JAKARTA — Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, secara terbuka menyebut bahwa data pertumbuhan ekonomi Indonesia di era pemerintahan Jokowi patut dicurigai.
Ia menyebut, angka pertumbuhan yang stagnan di sekitar 5 persen selama bertahun-tahun sangat tidak wajar dan terindikasi hasil dari fabrikasi data.
“Jangankan meroket, pertumbuhan ekonomi 2015 jeblok, hanya 4,88 persen. Ekonomi Indonesia sepanjang periode pertama Jokowi tidak mampu bangkit, hanya stabil di sekitar 5 persen saja,” ujar Anthony kepada fajar.co.id, Selasa (17/6/2025).
Anthony menilai, data pertumbuhan ekonomi yang terlalu stabil dari tahun ke tahun, seperti 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), 5,17 persen (2018), dan 5,02 persen (2019), sangat janggal.
“Pertumbuhan ekonomi yang stabil seperti ini, untuk jangka waktu cukup lama, sangat tidak lazim, dan mengundang kecurigaan. Diduga ada fabrikasi alias manipulasi terhadap angka pertumbuhan ekonomi tersebut,” tegasnya.
Kecurigaan ini, kata dia, semakin kuat jika dibandingkan dengan pola pertumbuhan ekonomi triwulanan Vietnam atau Indonesia sebelum 2014 yang lebih fluktuatif dan mencerminkan dinamika pasar nyata.
Anthony bahkan menyebut bahwa indikasi manipulasi ini tak hanya jadi sorotan dalam negeri, melainkan juga para ekonom luar negeri. Ia menyinggung pendapat Gareth Leather dari Capital Economics yang terang-terangan menyatakan tidak percaya pada data PDB Indonesia dalam tulisannya, “Why we don’t trust Indonesia’s GDP data.”
Hal serupa diutarakan Trinh Nguyen, kata Anthony, ekonom dari lembaga keuangan berbasis di Hong Kong. Trinh heran dengan pola pertumbuhan ekonomi RI yang stagnan di tengah pelemahan belanja pemerintah dan investasi yang melambat.
“I don’t know how an economy can grow at the same rate for so long. Gov spending is weak and investment slowing and imports contracting HARD,” kata Trinh, dikutip Anthony.
Lebih lanjut, Anthony menjelaskan cara manipulasi tersebut dilakukan. Menurutnya, fabrikasi pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan lewat dua cara utama, menaikkan data nominal dan mengatur angka deflator (indeks harga).
“Fabrikasi ekonomi cukup dilakukan dengan memanipulasi angka deflator. Artinya, otak-atik angka deflator dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, alias manipulatif,” jelasnya.
Ia bahkan mencontohkan bahwa negara-negara lain seperti Argentina, Turki, Yunani, China, dan India pun pernah dicurigai melakukan praktik serupa.
Dalam kasus India, kata Anthony, bahkan mantan penasihat ekonominya Arvind Subramanian menyebut angka pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi 2,5 persen dari kenyataan. Anthony memperkirakan hal serupa bisa terjadi di Indonesia.
“Fabrikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini terlalu tinggi sekitar 2 persen. Sehingga pertumbuhan ekonomi sebenarnya hanya sekitar 3 persen, bahkan bisa jadi cuma 2,5 persen,” tegasnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Patianrowo Nganjuk dan Komite Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Nganjuk

Aksi Selamatkan Hiu: Pemuda Banyuwangi Kembangkan Aplikasi Berbasis Kecerdasan Buatan untuk Identifikasi Spesies Hiu Secara Akurat

Pemilu Amerika 2025: Duel Sengit AI vs Etika di Panggung Politik Dunia

Jakarta 2030: Ketika Laut Sudah di Depan Pintu

Dari Wayang ke Metaverse: Seniman Muda Bawa Budaya Jawa ke Dunia Virtual

Operasi Senyap Komisi Pemberantasan Korupsi: Tangkap Tangan Kepala Daerah dan Pejabat BUMD dalam Proyek Air Bersih



No Responses