Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis, Akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim
Api berkobar di tengah malam, melahap Gedung Negara Grahadi di Surabaya. Asap hitam membumbung tinggi, menutup langit kota yang biasanya gemerlap. Teriakan massa bercampur dengan sirine, menghadirkan pemandangan yang lebih mirip medan perang ketimbang kota yang katanya beradab. Pada saat yang sama, di Makassar, DPRD yang seharusnya menjadi rumah aspirasi rakyat runtuh menjadi abu, bahkan merenggut nyawa. Di Kediri, sebuah kantor pemerintah hangus dilalap api, dan di Yogyakarta kantor polisi dijadikan sasaran amarah. Semua ini bukan sekadar insiden, melainkan jeritan rakyat yang merasa keadilannya dirampas.
Hilangnya Keadilan sebagai Akar Masalah
Fenomena amuk massa yang kian sering terjadi bukanlah sekadar ledakan emosional sesaat. Ia berakar pada akumulasi kekecewaan rakyat terhadap sistem yang dianggap timpang dan tidak berpihak. Ketika hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi negara. Ketika korupsi merajalela, pejabat hidup bermewah-mewahan, sementara rakyat berjuang dengan harga beras dan biaya sekolah anaknya, maka rasa keadilan seakan dipermainkan.
Dalam situasi seperti itu, pengadilan jalanan muncul sebagai saluran alternatif. Rakyat tidak lagi percaya bahwa pengadilan formal mampu menghadirkan keadilan. Jalanan pun berubah menjadi ruang peradilan, dengan vonis yang kadang brutal, sekaligus simbolik.
Peran Status Quo yang Menikmati Situasi
Namun, yang lebih berbahaya adalah ketika kondisi ini justru dimanfaatkan oleh kelompok status quo—mereka yang selama ini diuntungkan oleh sistem yang timpang. Status quo akan selalu berupaya mempertahankan keadaan. Mereka menikmati privilese, fasilitas, dan kekuasaan yang lahir dari ketidakadilan.
Ketika pemerintah mencoba mengembalikan sistem ke jalan yang benar, kelompok status quo merasa terancam. Mereka ketakutan kehilangan kendali dan kenyamanan. Maka, tak jarang mereka ikut “mengompori” keresahan warga, memanipulasi emosi massa agar amarah rakyat diarahkan ke simbol-simbol negara. Dengan begitu, upaya pembenahan menjadi lumpuh, dan perhatian publik tersita pada kerusuhan, bukan pada reformasi.
Mengapa Simbol Negara Dibakar
Pertanyaan penting muncul: mengapa kantor polisi, gedung DPRD, kantor pemerintah, hingga Gedung Negara Grahadi dijadikan sasaran? Jawabannya ada pada makna simbolik.
Polisi sering dianggap sebagai wajah negara yang dekat dengan rakyat. Ketika polisi gagal memberikan rasa aman, atau malah dianggap represif, kantor polisi menjadi simbol pengkhianatan atas tugasnya.
Gedung DPRD dan kantor pemerintah daerah dipandang sebagai pusat kekuasaan yang tidak lagi mewakili rakyat, melainkan kepentingan segelintir elit. Sementara Gedung Negara Grahadi di Surabaya, yang terbakar pada 30 Agustus 2025, menjadi gambaran jelas bagaimana simbol-simbol kebangsawanan negara bisa runtuh di mata rakyat ketika rasa keadilan diabaikan.
Di Makassar, amuk massa yang membakar gedung DPRD bahkan menelan korban jiwa. Di Kediri, kantor pemerintah hangus dilalap api, seolah menegaskan betapa rapuhnya legitimasi birokrasi. Peristiwa ini juga membawa pesan mendalam: amuk massa dan hilangnya keadilan bukan hanya dirasakan rakyat perkotaan, tetapi juga menjalar ke daerah dan pedesaan. Ketika rakyat kecil di daerah pun merasa dipinggirkan, maka bara kemarahan menjalar tanpa mengenal batas administratif.
Di Yogyakarta, kantor polisi ikut dibakar, dan fenomena serupa terjadi di beberapa daerah lain. Pola ini menunjukkan bahwa rakyat tidak sekadar marah, melainkan ingin mengirim pesan keras: simbol-simbol negara tidak lagi sakral ketika negara gagal menjalankan fungsinya.
Rakyat yang Terluka dan Elite yang Mewah
Ada paradoks yang menyedihkan di sini. Rakyat kecil menjadi aktor sekaligus korban. Mereka yang turun ke jalan, marah, lalu membakar, seringkali berakhir ditangkap atau tewas. Sementara para elite yang seharusnya bertanggung jawab atas ketidakadilan tetap aman di balik tembok kekuasaan.
Amuk massa bukan hanya tragedi sosial, tetapi juga potret betapa timpangnya beban yang ditanggung. Rakyat mengorbankan nyawa dan kebebasan, sementara elite hanya mengeluarkan pernyataan klise dari balik meja rapat.
Mengembalikan Kepercayaan
Pertanyaannya, sampai kapan lingkaran ini terus berulang? Pemerintah tidak bisa hanya meredam amarah rakyat dengan pasukan keamanan. Api amuk massa hanya bisa dipadamkan dengan menghadirkan keadilan substantif.
Pertama, negara harus berani melawan status quo. Jangan biarkan mereka terus menikmati hasil dari ketidakadilan. Kedua, sistem hukum harus dibersihkan dari praktik diskriminatif. Hukum tidak boleh lagi tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketiga, ruang partisipasi rakyat harus dibuka seluas-luasnya. Rakyat harus merasa suaranya didengar dan aspirasinya diperjuangkan, bukan diabaikan.
Keadilan Akan Mencari Jalannya
KH. Fathurrahman, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Jawa Timur, pernah mengingatkan: “Ketika keadilan hilang, rakyat akan mencari jalannya sendiri, meski itu dengan cara yang paling pahit.” Pesan ini relevan untuk kita renungkan hari ini.
Jika negara terus menutup mata, api amarah rakyat tak hanya akan membakar gedung-gedung, tapi juga legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dan ketika kepercayaan telah menjadi abu, tidak ada lagi yang tersisa untuk dipertahankan.
Surabaya, 6 September 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Wakil Ketua Komisi IX Yahya Zaini: Rumah Sakit Tak Boleh Tolak Pasien Darurat, Administrasi Nomor Dua

Viral, Lagi-Lagi Kepala Sekolah MAN 3 Kandangan, Komite dan Humas Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Kediri

FTA meminta penghentian seluruh proses kriminalisasi dan intimidasi terhadap 8 aktivis dan peneliti

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila

Jokowi Dan Polisi Potret Gagalnya Reformasi

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi

RRT Nyatakan Siap Hadapi Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Rasional dan Proporsional Dalam Menyikapi Zohran Mamdani

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana



No Responses