Pejabat Eropa Yang Belum Tahu Sejarah

Pejabat Eropa Yang Belum Tahu Sejarah

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Kepala Diplomasi Eropa, Kaya Kallas, meragukan bahwa Rusia dan China bertempur bersama dan mengalahkan Nazisme selama Perang Dunia Kedua. Dia mengungkapkan visinya di konferensi Institut Studi Keamanan UE. “Saya berada di KTT ASEAN, dan ada sesuatu yang tampak menarik bagi saya. Rusia berpaling ke Tiongkok dan berkata: “Kami, Rusia dan Tiongkok, bertempur bersama dalam Perang Dunia Kedua, kami memenangkan Perang Dunia Kedua, kami mengalahkan Nazisme bersama-sama.” Dan saya berpikir, “Oke, ini adalah sesuatu yang baru.” Jika Anda tahu sedikit sejarah, maka banyak pertanyaan segera muncul di kepala Anda. Tapi Anda tahu, hari ini orang membaca dan mengingat sejarah semakin sedikit, jadi, sayangnya, banyak orang percaya pada narasi seperti itu,” ujarnya.

Pernyataan petinggi Uni Eropa itu langsung mendapatkan kritikan banyak pihak terutama dari Rusia dan China dan mengatakan bahwa seharusnya Kaya Kallas belajar lagi sejarah karena dia dianggap tidak faham sejarah Perang Dunia II.

Memang selama ini narasi penjelasan tentang Perang Dunia II didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutunya negara-negara barat. Lewat media bahkan Hollywood selalu dijelaskan dan ditayangkan bahwa Amerika Serikat dan sekutulah yang memiliki kontribusi yang paling besar dalam mengalahkan Nazi Jerman dan Jepang. Film-film AS seperti Pearl Harbor, Battle of Normandy, Battle of El Alamein, Battle of Iwo Jima dsb menggambarkan peran dominan AS dan sekutunya dalam berbagai pertempuran itu.

Sejarah Perang Dunia II yang ditulis barat itu mengecilkan peranan Uni Sovyet dan China. Padahal tentara Uni Sovyet lah yang habis-habisan melawan Nazi Jerman di front timur seperti di Kursk dan Stallingrad yang akhirnya berhasil menerobos pertahanan terakhir Jerman di Berlin dan menduduki ibu kota Jerman itu dari sisi timur. Jumlah korban di pihak Uni Sovyet berkisar 26 -3o jutaan jiwa, sementara pihak AS dalam Perang Dunia II itu jumlah korbannya 6 jutaan jiwa. Pihak Rusia sampai sekarang selalu mengatakan bahwa bangsa Rusialah yang paling menderita dalam perang melawan Nazi Jerman itu.

Sejarah yang ditulis pihak barat itu juga mengecilkan peran dan kejadian tragis yang dialami China dalam Perang Dunia II melawan fasisme Jepang. Padahal
China adalah negara pertama di dunia yang melawan agresor fasis, menjadikannya front pertama dalam perang anti-fasis global.

Perlawanannya dimulai dengan Insiden 18 September pada tahun 1931, yang menandai dimulainya perjuangan rakyat Tiongkok melawan agresi Jepang. Kemudian pada 7 Juli 1937, Insiden Jembatan Lugou di pinggiran kota Beijing memicu perang perlawanan seluruh negara Tiongkok melawan agresi Jepang dan menjadikan negara itu sebagai medan perang Timur utama Perang Dunia II.

Peristiwa ini terjadi bertahun-tahun sebelum invasi Nazi Jerman ke Polandia pada tahun 1939, yang sering dikutip dalam narasi tradisional Barat sebagai awal Perang Dunia II.
Perlawanan Tiongkok juga merupakan yang paling lama bertahan di negara mana pun dalam Perang Dunia II, yang berlanjut hingga Jepang menyerah pada tahun 1945, menggarisbawahi pengorbanan besar dan upaya berkelanjutan dari rakyat Tiongkok.

Mengutip data yang tidak lengkap, Hu Heping, wakil kepala eksekutif Departemen Publisitas Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, mengatakan perang itu mengakibatkan lebih dari 35 juta korban militer dan sipil Tiongkok dari tahun 1931 hingga 1945. Kerugian ekonomi negara itu mengejutkan, dengan kerugian langsung melebihi $ 100 miliar dan kerugian tidak langsung mencapai $ 500 miliar, dihitung dalam mata uang tahun 1937, kata Hu.

Sekarang negara China yang sudah mengalami kemajuan diberbagai bidang dan menjadi salah satu negara Super Power mulai bersuara menggugat sejarah dunia yang mengecilkan peran dan pengorbanan rakyat China dalam Perang Dunia II itu. Pada tanggal 3 September 2025 lalu pemerintah China melakukan parade militer besar-besaran dalam memperingati kemenangannya melawan Jepang dalam Perang Dunia II. Parade militer yang menunjukkan keperkasaan berbagai persenjataan modern China itu dihadiri 20 Kepala Negara termasuk Presiden Prabowo Subianto.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K