JAKARTA – Dalam pernyataan tegas di kanal Podcast EdShareOn, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) menyebut bahwa kondisi ekonomi Indonesia sudah mendekati “lampu merah”. Ini bukan sekadar istilah dramatis, tetapi gambaran nyata dari situasi fiskal, moneter, dan sosial-ekonomi yang makin genting.
Fiskal Kritis, APBN Terancam Dipangkas
Anthony menyoroti penurunan tajam dalam penerimaan pajak negara (sekitar 10% dari APBN), padahal pajak menjadi tulang punggung APBN. Ketika penerimaan menurun, sementara beban belanja negara tetap tinggi, maka satu-satunya jalan adalah memangkas pengeluaran. Namun, pemangkasan ini justru bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi secara drastis. Karena dalam struktur ekonomi Indonesia saat ini, belanja pemerintah masih menjadi motor utama penggerak ekonomi. Jika motor ini melambat, maka seluruh sistem ikut tersendat.
Hutang Membengkak, Bunga Menggerogoti Fiskal
Lebih mencemaskan lagi, menurut Anthony, sekitar 25% dari penerimaan pajak negara langsung habis hanya untuk membayar bunga utang. Ini artinya, seperempat energi fiskal negara terbuang untuk menutup lubang masa lalu, bukan untuk membangun masa depan. Ini bukan hanya tidak produktif, tetapi juga membahayakan kelangsungan fiskal negara dalam jangka panjang.
Defisit Transaksi Berjalan: Rupiah Tertekan, Cadangan Tergerus
Dari sisi moneter, Anthony mengingatkan bahwa transaksi berjalan Indonesia kini defisit, menunjukkan ketidakseimbangan antara ekspor dan impor serta pembiayaan luar negeri. Ini menekan nilai tukar rupiah dan memperbesar kerentanan terhadap gejolak global. Dalam jangka panjang, ini bisa membuat Bank Indonesia harus memilih antara menahan suku bunga tinggi atau merelakan depresiasi rupiah yang memicu inflasi.
194 jJuta Orang Dalam Jerat Kemiskinan
Situasi ini diperparah dengan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya jauh lebih tinggi dari data resmi, jika menggunakan standar global. Menurut Bank Dunia, dengan kriteria negara berpendapatan menengah atas, Indonesia memiliki sekitar 194 juta orang yang tergolong miskin. Artinya, lebih dari 70% populasi masih hidup dalam kondisi rentan atau serba kekurangan. Ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam menciptakan keadilan sosial dan pemerataan ekonomi.
Jalan Terjal ke Depan
Peringatan Prof. Anthony bukan sekadar kritik, melainkan seruan untuk reformasi struktural, efisiensi anggaran, perbaikan sistem perpajakan, dan pembenahan distribusi kekayaan. Jika tidak segera dilakukan, “lampu merah” itu bisa berubah menjadi krisis ekonomi dan sosial yang lebih dalam.
Indonesia masih punya waktu, tapi tidak banyak.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia



No Responses