Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Saat Presiden Prabowo Subianto mengumumkan komposisi kabinetnya, satu nama langsung memicu berbagai reaksi: Bahlil Lahadalia, mantan Menteri Investasi yang kini diamanahkan menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Penunjukan ini bukan hanya keputusan politis, tetapi sinyal tegas bahwa hilirisasi bukan lagi sekadar jargon industri, melainkan strategi kedaulatan ekonomi yang akan dilanjutkan dan diperluas.
Tak sedikit yang mengernyitkan dahi. Bahlil, yang berlatar belakang pengusaha dan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bukan teknokrat energi. Tapi justru di situlah letak keistimewaannya: ia membawa pendekatan pragmatis, berani, dan membumi ke sektor yang selama ini terlalu teknis dan kerap terjebak dalam stagnasi regulasi.
Hilirisasi: Bukan Sekadar Tambang, Tapi Arah Masa Depan
Hilirisasi selama ini dimaknai sebagai proses pengolahan bahan mentah—seperti nikel, bauksit, dan tembaga—menjadi produk bernilai tambah di dalam negeri. Namun di tangan Bahlil, hilirisasi tampaknya akan diinterpretasikan lebih luas: transformasi struktur ekonomi dari eksportir bahan mentah menjadi produsen industri bernilai tinggi yang menyerap tenaga kerja, mentransfer teknologi, dan membuka akses global.
Sebagai Menteri Investasi, Bahlil pernah menjadi “ujung tombak” dalam mendorong masuknya investasi smelter dan pabrik baterai kendaraan listrik. Kini, sebagai Menteri ESDM, ia bukan lagi sekadar “penjembatan” investor dan perizinan, tapi penentu arah kebijakan nasional sektor energi dan tambang. Dengan kata lain, ia naik kelas—dari pengatur lalu lintas menjadi perancang jalan raya.
Tangan Kotor, Kaki di Lumpur
Satu hal yang membuat Bahlil berbeda adalah gaya kerjanya yang sangat lapangan. Ia bukan tipe pejabat yang hanya berkutat di PowerPoint dan rapat koordinasi. Ia datang ke tambang, berbicara langsung dengan kepala desa, tokoh adat, hingga buruh lokal. Di era hilirisasi yang kerap menimbulkan gesekan sosial dan konflik agraria, kedekatan Bahlil dengan masyarakat akar rumput adalah aset politik yang krusial.
Ia memahami bahwa pembangunan smelter tidak bisa hanya dibicarakan di ruang rapat Kementerian. Ia sadar, setiap ton nikel yang ditambang menyisakan lubang yang bisa menjadi jurang ketidakadilan jika tidak diimbangi dengan keberpihakan pada masyarakat lokal.
Sebagai contoh, dalam kunjungannya ke Maluku Utara, Bahlil pernah menegur keras perusahaan tambang yang tidak memenuhi janji pembangunan fasilitas publik. “Negara ini bukan milik investor saja,” katanya. Pernyataan semacam ini—berani, lugas, dan berpihak—bisa jadi senjata sekaligus tantangan ketika ia memimpin ESDM, kementerian yang penuh tarik-menarik antara kepentingan politik, bisnis, dan rakyat.
Energi Baru dan Hilirisasi Hijau
Yang menarik adalah, Bahlil tidak hanya fokus pada hilirisasi mineral. Ia juga telah menyuarakan pentingnya hilirisasi energi baru dan terbarukan (EBT). Di tengah transisi global menuju ekonomi hijau, Indonesia tidak bisa hanya menambang nikel dan mengekspor baterai. Bahlil ingin ekosistemnya dibangun lengkap, dari pembangkit EBT, pabrik komponen, hingga daur ulang.
“Kalau kita bisa ekspor mobil listrik yang komponennya dibuat di Indonesia, itu baru namanya hilirisasi total,” ujar Bahlil dalam satu wawancara. Visi ini menunjukkan bahwa ia tidak puas hanya pada level pengolahan bahan mentah, tetapi ingin membangun rantai pasok industri yang strategis dan berkelanjutan.
Namun tantangannya tidak ringan. Banyak proyek EBT tersendat karena persoalan lahan, tarif listrik yang tidak kompetitif, hingga ketimpangan infrastruktur. Di sinilah keberanian Bahlil akan diuji—mampukah ia menjebol tembok birokrasi lama dan menyederhanakan ekosistem regulasi agar energi hijau tidak hanya wacana?
Dari Papua untuk Indonesia
Bahlil, yang lahir dan besar di Fakfak, Papua Barat, membawa perspektif Indonesia Timur ke jantung pengambilan kebijakan energi. Ini penting, karena selama ini proyek-proyek energi dan tambang terlalu berpusat di Jawa dan Kalimantan. Di tangan Bahlil, ada harapan bahwa Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara bukan lagi hanya “sumber bahan mentah”, tetapi rumah bagi industri yang adil dan partisipatif.
Kedekatannya dengan Presiden Prabowo juga menjadikan Bahlil sebagai figur yang bisa mengubah narasi hilirisasi dari teknokratis menjadi populis. Ia bukan sekadar meneruskan kebijakan Jokowi, tapi memberi warna baru—lebih pro-rakyat, lebih berani, dan lebih egaliter.
Hilirisasi Sebagai Gerakan, Bukan Proyek
Bahlil Lahadalia kini memimpin kementerian yang akan menentukan wajah Indonesia dalam dua dekade ke depan: apakah kita akan terus menjadi penjual tanah dan batu, atau menjadi bangsa industri yang berdaulat secara energi dan ekonomi.
Dengan gaya kepemimpinan yang dinamis, pengalaman investasi, dan keberanian politik, Bahlil punya potensi mengubah hilirisasi dari proyek elite menjadi gerakan ekonomi nasional. Dan jika ia berhasil, bukan tidak mungkin ia akan dikenang bukan hanya sebagai menteri, tetapi sebagai arsitek ekonomi pasca-bahan mentah di Indonesia.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Sebuah Kereta, Cepat Korupsinya

Menata Ulang Otonomi: Saatnya Menghadirkan Keadilan dan Menata Layanan

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya



No Responses