masyarakat lokal, UMKM, dan pelaku usaha daerah harus diberi ruang dan peran. Hilirisasi harus menjadi alat untuk pemerataan, bukan pemusatan.
Dalam konteks ini, Bahlil mengusulkan pendekatan baru: integrasi antara hilirisasi dan investasi berbasis wilayah. Misalnya, kawasan timur Indonesia yang kaya akan hasil tambang dan pertanian bisa menjadi pusat pengolahan dan produksi, bukan hanya lokasi eksploitasi. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi tidak lagi bersifat Jakarta-sentris, tetapi berakar di daerah.
Gagasan Bahlil juga menyentuh aspek penting lainnya: keberlanjutan. Ia menegaskan bahwa hilirisasi di era Presiden Prabowo harus dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup. Tidak boleh ada kompromi terhadap kerusakan ekosistem demi investasi. Di sinilah pentingnya hadirnya kebijakan yang berpihak kepada generasi masa depan, bukan hanya angka-angka pertumbuhan semu.
Apa yang disampaikan Bahlil Lahadalia layak dijadikan pijakan kebijakan nasional. Ia tidak hanya berbicara sebagai teknokrat, tetapi juga sebagai representasi suara dari daerah dan pelaku usaha kecil. Pendekatannya yang pragmatis sekaligus pro-rakyat menjadi penyegar di tengah kekhawatiran bahwa hilirisasi hanya menguntungkan segelintir elit industri.
Jika benar dijalankan sesuai arah Presiden Prabowo, hilirisasi bisa menjadi jalan emas bagi Indonesia untuk keluar dari ketergantungan pada ekspor mentah dan jebakan negara berkembang. Kuncinya ada pada keberanian politik, konsistensi pelaksanaan, dan keberpihakan pada rakyat. Bahlil sudah membuka jalan, kini saatnya kita semua ikut melangkah.
Hilirisasi Harus Berkeadilan bagi Semua, Bukan Monopoli Elit
Dalam peta jalan pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, hilirisasi sumber daya alam (SDA) menjadi kunci utama. Bukan sekadar jargon industri, hilirisasi adalah alat strategis untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dengan tegas menyatakan bahwa hilirisasi harus dijalankan dengan prinsip keadilan—bukan hanya untuk investor besar atau pemerintah pusat, tapi juga bagi pengusaha lokal, pemerintah daerah, dan masyarakat.
“Hilirisasi itu benar dan harus kita lanjutkan. Tapi jangan sampai hanya menguntungkan kelompok tertentu. Semua harus merasakan manfaatnya—pengusaha nasional, daerah, pusat, sampai masyarakat sekitar lokasi tambang atau pabrik,” tegas Bahlil dalam sebuah forum investasi nasional, Juni 2025.
Pernyataan itu mencerminkan visi Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan hilirisasi sebagai instrumen untuk menciptakan kemandirian ekonomi yang berdaulat dan merata. Di masa lalu, hilirisasi kerap terpusat pada industri tambang besar yang dikuasai asing atau korporasi raksasa. Kini, kata Bahlil, arah kebijakan harus berubah: melibatkan UMKM, koperasi lokal, dan pelaku industri kecil agar tidak tertinggal.
“Kalau hanya segelintir yang untung, rakyat tetap jadi penonton. Itu bukan hilirisasi yang benar,” lanjutnya.
Keadilan untuk Daerah
Salah satu poin penting yang diangkat Bahlil adalah peran pemerintah daerah. Ia menekankan bahwa daerah penghasil SDA tidak boleh hanya mendapat “remah-remah” dari aktivitas ekonomi besar. “Daerah harus dapat bagian yang adil—baik dari bagi hasil pajak, CSR, maupun peluang usaha di ekosistem industri hilir. Kalau tidak, konflik sosial akan terus terjadi,” ujarnya.
Bahlil juga mengusulkan agar proses perizinan, insentif fiskal, dan pembangunan infrastruktur kawasan industri didesentralisasi, agar pemerintah daerah bisa lebih aktif mendukung dan mengawasi proses hilirisasi di wilayahnya.
Pengusaha Lokal Harus Dilibatkan
Menteri Bahlil menyuarakan pentingnya keterlibatan pengusaha lokal dan nasional. Ia bahkan mendorong agar perusahaan-perusahaan besar diwajibkan menggandeng mitra usaha lokal dalam proyek hilirisasi. “Jangan sampai kita hanya jadi tukang gali, yang proses dan jual malah mereka. Bangsa ini punya kemampuan,” katanya.
Menurutnya, hilirisasi yang adil harus membuka kesempatan usaha seluas-luasnya bagi anak bangsa, termasuk pelaku industri kecil dan koperasi. Ia menyebut ini sebagai bentuk “keadilan ekonomi yang sesungguhnya”, bukan hanya pertumbuhan ekonomi semu.
Hilirisasi sebagai Jalan Kedaulatan
Dengan menempatkan keadilan sebagai fondasi, hilirisasi bukan hanya soal menambah nilai komoditas, tetapi juga soal kedaulatan ekonomi. Rakyat harus jadi subjek, bukan objek. “Kita ingin Indonesia naik kelas, bukan jadi buruh di tanah sendiri,” tutup Bahlil.
Apa yang disampaikan Menteri Bahlil bukan hanya retorika. Ini adalah panduan moral dan strategi teknokratis yang harus dijadikan pijakan kebijakan nasional di era Prabowo-Gibran. Hilirisasi tak boleh jadi milik elite saja—tetapi milik semua anak bangsa.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia




No Responses