JAKARTA – Indonesia berada di persimpangan penting dalam transformasi digitalnya. Menurut data terbaru, sekitar 70 % pekerjaan pada tahun 2030 diperkirakan akan menuntut kompetensi di bidang seperti kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT).
Sebuah studi bahkan menunjukkan bahwa tingkat adopsi AI di tempat kerja di Indonesia bisa mencapai 92 %, menjadikan negara ini salah satu yang tercepat dalam transformasi di kawasan.
Transformasi ini membuka peluang besar: startup-startup lokal tumbuh pesat, investasi internasional mengalir, dan ekosistem digital makin matang. Namun, di balik optimisme itu muncul tantangan serius: potensi kehilangan pekerjaan secara massif terutama di sektor yang mudah diotomatisasi, ketimpangan digital yang melebar, dan kebutuhan mendesak akan regulasi etika teknologi.
Pemerintah telah merespon dengan menetapkan strategi nasional AI yang berfokus pada sektor-sektor strategis seperti layanan publik, pendidikan, keamanan pangan, dan mobilitas perkotaan. Kemitraan antara pemerintah dan perusahaan teknologi global pun sedang digencarkan untuk mendirikan pusat data, laboratorium AI, dan program beasiswa teknologi.
Namun, ancaman pengangguran digital tidak bisa diabaikan. Ketika sistem otomatisasi menggantikan tugas-tugas rutin di industri manufaktur dan jasa, pekerja dengan keterampilan tradisional akan semakin terpinggirkan. Maka transformasi tidak bisa hanya soal teknologi, melainkan juga soal manusia: reskilling dan upskilling menjadi keharusan. Tanpa itu, kesenjangan akan melebar, dan teknologi justru memperkuat ketidakadilan.
Selain itu, aspek regulasi etika menjadi kian penting: bagaimana menjaga privasi, mencegah bias algoritma, menata data besar (big data) secara aman, serta memastikan bahwa AI tidak menjadi alat untuk pengawasan massal. Beberapa pengamat menekankan bahwa regulasi harus dibentuk cepat agar tidak tertinggal oleh percepatan teknologi.
Bagi Indonesia, momen ini adalah pilihan strategis. Apabila dikelola dengan baik, transformasi digital bisa menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas, dan peningkatan kesejahteraan. Namun jika hanya dibiarkan mengalir tanpa arahan yang jelas, maka risiko munculnya ketertinggalan teknologi, pengangguran struktural, dan disrupsi sosial akan nyata.
Jadi, tantangan bagi pemangku kebijakan, akademisi, dan pelaku industri adalah: bagaimana merancang ekosistem inklusif yang memanfaatkan teknologi untuk semua — bukan hanya elite digital. Jika berhasil, Indonesia bisa menjadi pemain besar di panggung AI global. Jika tidak, teknologi bisa menjadi penyebab krisis baru bagi tenaga kerja dan masyarakat.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pertarungan Masa Depan: PLTS Atap vs PLTA Besar di Era Transisi Hijau

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Penjelasan – Mungkinkah inovasi digital membentuk masa depan layanan kesehatan di Afrika?

Kecerdasan buatan akan menghasilkan data 1.000 kali lebih banyak dibandingkan manusia

Perusahaan-perusahaan Musk menggugat Apple dan OpenAI atas dugaan ‘skema antipersaingan’

Google dan Brookfield menandatangani kesepakatan pembangkit listrik tenaga air AS senilai $3 miliar untuk mendukung target energi bersih

Perang dagang AS-Tiongkok memengaruhi robot Elon Musk

Tiongkok dan negara-negara Teluk mengadakan dialog pertama tentang penggunaan teknologi nuklir secara damai

Tenaga surya dan angin secara permanen menyalip batubara domestik dalam pembangkitan listrik di Turki

“Perang dagang” Trump menimbulkan gejolak di pasar komoditas dan energi global

	
No Responses