Rivalitas Geng Solo vs Geng Pacitan Memanas: Buntut Insiden Tanpa Salaman Gibran dan AHY

Rivalitas Geng Solo vs Geng Pacitan Memanas: Buntut Insiden Tanpa Salaman Gibran dan AHY
Foto yang memperlihatkan momen ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak menyalami Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat berlangsungnya Upacara Gelar Pasukan di Pusdiklatpassus Batujajar, Bandung Barat, pada Minggu, 10 Agustus 2025 . Dalam gambar tersebut, Gibran terlihat melewati barisan AHY—yang sedang berdiri—tanpa berjabat tangan, sementara kemudian menyalami pejabat lain seperti Jaksa Agung ST Burhanuddin

JAKARTA – Adegan singkat di sebuah acara resmi tiba-tiba menjadi bahan perbincangan nasional. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terlihat melewati Menko Perekonomian Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tanpa mengulurkan tangan. Kamera menangkap momen itu, dan publik langsung membaca isyarat politik di baliknya. Bagi sebagian orang, itu hanyalah momen canggung. Namun di kalangan elite, peristiwa ini dianggap sebagai simbol membara dari rivalitas lama antara Geng Solo dan Geng Pacitan.

Dua Geng Politik: Latar Belakang yang Mengakar

Geng Solo adalah istilah yang merujuk pada lingkaran politik yang berpusat di sekitar keluarga Jokowi dan jaringan loyalisnya, terutama yang tumbuh di Solo, Jawa Tengah. Geng ini identik dengan gaya politik langsung ke akar rumput, populis, dan kadang terkesan “nyeleneh” namun efektif.

Sementara Geng Pacitan merujuk pada lingkaran politik keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berakar di Pacitan, Jawa Timur. Citra mereka adalah militeris, rapi, dan penuh perhitungan. AHY, sebagai penerus politik keluarga, membawa gaya kepemimpinan yang lebih formal namun tetap membungkusnya dengan citra milenial.

Rivalitas kedua geng ini tidak selalu terbuka. Selama bertahun-tahun, hubungan SBY dan Jokowi relatif dingin tapi terkendali. Namun, masuknya Gibran ke panggung politik nasional sebagai Wapres tampaknya mengubah suhu.

Insiden Tanpa Salaman: Simbol atau Kebetulan?

Momen ketika Gibran tidak menyalami AHY terjadi di tengah sorotan kamera. AHY sempat berdiri di dekatnya, namun Gibran tampak memilih berjalan tanpa kontak fisik. Bagi pengamat politik, ini bukan sekadar gestur—melainkan sinyal bahwa hubungan personal dan politik mereka tidak sedang hangat.

Seorang analis politik yang dekat dengan lingkaran Geng Solo menyebut, “Gibran punya memori politik panjang. AHY bukan sekadar rival, tapi juga simbol keluarga politik yang sering berbeda haluan dengan ayahnya.”

Di sisi lain, sumber dari Demokrat menilai ini hanya “miskomunikasi” dan bukan pesan khusus. Namun, narasi ini sulit dipercaya bagi banyak orang yang membaca bahasa tubuh politik.

Tanggapan Demokrat dan SBY

Partai Demokrat bergerak cepat. Jubir resmi partai mengeluarkan pernyataan bahwa mereka “tidak melihat masalah besar” dan menganggap itu hanya situasi di lapangan. Namun, di balik layar, beberapa kader mengaku kesal. “Kalau ini sinyal bahwa Geng Solo ingin menunjukkan dominasi, ya kita catat,” ujar seorang petinggi Demokrat off the record.

SBY sendiri, menurut sumber internal, memilih tidak mengomentari langsung, tapi sikapnya jelas: menginstruksikan AHY agar tidak terpancing, tetap menjaga citra sebagai pejabat negara, dan fokus pada agenda kementerian.

Respon Geng Solo

Dari kubu Solo, respons justru lebih santai, bahkan cenderung mengolok-olok. Seorang figur dekat Gibran mengatakan, “Wong cuma nggak salaman, kok ribut. Kita ini lagi kerja, bukan ajang reuni.” Namun, nada itu terasa seperti sengaja memperkecil masalah sambil membiarkan rumor bergulir.

Lingkaran Geng Solo juga melihat insiden ini sebagai kesempatan untuk mengukuhkan narasi bahwa Gibran adalah sosok independen yang tidak terikat pada “tradisi politik lama”, termasuk budaya formalitas ala Geng Pacitan.

Rivalitas Yang Bisa Membelah Koalisi?

Situasi ini punya potensi jangka panjang. Saat ini, keduanya berada di pemerintahan yang sama—Gibran sebagai Wapres, AHY sebagai Menko Perekonomian. Tapi rivalitas personal yang tidak dikelola bisa merembet ke dalam kebijakan, koordinasi, bahkan komposisi kabinet ke depan.

Koalisi besar yang menopang pemerintahan Prabowo-Gibran membutuhkan stabilitas internal. Jika Geng Solo dan Geng Pacitan terus saling menyindir, publik bisa mulai meragukan soliditas pemerintahan.

Kesimpulan: Bukan Sekadar Salaman

Di politik, gestur kecil sering kali menjadi representasi dari dinamika besar yang tak terlihat. Insiden tanpa salaman ini mungkin tak akan tercatat di buku sejarah resmi, tapi ia telah membuka kotak pandora rivalitas lama antara dua klan politik besar Indonesia.

Satu hal yang pasti: baik Geng Solo maupun Geng Pacitan kini sadar bahwa publik sedang mengawasi setiap gerak mereka. Dan di tengah panggung politik yang kerap penuh sandiwara, terkadang satu jabat tangan—atau ketidakhadirannya—bisa berbicara lebih keras dari seribu pidato.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K