Anton Permana: Membaca Ulang Geopolitik Indonesia di Tengah Pergeseran Kekuatan Dunia

Anton Permana: Membaca Ulang Geopolitik Indonesia di Tengah Pergeseran Kekuatan Dunia
Dr Anton Permana dalam acara Diskusi Publik memperingtai Sumpah Pemuda, Senin (20/10/2025) di Jakarta

JAKARTA – Di tengah kegaduhan politik domestik yang makin hari makin dangkal, muncul satu suara yang konsisten mengingatkan kita bahwa Indonesia sedang berada dalam pusaran bahaya yang jauh lebih besar dari sekadar drama pemilu atau intrik elite: geopolitik global. Suara itu datang dari Dr. Anton Permana, seorang analis geopolitik yang berani mengupas realitas pahit yang tidak semua orang berani atau mampu membicarakannya.

Ironisnya, suara keras itu justru kerap dipinggirkan — mungkin karena terlalu mengganggu kenyamanan para pengambil kebijakan yang lebih sibuk memastikan kekuasaan hari ini daripada memikirkan masa depan negeri ini.

Indonesia Sedang Jadi Rebutan

Anton Permana sudah berulang kali mengatakan bahwa Indonesia kini bukan hanya pemain, tetapi juga medan tempur geopolitik. Dan itu bukan metafora. Ia menegaskan, kekuatan besar dunia kini berebut sumber daya alam Indonesia, jalur laut strategis Indonesia, pasar besar Indonesia, dan pengaruh politik di dalam negeri Indonesia.

Tetapi celakanya, elite negeri ini lebih sering memosisikan diri bukan sebagai pelindung kepentingan nasional, melainkan sebagai penerima proposal dari kekuatan asing — entah melalui utang, proyek infrastruktur, teknologi, atau kerja sama militer.

Anton menyebut ini sebagai neo-kolonialisme versi baru. Tidak lagi dengan bedil dan kapal perang, melainkan dengan utang, ketergantungan teknologi, dan intervensi ekonomi yang dibungkus jargon pembangunan.

Dan yang paling menyakitkan, ia benar.

Pembangunan Tanpa Nalar Geopolitik: Jalan Cepat Menuju Ketergantungan

Di banyak forum, Anton Permana menohok langsung inti masalah: Indonesia membangun banyak hal secara terburu-buru tanpa kalkulasi jangka panjang, tanpa membaca pergeseran kekuatan global, dan tanpa strategi geostrategi yang solid.

Ia menyindir dengan keras bahwa:

“Banyak proyek besar kita justru memperkuat posisi negara pemberi pinjaman, bukan memperkuat Indonesia.”

Dengan kata lain: kita bangga membangun, tetapi lupa bertanya siapa yang membayar? siapa yang mengendalikan? dan apa konsekuensinya untuk 20 tahun ke depan?

Pesan keras itu hampir tak pernah masuk ke meja kekuasaan — atau sengaja tidak ingin didengar.

Ketika Keamanan Nasional Direduksi Jadi Urusan Tender

Anton Permana juga salah satu yang paling vokal memperingatkan bahaya ketergantungan teknologi pertahanan dari asing. Menurutnya, negara yang terlalu sering membeli alutsista tanpa roadmap jelas, tanpa transfer teknologi nyata, dan tanpa konsolidasi industri dalam negeri, negara itu sedang menggali kuburnya sendiri.

Ia mengatakan, tanpa sadar Indonesia membuka pintu untuk penetrasi intelijen, intervensi politik asing, dan kerentanan strategis militer.

Tetapi sekali lagi, kritik itu lebih sering dijawab dengan bungkam, bukan pembenahan.

Kedaulatan Bukan Sekadar Slogan

Di era ketika negara besar saling menikam lewat perang dingin ekonomi, perang mata uang, propaganda digital, dan infiltrasi budaya, Anton Permana menegaskan bahwa negara seperti Indonesia harus punya garis merah yang jelas.

Kedaulatan bukan sekadar kutipan pidato 17 Agustusan. Kedaulatan adalah: berani berkata “tidak” pada kesepakatan yang merugikan. Berani mengatur ulang prioritas nasional. Berani menginterogasi semua intervensi asing. Bahkan berani mengevaluasi elite yang terlalu gampang menggadaikan masa depan demi kenyamanan politik sesaat.

Pesan itu keras. Pesan itu mengusik. Dan justru karena itu, pesan itu penting.

Suara Yang Ingin Diabaikan, Tapi Semakin Relevan

Dalam konteks global yang makin panas, konflik yang bisa meletus kapan saja, dan ekonomi dunia yang mulai terbelah, suara seperti Anton Permana justru menjadi kebutuhan. Ia mengingatkan bahwa nasib bangsa tidak boleh dikelola dengan pikiran pendek dan ketergantungan akut.

Editorial ini bukan untuk memuja Anton Permana. Ini untuk mengingatkan: ada pemikir yang sudah lama berteriak tentang bahaya yang kini mulai nyata.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah pandangan itu berlebihan. Pertanyaannya adalah: sampai kapan kita sengaja mengabaikannya?

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K