Amarah Rakyat

Amarah Rakyat
Ilustrasii

Oleh: M. Isa Ansori
Akademisi, Dewan Palar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim

Rakyat yang marah adalah tanda bahwa negara gagal mendengar jeritannya. Setiap kali demonstrasi berubah menjadi kerusuhan, pola yang muncul selalu sama: kantor polisi dibakar, gedung DPR/DPRD diserang, kantor kepala daerah dirusak, bahkan rumah para pejabat dan politisi ikut dijarah.

Amarah itu bukan tanpa arah. Ia menyasar pada simbol-simbol kekuasaan yang dianggap angkuh, culas, dan pengkhianat.

Ini akan menjadi pesan penting kepada para wakil rakyat, presiden, gubernur, walikota dan bupati yang hanya butuh rakyat ketika menjelang pemilu dan pilkada, begitu terpilih ingkar dan lupa akan janji janjinya serta meninggalkan komitmennya terhadap perjuangan bersama mensejahterakan rakyat yang dilakukan.

Simbol Kekuasaan Menjadi Target

Mengapa pasar, sekolah, atau rumah rakyat jarang jadi korban? Karena bagi massa, itu bukan musuh mereka. Musuh yang nyata ada pada simbol kekuasaan. Polisi dipandang sebagai tangan besi negara, yang sering kali lebih sibuk memukul rakyat daripada melindungi. DPR/DPRD dilihat sebagai gedung aspirasi yang sudah lama berubah menjadi gedung oligarki. Kepala daerah menjadi wajah janji-janji politik yang terbukti kosong.

Ketika rumah pribadi pejabat ikut dirusak, itu bukan sekadar kriminalitas. Ia adalah pesan politik yang brutal: rakyat sudah muak melihat jurang kesenjangan antara mereka yang bergelimang fasilitas dengan rakyat yang kesulitan membeli kebutuhan pokok.

Potret Amarah Kolektif

Peristiwa terakhir memperlihatkan hal itu dengan telanjang. Rumah Syahroni (DPR RI dari Partai Nasdem) menjadi sasaran. Kediaman Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN digeruduk massa dan dijarah. Bahkan rumah elit politik besar seperti Sri Mulyani dan Puan Maharani ikut digeruduk. Semua itu hanyalah simbol. Publik tak lagi melihat individu, tapi melihat “elit” yang hidup nyaman di atas penderitaan rakyat.

Kantor polisi pun sama. Setiap kali aparat menembakkan gas air mata, memukuli mahasiswa, atau melakukan penangkapan semena-mena, kepercayaan publik makin terkikis. Di titik itu, kantor polisi tak lagi dianggap tempat mencari keadilan, melainkan “musuh bersama” yang pantas dihancurkan.

Sejarah Yang Berulang

Sejarah Indonesia sudah mencatat pola ini. Tahun 1998, DPR menjadi lautan massa yang menggulingkan Orde Baru. Tahun 2019–2020, demo menolak RKUHP dan UU Cipta Kerja kembali menyasar gedung DPR dan kantor polisi. Kini, pola itu berulang lagi: rakyat marah, dan amarahnya konsisten diarahkan ke simbol kekuasaan.

Polisi Sebagai Pemicu

Dalam banyak kasus, justru aparatlah yang memantik eskalasi. Ketika aksi damai direspons dengan kekerasan, gas air mata, atau intimidasi, amarah rakyat berlipat ganda. Di sinilah logika massa berubah: jika rakyat disakiti, maka simbol yang menyakiti harus dihancurkan. Rumah oknum polisi yang angkuh pun dijarah sebagai balas dendam kolektif.

Politik Tidak Percaya

Sasaran amarah itu menunjukkan satu hal: rakyat sudah kehilangan rasa percaya. Mereka tak percaya lagi pada DPR yang sibuk bertransaksi dengan oligarki. Mereka muak dengan kepala daerah yang hanya pandai berjanji. Mereka kecewa dengan polisi yang tak lagi mengayomi.

Amarah rakyat adalah amarah atas politik ketidakpercayaan. Mereka menyerang bukan karena benci pada gedung atau rumah, tapi karena di balik bangunan itu berdiri kekuasaan yang dianggap mengkhianati.

“Penjarahan Sebagai Pesan Keadilan Jalanan”

Penjarahan sering dianggap kejahatan murni. Namun dalam logika amarah, penjarahan menjadi “pesan” tentang keadilan jalanan. Rakyat merasa berhak mengambil apa yang selama ini dipertontonkan oleh elit. Mobil mewah, perabotan mahal, rumah bergaya istana – semua itu dianggap hasil ketidakadilan yang harus dikembalikan lewat tangan rakyat.

Ketika rumah Sri Mulyani dirusak, itu adalah simbol amarah terhadap kebijakan ekonomi yang dinilai hanya menguntungkan elit. Saat rumah Puan Maharani digeruduk, itu adalah simbol perlawanan terhadap dinasti politik yang dianggap menutup ruang meritokrasi. Bahkan bukan tidak mungkin rumah mantan presiden Jokowi akan jadi sasaran amuk massa, karena dianggap simbol kekuasaan yang tak berpihak pada rakyat.

Rakyat Marah, Kekuasaan Terancam

Mengapa yang jadi sasaran hanya polisi, DPR, kepala daerah, dan rumah pejabat? Karena mereka adalah simbol nyata kekuasaan. Mereka adalah wajah negara yang tidak pernah hadir dengan empati, melainkan hadir dengan arogansi dan penindasan.

Amarah rakyat ini harus dibaca bukan sekadar kerusuhan, tapi tanda bahaya: krisis legitimasi negara. Selama elit politik tetap sibuk dengan transaksi kekuasaan, selama aparat terus represif, dan selama jurang kesenjangan dibiarkan, maka rakyat akan terus marah. Dan ketika rakyat marah, amarah itu akan selalu menyasar pada kekuasaan.

Surabaya, 1 September 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K