SELANDIA BARU – Suara kuat yang dihasilkan paus biru membantu mereka berkomunikasi dengan pasangan atau menandakan ditemukannya makanan yang melimpah.
Nyanyian paus sangat berbeda dari nyanyian yang biasa didengar manusia. Tidak seperti suara musik kita, suara yang dihasilkan paus merupakan rangkaian vokalisasi kompleks yang mencakup erangan, klik, dan siulan, dan dapat terdengar seperti apa pun, mulai dari lenguhan sapi hingga kicauan burung. Vokalisasi ini bisa begitu kuat sehingga dapat terdengar hingga jarak 10 km (6 mil), dan dapat berlangsung selama setengah jam.
Meskipun mungkin bukan materi yang tepat untuk menari, nyanyian paus sangat penting untuk komunikasi: antara paus jantan dan betina saat kawin, atau di antara kawanan paus yang bermigrasi.
Bagi para peneliti, suara-suara kompleks ini merupakan jendela untuk melihat perilaku paus, meskipun manusia belum tahu persis bagaimana cara mengartikannya.
Frekuensi nyanyian dan intensitasnya dapat menandakan berbagai hal: misalnya, kelimpahan makanan. Namun, dalam studi terbaru, para peneliti dikejutkan dengan temuan bahwa paus biru, paus terbesar dan, bahkan, mamalia terbesar di Bumi, telah berhenti berkicau pada waktu-waktu tertentu.
Keheningan mereka yang mencekam, kata para ilmuwan, merupakan sinyal bahwa kehidupan laut sedang berubah secara fundamental. Studi terbaru, yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Monterey Bay Aquarium Research Institute di California, AS, dan diterbitkan pada bulan Februari, meneliti tiga jenis paus. Para peneliti menemukan bahwa paus biru, khususnya, menjadi lebih rentan terhadap perubahan ini.
Apa yang ditemukan para peneliti, dan di mana?
Setidaknya dua studi antara tahun 2016 dan 2025 menemukan perilaku serupa: paus biru telah mengurangi kicauan mereka untuk jangka waktu tertentu.
Studi pertama, yang dilakukan di perairan laut antara pulau-pulau Selandia Baru antara tahun 2016 dan 2018, dipimpin oleh para ilmuwan dari Marine Mammal Institute di Oregon State University, AS. Selama periode tersebut, para peneliti melacak vokalisasi paus biru tertentu yang terkait dengan makan (disebut panggilan-D) dan kawin (disebut lagu berpola).
Para peneliti menggunakan rekaman berkelanjutan dari perangkat bawah air yang disebut hidrofon, yang dapat merekam suara hingga ribuan kilometer, dan ditempatkan di Teluk Taranaki Selatan – tempat yang dikenal sebagai tempat mencari makan paus biru di lepas pantai barat Selandia Baru.
Mereka menemukan bahwa selama beberapa periode, terutama di bulan-bulan hangat musim semi dan musim panas ketika paus biasanya menggemukkan badan, frekuensi dan intensitas suara yang berkaitan dengan aktivitas makan menurun – menunjukkan berkurangnya sumber makanan. Penurunan tersebut diikuti oleh berkurangnya kemunculan lagu berpola, yang menandakan penurunan aktivitas reproduksi.
“Ketika kesempatan makan berkurang, mereka mengurangi upaya reproduksi,” kata peneliti utama Dawn Barlow kepada para wartawan. Hasil studi tersebut dipublikasikan di jurnal Ecology and Evolution pada tahun 2023.
Kemudian, dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal ilmiah PLOS One pada bulan Februari tahun ini, para peneliti melacak suara paus balin di Ekosistem Arus California, wilayah di Samudra Pasifik Utara yang membentang dari British Columbia hingga Baja California. Paus biru adalah sejenis paus balin, dan penelitian ini berfokus pada mereka, bersama sepupu mereka, paus bungkuk dan paus sirip.
Selama enam tahun, dimulai pada tahun 2015, para ilmuwan menemukan pola yang berbeda. Selama dua tahun pertama, “masa-masa sulit bagi paus”, kata peneliti utama John Ryan dari Monterey Bay Aquarium Research Institute di California, dalam sebuah pernyataan pers, karena paus, terutama paus biru, ditemukan lebih jarang berkicau. Namun, selama tiga tahun berikutnya, ketiga spesies paus kembali berkicau lebih sering, catat penelitian tersebut.
Mengapa paus biru lebih jarang berkicau?
Kedua studi menemukan satu alasan utama berkurangnya kicauan paus: makanan atau, dalam hal ini, kurangnya makanan.
Ternyata penelitian yang dilakukan antara tahun 2015 dan 2020 tersebut, menangkap periode peristiwa gelombang panas laut ekstrem yang membunuh krill, hewan kecil mirip udang yang menjadi makanan paus biru.
Gelombang panas tersebut merupakan bagian dari bencana lingkungan yang mengancam yang telah diperingatkan oleh para ilmuwan: pemanasan global yang sedang berlangsung, ditandai dengan peningkatan suhu rata-rata global, dan disebabkan oleh aktivitas manusia beremisi tinggi, terutama pembakaran bahan bakar fosil.
Para ilmuwan mengatakan dunia akan segera mencapai titik kritis di mana akan terjadi perubahan yang tak terelakkan pada planet ini. Tahun 2016, 2023, dan 2024 telah tercatat sebagai tahun-tahun terhangat yang pernah ada.
SUMBER: AL JAZEERA
EDITOR: REYNA
Related Posts

Setelah Ira Puspadewi Direhabilitasi, Layakkah Karen Agustiawan Mendapat Perlakuan Yang Sama?

Faizal Assegaf Minta Megawati Dan SBY Lakukan Mediasi Dengan Jokowi

PBB meluncurkan proses formal untuk memilih sekretaris jenderal berikutnya

Kecerdasan Spiritual Fondasi Kebahagiaan

Kubu Jokowi TawarkanMediasi Kepada Roy cs

Bukan Sekadar Layar: Kehadiran yang Membentuk Hati Anak

TNI AL Amankan Dua Kapal Pengangkut Nikel Ilegal di Perairan Morowali–Konut

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (8) : Penghargaan Dunia Dan Jejak Diplomasi Global Indonesia

Apa Mungkin Selama Ini Negara Tidak Tahu?

Buntut Pemusnahan Dokumen, Taufiq Ancam Laporkan Semua Komisioner KPU Surakarta



No Responses