JAKARTA – Wacana pembentukan Dewan Keamanan Nasional kembali mencuat setelah pengamat geopolitik dan pertahanan, Dr. H. Anton Permana, S.IP., M.H., menyampaikan gagasannya dalam FGD bertajuk “Potensi Perang Dunia dan Kesiapan Indonesia ke Depan”, yang digelar Great Institute. Menurut Anton, dinamika global yang semakin kompleks menuntut Indonesia memiliki wadah permanen yang mampu merumuskan strategi keamanan nasional secara terintegrasi.
Empat Titik Api Konflik Dunia
Anton memulai paparannya dengan memetakan situasi geopolitik global. Ia menyebut ada empat titik konflik besar yang berpotensi mengarah pada perang dunia: Ukraina, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur. Tiga di antaranya sudah memanas hingga menjadi perang terbuka.
“Kalau kita lihat landscape global, semua titik konflik ini sebenarnya mengitari Tiongkok. Dari Ukraina, Timur Tengah, sampai India-Pakistan, semuanya diarahkan untuk menekan dan melemahkan Tiongkok,” jelas Anton.
Menurutnya, Amerika Serikat—khususnya di bawah kepemimpinan presiden dari Partai Republik seperti Donald Trump—cenderung menggunakan konflik untuk mempertahankan dominasi global. Strategi itu terlihat dari bagaimana Washington memanfaatkan isu Taiwan, mendorong tensi di Timur Tengah, hingga memainkan rivalitas India dan Pakistan.
“Musuh terbesar Amerika adalah Tiongkok. Dan salah satu kelemahan Tiongkok adalah ketergantungan pada pasokan energi dari Iran dan Pakistan. Kalau jalur energi ini diganggu, maka industri raksasa Tiongkok bisa lumpuh,” kata Anton.
Dampak ke Indonesia
Anton mengingatkan bahwa setiap ketegangan global pasti berdampak ke domestik. Indonesia, dengan posisi strategisnya di antara Samudra Hindia dan Pasifik, tidak mungkin luput dari imbas konflik besar.
Ia menyoroti keterbatasan sistem pertahanan Indonesia, mulai dari rudal pertahanan udara yang jangkauannya hanya 20–30 km, hingga keterbatasan armada laut yang belum sepenuhnya mampu menjaga Zona Ekonomi Eksklusif.
“Bayangkan kalau Indonesia diserang dengan rudal hipersonik, bagaimana kita menangkalnya? Kapal perang kita terbatas, kemampuan patroli hanya sekitar 60 persen wilayah, dan pesawat tempur kita baru generasi keempat,” tegasnya.
Anton juga membandingkan alokasi anggaran pertahanan Indonesia yang masih kurang dari 1% Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan Singapura, negara kecil dengan anggaran pertahanan jauh lebih besar. Menurutnya, idealnya Indonesia harus berani mengalokasikan hingga 3% PDB demi memperkuat alutsista dan kesiapan militer.
Mendesak Dibentuk Dewan Keamanan Nasional
Di tengah tantangan tersebut, Anton menilai salah satu kelemahan terbesar Indonesia adalah ketiadaan forum permanen yang khusus membahas keamanan nasional secara komprehensif. Saat ini, isu-isu strategis sering terpecah ke berbagai lembaga tanpa koordinasi terpadu.
“Kalau bicara sesneg, itu forum Presiden sebagai kepala negara. Kalau seskab, Presiden sebagai kepala pemerintahan. Tapi siapa yang memastikan integrasi intelijen, diplomasi pertahanan, perhitungan ancaman, sampai keterlibatan masyarakat sipil? Tidak ada forum khusus untuk itu,” jelasnya.
Karena itu, ia menegaskan, sudah waktunya Indonesia membentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN). Lembaga ini, menurut Anton, akan menjadi ruang strategis di mana semua elemen—militer, intelijen, diplomasi, ekonomi, hingga masyarakat—dilibatkan untuk merumuskan kebijakan keamanan negara.
“Dewan Keamanan Nasional ini sudah lama jadi perdebatan. Tapi sekaranglah momentumnya. Dengan adanya DKN, Presiden bisa berbicara lebih kuat atas nama negara, didukung oleh infrastruktur kebijakan yang komprehensif,” tegas Anton.
Tantangan ke Depan
Selain ancaman global, Anton juga mengingatkan soal kerentanan domestik. Posisi geografis Indonesia dengan jalur laut internasional (ALKI) membuat negeri ini ibarat rumah tanpa pagar. Ancaman datang tidak hanya dari utara, tetapi juga selatan, dengan 23 pangkalan rudal di Australia yang secara teknis bisa mengarah ke Indonesia.
“Kalau kita bicara early warning system atau kewaspadaan nasional, saat ini masih lemah. Tidak ada forum yang benar-benar mengintegrasikan sistem peringatan dini kita,” kata Anton.
Ia menekankan bahwa membangun kekuatan pertahanan bukan sekadar soal membeli alutsista baru, tetapi juga membangun sistem nasional yang kompak, terukur, dan partisipatif.
Seruan untuk Pemerintah
Di akhir paparannya, Anton menyampaikan pesan langsung kepada Presiden. Ia meminta agar pemerintah tidak menunda lagi pembentukan DKN, karena ancaman global dan regional sudah semakin nyata.
“Ini bukan sekadar wacana. Ini kebutuhan mendesak. Kalau kita tidak menyiapkan forum strategis seperti Dewan Keamanan Nasional, maka kita akan terus berada di posisi rentan. Kedaulatan bangsa harus dijaga dengan perencanaan yang matang, bukan hanya dengan belanja senjata,” tutupnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi

RRT Nyatakan Siap Hadapi Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Rasional dan Proporsional Dalam Menyikapi Zohran Mamdani

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana

Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah

Off The Record

Bangsa Ini Tidak Butuh Presiden Yang Pura-Pura Gila

Sebuah Laporan Sebut Australia Pasok Mineral Vital ke Tiongkok untuk Produksi Rudal Hipersonik

Apa Presiden Akan Pasang Badan Untuk Oligar Hitam?



No Responses