Hilangnya Keadilan Sosial di 80 Tahun Merdeka

Hilangnya Keadilan Sosial di 80 Tahun Merdeka
Ilustrasi: Dengan gembira anak-anak mengibarkan bendera Merah-Putih ditangannya. Merdeka!!

Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Dosen di STT Multimedia Internasional Malang, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim

Langit Jakarta, 16 Agustus 1945.

Udara berat menggantung di atas ibu kota yang letih. Tentara Jepang masih berpatroli di sudut-sudut jalan, sementara bisik-bisik tentang kekalahan mereka berhembus di warung-warung kopi. Di gang sempit, anak-anak berlari tanpa alas kaki di antara rumah reyot. Romusha pulang tinggal kulit membalut tulang, membawa cerita tentang kerja paksa, kelaparan, dan kematian.

Sehari sebelumnya, Jepang menyerah kepada Sekutu. Namun, rakyat Indonesia belum merdeka. Bendera merah putih belum berkibar, suara “Merdeka!” belum menggema. Hak menentukan nasib sendiri masih tertahan di ujung lidah.

Di balik dinding rapat yang panas dan sempit, para pemuda mendesak: kemerdekaan harus diumumkan segera, tanpa restu penjajah. Dini hari 16 Agustus, mereka membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok — bukan penculikan, melainkan penyelamatan. Malam itu, di rumah Laksamana Maeda, teks proklamasi ditulis. Singkat, tapi menggetarkan.

Pagi 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur 56, bendera merah putih naik perlahan. Tidak ada dentuman meriam atau parade besar. Hanya suara merdeka yang pecah di udara, sederhana, tapi memikul beban ratusan tahun ketidakadilan.

80 Tahun Kemudian: Sebuah Ironi

Delapan dekade berlalu. Negeri ini telah melewati masa revolusi, pembangunan, reformasi, dan era digital. Jalan raya membentang, gedung-gedung pencakar langit berdiri di kota-kota besar, dan data ekonomi tampak meyakinkan di layar presentasi. Namun di balik itu semua, rakyat kembali merasakan keterjajahan di negeri sendiri.

Bedanya, kini para penindasnya bukan lagi berseragam asing, melainkan berbendera merah putih. Korupsi merajalela, pajak dinaikkan atas nama pembangunan, sementara pemerintah sibuk mencari utang dan bermain-main dengan nasib rakyat. Pembangunan sering hanya nyata di angka, tidak di dapur rakyat.

Bung Karno pernah mengingatkan:

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Bung Hatta menegaskan:

“Kemerdekaan tidak akan berarti apabila rakyat masih lapar, tidak mendapat pekerjaan, dan hidupnya sengsara.”

Kata-kata itu kini menjadi cermin retak: kita merdeka secara politik, namun kian terjajah secara ekonomi dan sosial.

Di Tanah Merdeka Yang Kehilangan Keadilan

Di tanah ini, benderaku berkibar tinggi
Namun bayang-bayang penindas tak lagi asing
Mereka berbahasa sepertiku,
Bertanah air sepertiku,
Tapi memeras nafasku perlahan-lahan

Bung Karno pernah berpesan
Perjuanganku lebih mudah,
Karena musuhku nyata dan berwajah asing
Perjuanganmu lebih sulit,
Karena pengkhianatan akan datang dari wajah yang kau kenal

Bung Hatta pernah mengingatkan
Merdeka tak berarti
Jika perut rakyat masih kosong,
Jika pekerjaan hanya mimpi,
Jika sengsara menjadi kawan abadi

Kini aku bertanya pada langit
Apakah kita merdeka, atau sekadar berganti tuan?
Apakah tanah ini tanah merdeka,
Jika keadilan hanya dimiliki segelintir orang?

Rakyat Tidak Pernah Benar-Benar Diam

Sejarah membuktikan: ketika kesabaran rakyat mencapai batasnya, gelombang perlawanan selalu lahir. Tahun 1998, Reformasi meledak dari jalanan Jakarta hingga pelosok negeri. Ribuan mahasiswa, buruh, dan rakyat kecil bersatu, menumbangkan rezim yang dianggap menindas dan korup. Peluru menembus tubuh, gas air mata membakar mata, tapi semangat melawan tak pernah padam.

Dua dekade kemudian, perlawanan rakyat kembali menyala di Pati, Jawa Tengah. Kali ini, bukan pabrik semen yang menjadi pemicu, melainkan kebijakan bupati yang menaikkan pajak hingga 250%. Ketika rakyat mengeluh, sang bupati malah menantang: “Kalau tidak setuju, silakan demo!”

Tantangan itu dijawab dengan satu kata: lawan. Rakyat dari berbagai desa bergotong royong mengumpulkan dana, menyiapkan logistik, dan bergerak dalam gelombang besar menuju pusat pemerintahan. Mereka bukan hanya menolak pajak yang mencekik, tetapi menuntut bupatinya mundur.

Bagi rakyat, kenaikan pajak itu bukan sekadar angka di atas kertas. Itu adalah cambuk yang mengingatkan pada masa penjajahan, ketika upeti diperas dari tanah jajahan. Bedanya, kini yang meminta “upeti” adalah pemimpin yang seharusnya melindungi.

Pati menjadi bukti bahwa di tengah ketidakadilan, rakyat masih memiliki tenaga untuk melawan, bahwa meski dijajah oleh wajah dan bahasa sendiri, mereka tidak akan tunduk selamanya.

Menuju Proklamasi Jilid 2

Kini, 80 tahun setelah bendera merah putih pertama kali berkibar, kita berada di persimpangan jalan.
Apakah kita akan membiarkan kemerdekaan menjadi sekadar tanggal merah di kalender? Atau kita akan kembali merebutnya dari tangan segelintir elit yang memonopoli kekuasaan?

Proklamasi Jilid 2 bukan berarti mengulang sejarah secara fisik, melainkan menghidupkan kembali roh yang lahir pada 17 Agustus 1945:

• Roh keberanian untuk melawan ketidakadilan
• Roh kesetaraan yang memuliakan rakyat kecil
• Roh persatuan yang menolak dijual kepada kepentingan asing

Karena kemerdekaan adalah milik rakyat — bukan milik penguasa, bukan milik partai, bukan milik oligarki. Dan seperti 1945, seperti 1998, seperti Pati, rakyat masih punya energi untuk berdiri, bersuara, dan berkata:

Kami tidak akan membiarkan tanah ini dijajah kembali, walau dengan wajah dan bahasa sendiri.

Surabaya, 16 Agustus 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K