Surabaya (Bukan) Milik Kita?

Surabaya (Bukan) Milik Kita?
Surabaya Kota Lama

Oleh: M. Isa Ansori

Kolumnis, Akademisi , Pengurus Lembaga Perlindungan Anak ( LPA ) Jatim, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah dan Wakil Ketua ICMI Jatim
Masih segar dalam ingatan kita aksi aksi demo kemarin yang menimbulkan banyak korban jiwa dan perusakan fasilitas publik sehingga melahirkan ikrar jogo Suroboyo.

Surabaya sering kita banggakan sebagai kota modern, kota pahlawan, kota yang ramah investasi. Gedung-gedung baru menjulang, jalan-jalan kian ramai, dan ruang-ruang publik ditata indah. Namun di balik wajah megah itu, tersimpan kenyataan getir: Surabaya semakin jauh dari anak-anaknya sendiri.

Masih ada ribuan anak Surabaya yang tak bisa mengenyam pendidikan menengah. Data Kementerian Pendidikan mencatat lebih dari 12 ribu anak di kota ini putus sekolah. Di jenjang SMA dan SMK, pendidikan menjadi barang mahal yang tak terjangkau bagi banyak keluarga. Pendidikan yang semestinya menjadi jalan keluar dari kemiskinan, justru berubah menjadi tembok tinggi yang sulit ditembus.

Mari kita tengok kisah Dikki, remaja dari Kedinding Kenjeran. Ayahnya seorang tukang becak, ibunya buruh pijat panggilan. Hidup mereka pas-pasan, bahkan sering kali kekurangan. Namun di tengah segala keterbatasan, mereka masih menyimpan harapan: agar Dikki bisa bersekolah di SMA, agar masa depan anaknya lebih baik. Sang ayah mengayuh becak hingga larut malam, ibunya memijat dari rumah ke rumah, hanya untuk menyisihkan rupiah demi biaya sekolah. Sekolah, yang seharusnya hak, berubah menjadi kemewahan.

Apakah Surabaya benar-benar milik mereka?

Di dunia kerja, nasib arek-arek Suroboyo tak kalah getir. Banyak lapangan kerja informal dikuasai pendatang, sementara pemuda-pemuda Surabaya kerap gagal mendapat tempat. Aset Pemkot yang seharusnya bisa dipakai anak muda untuk berusaha, sulit diakses. Pintu masa depan seperti terkunci bagi mereka yang lahir dan tumbuh di sini. Tidak mengherankan jika angka pengangguran usia muda di Surabaya masih tinggi. Banyak dari mereka yang akhirnya menyerah, atau memilih bekerja di sektor informal tanpa jaminan dan perlindungan.

Ruang publik pun semakin sempit. Taman-taman dan balai seni yang seharusnya menjadi tempat berekspresi anak muda, kini banyak yang dimonetisasi. Semua harus bayar. Alhasil, jalanan menjadi satu-satunya panggung ekspresi. Maka ketika ada kerusuhan atau perusakan fasilitas publik, kita seharusnya tidak hanya marah. Kita juga harus bertanya: bukankah itu tanda bahwa ruang anak-anak kota ini terlalu lama diabaikan?

Lebih ironis lagi, arek-arek Suroboyo seringkali hanya diingat ketika Pemkot membutuhkan: saat ada pesta, perayaan, atau saat dukungan politik dibutuhkan. Namun ketika bicara tentang ekonomi, pendidikan, papan, dan kesejahteraan, keberpihakan kepada mereka terasa samar. Surabaya seakan hanya mengingat anak-anaknya ketika butuh, lalu melupakan mereka dalam keseharian.

Lihatlah harga rumah di Surabaya yang melambung, berkisar miliaran rupiah. Pekerja Pemkot berstatus OS atau P3K yang bergaji setara UMR hanya bisa bermimpi memiliki rumah di kotanya sendiri. Surabaya kian tidak ramah bagi warganya yang lahir di sini. Mereka yang seharusnya berhak merasa memiliki kota ini, justru terpaksa tersisih oleh laju pembangunan yang lebih berpihak pada modal besar.

Apakah kita rela membiarkan kota ini terus menjadi panggung bagi mereka yang datang dengan modal besar, sementara anak-anak asli Surabaya hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri?

Saatnya Keberpihakan Nyata

Surabaya butuh arah baru. Bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi pembangunan yang berpihak pada warganya. Pendidikan menengah harus benar-benar terjangkau, agar kisah Dikki tidak terulang. Beasiswa yang tepat sasaran, peningkatan dana BOS, dan kebijakan pembebasan biaya untuk keluarga miskin harus dijalankan dengan serius.

Lapangan kerja harus berpihak pada anak-anak muda Surabaya. Aset kota harus dibuka untuk mereka, bukan hanya dikuasai kelompok tertentu. Pemuda Surabaya harus diberi kesempatan lebih luas untuk mengakses modal, ruang usaha, serta program inkubasi bisnis kreatif yang bisa menumbuhkan semangat berwirausaha.

Ruang publik harus dikembalikan sebagai ruang berekspresi gratis. Taman budaya, balai seni, balai pemuda hingga panggung-panggung terbuka harus bisa diakses anak-anak muda tanpa syarat biaya. Di situlah kreativitas mereka menemukan tempat, bukan di jalanan.

Perumahan harus ramah bagi pekerja bergaji UMR. Program perumahan rakyat, subsidi KPR, hingga pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) yang dekat dengan pusat kota harus menjadi prioritas. Jangan biarkan warga Surabaya hanya bisa tinggal di pinggiran karena harga rumah di kotanya sendiri tak terjangkau.

Pemerintah Kota harus berani membuat keberpihakan nyata. Sebab Surabaya bukan hanya kota investasi, bukan hanya etalase pembangunan. Surabaya adalah rumah bagi jutaan jiwa yang tumbuh, bermimpi, dan berharap di sini.

Mengembalikan Jati Diri Kota

Surabaya akan tetap disebut kota pahlawan hanya jika ia berpihak pada warganya sendiri. Jika tidak, ia hanya menjadi kota tanpa jiwa: megah di luar, tetapi rapuh di dalam.

Mari kita kembalikan Surabaya menjadi milik kita semua, terutama arek-arek Suroboyo. Kota ini harus berani hadir di sisi mereka yang lemah, yang bermimpi sederhana, tetapi yang sesungguhnya menjadi jiwa Surabaya. Jangan sampai ada perasaan warga Surabaya bahwa Surabaya (bukan) milik kita, kecuali keberpihakan itu diwujudkan sekarang juga.

Surabaya, 5 September 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K