JAKARTA – Adegan singkat di sebuah acara resmi tiba-tiba menjadi bahan perbincangan nasional. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terlihat melewati Menko Perekonomian Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tanpa mengulurkan tangan. Kamera menangkap momen itu, dan publik langsung membaca isyarat politik di baliknya. Bagi sebagian orang, itu hanyalah momen canggung. Namun di kalangan elite, peristiwa ini dianggap sebagai simbol membara dari rivalitas lama antara Geng Solo dan Geng Pacitan.
Dua Geng Politik: Latar Belakang yang Mengakar
Geng Solo adalah istilah yang merujuk pada lingkaran politik yang berpusat di sekitar keluarga Jokowi dan jaringan loyalisnya, terutama yang tumbuh di Solo, Jawa Tengah. Geng ini identik dengan gaya politik langsung ke akar rumput, populis, dan kadang terkesan “nyeleneh” namun efektif.
Sementara Geng Pacitan merujuk pada lingkaran politik keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berakar di Pacitan, Jawa Timur. Citra mereka adalah militeris, rapi, dan penuh perhitungan. AHY, sebagai penerus politik keluarga, membawa gaya kepemimpinan yang lebih formal namun tetap membungkusnya dengan citra milenial.
Rivalitas kedua geng ini tidak selalu terbuka. Selama bertahun-tahun, hubungan SBY dan Jokowi relatif dingin tapi terkendali. Namun, masuknya Gibran ke panggung politik nasional sebagai Wapres tampaknya mengubah suhu.
Insiden Tanpa Salaman: Simbol atau Kebetulan?
Momen ketika Gibran tidak menyalami AHY terjadi di tengah sorotan kamera. AHY sempat berdiri di dekatnya, namun Gibran tampak memilih berjalan tanpa kontak fisik. Bagi pengamat politik, ini bukan sekadar gestur—melainkan sinyal bahwa hubungan personal dan politik mereka tidak sedang hangat.
Seorang analis politik yang dekat dengan lingkaran Geng Solo menyebut, “Gibran punya memori politik panjang. AHY bukan sekadar rival, tapi juga simbol keluarga politik yang sering berbeda haluan dengan ayahnya.”
Di sisi lain, sumber dari Demokrat menilai ini hanya “miskomunikasi” dan bukan pesan khusus. Namun, narasi ini sulit dipercaya bagi banyak orang yang membaca bahasa tubuh politik.
Tanggapan Demokrat dan SBY
Partai Demokrat bergerak cepat. Jubir resmi partai mengeluarkan pernyataan bahwa mereka “tidak melihat masalah besar” dan menganggap itu hanya situasi di lapangan. Namun, di balik layar, beberapa kader mengaku kesal. “Kalau ini sinyal bahwa Geng Solo ingin menunjukkan dominasi, ya kita catat,” ujar seorang petinggi Demokrat off the record.
SBY sendiri, menurut sumber internal, memilih tidak mengomentari langsung, tapi sikapnya jelas: menginstruksikan AHY agar tidak terpancing, tetap menjaga citra sebagai pejabat negara, dan fokus pada agenda kementerian.
Respon Geng Solo
Dari kubu Solo, respons justru lebih santai, bahkan cenderung mengolok-olok. Seorang figur dekat Gibran mengatakan, “Wong cuma nggak salaman, kok ribut. Kita ini lagi kerja, bukan ajang reuni.” Namun, nada itu terasa seperti sengaja memperkecil masalah sambil membiarkan rumor bergulir.
Lingkaran Geng Solo juga melihat insiden ini sebagai kesempatan untuk mengukuhkan narasi bahwa Gibran adalah sosok independen yang tidak terikat pada “tradisi politik lama”, termasuk budaya formalitas ala Geng Pacitan.
Rivalitas Yang Bisa Membelah Koalisi?
Situasi ini punya potensi jangka panjang. Saat ini, keduanya berada di pemerintahan yang sama—Gibran sebagai Wapres, AHY sebagai Menko Perekonomian. Tapi rivalitas personal yang tidak dikelola bisa merembet ke dalam kebijakan, koordinasi, bahkan komposisi kabinet ke depan.
Koalisi besar yang menopang pemerintahan Prabowo-Gibran membutuhkan stabilitas internal. Jika Geng Solo dan Geng Pacitan terus saling menyindir, publik bisa mulai meragukan soliditas pemerintahan.
Kesimpulan: Bukan Sekadar Salaman
Di politik, gestur kecil sering kali menjadi representasi dari dinamika besar yang tak terlihat. Insiden tanpa salaman ini mungkin tak akan tercatat di buku sejarah resmi, tapi ia telah membuka kotak pandora rivalitas lama antara dua klan politik besar Indonesia.
Satu hal yang pasti: baik Geng Solo maupun Geng Pacitan kini sadar bahwa publik sedang mengawasi setiap gerak mereka. Dan di tengah panggung politik yang kerap penuh sandiwara, terkadang satu jabat tangan—atau ketidakhadirannya—bisa berbicara lebih keras dari seribu pidato.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Patianrowo Nganjuk dan Komite Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Nganjuk

Aksi Selamatkan Hiu: Pemuda Banyuwangi Kembangkan Aplikasi Berbasis Kecerdasan Buatan untuk Identifikasi Spesies Hiu Secara Akurat

Pemilu Amerika 2025: Duel Sengit AI vs Etika di Panggung Politik Dunia

Jakarta 2030: Ketika Laut Sudah di Depan Pintu

Dari Wayang ke Metaverse: Seniman Muda Bawa Budaya Jawa ke Dunia Virtual

Operasi Senyap Komisi Pemberantasan Korupsi: Tangkap Tangan Kepala Daerah dan Pejabat BUMD dalam Proyek Air Bersih



No Responses