JAKARTA – Gelombang amuk massa, pembakaran gedung, dan penjarahan yang merebak sejak pekan terakhir Agustus 2025 bukan sekadar “demo yang kebablasan”. Rangkaian peristiwa ini memperlihatkan pola: pemicu spesifik, sasaran yang relatif seragam, momentum waktu yang mirip, dan eskalasi yang cepat dari protes ke kekerasan terorganisir—sering diikuti penjarahan oportunistik. Pemicu utamanya jelas: kemarahan publik atas privilese dan tunjangan anggota DPR, diperparah oleh tewasnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan yang diduga terlindas kendaraan taktis saat aksi di Jakarta, 28 Agustus 2025. Kasus itu menjadi katalis yang menyatukan sentimen anti-elit, frustrasi ekonomi, dan distrust pada aparat. Pemerintah merespons dengan janji evaluasi tunjangan dan penyelidikan, namun api terlanjur menyala di banyak daerah.
Sasaran paling sering diserang adalah simbol negara di tingkat lokal: gedung DPRD, kantor pemerintah kabupaten/kota, kantor polisi, serta halte dan fasilitas transportasi publik. Di Makassar, pembakaran kantor DPRD menewaskan tiga orang; peristiwa serupa (pembakaran/perusakan) terekam di Kediri, Cirebon, Pekalongan, hingga NTB. Ini menandakan fokus amarah pada institusi yang dipersepsi paling dekat dengan isu “privilese politik”—yakni parlemen—disertai pelebaran sasaran ke aparat penegak hukum dan infrastruktur kota ketika bentrokan pecah.
Dari sisi pola waktu, banyak insiden terjadi selepas sore hingga malam hari—jendela rawan ketika jumlah aparat menipis dan verifikasi informasi makin sulit. Pada fase ini, rumor dan video pendek di media sosial menyebar cepat, memperbanyak massa yang datang bukan sebagai demonstran awal, melainkan sebagai “penumpang gelap”. Hasilnya: penjarahan minimarket, perusakan halte, hingga pembakaran kendaraan dinas. Di Jakarta saja, pemerintah daerah mencatat kerusakan 22 halte TransJakarta (enam–tujuh di antaranya terbakar dan dijarah) dengan kerugian puluhan miliar rupiah. Data ini penting karena menunjukkan bahwa dampak finansial terberat justru menimpa layanan publik, bukan hanya aset politikus.
Spontan atau rekayasa
Pertanyaan kuncinya: spontan atau direkayasa? Temuan lapangan mengindikasikan keduanya bisa benar. Banyak peserta aksi murni memrotes kebijakan; namun pada malam hari, muncul kelompok kecil yang terorganisir: berpakaian gelap, wajah tertutup, bergerak cepat memicu api di titik strategis (pintu masuk, area arsip), lalu menghilang, menyisakan kerumunan yang panik atau ikut merusak. Laporan-laporan menyebut “aktor politik” dan “pendana” sebagai dalang, tetapi klaim ini masih perlu pembuktian forensik digital dan finansial. Polisi menyatakan telah menahan lebih dari seribu orang di Jakarta dan mulai mengidentifikasi pelaku penjarahan, sementara di Kediri lebih dari seratus orang diamankan. Fokus penyidikan kini pada rekaman CCTV, metadata ponsel, dan jaringan komunikasi yang aktif di jam-jam krusial.
Kronologi eskalasi juga konsisten: protes damai—bentrokan—kematian/cedera—serangan balik ke simbol institusi—kebakaran—penjarahan. Di sejumlah daerah, rumah pejabat dan kantor partai turut jadi sasaran, mengindikasikan transformasi dari isu spesifik (tunjangan) ke kanal pelampiasan anti-elit yang lebih luas. Media arus utama dan independen melaporkan adanya “kejanggalan” pola perusakan dan penjarahan—misalnya target inventaris tertentu atau pengalihan massa—namun kembali, klaim-klaim itu menunggu pembuktian teknis.
Dampak korban manusia tidak kecil. Selain tewasnya Affan Kurniawan yang memicu gelombang solidaritas dan amarah, kebakaran di Makassar menewaskan tiga pekerja sipil di dalam gedung. Fakta ini menabrak narasi “amuk yang membebaskan rakyat”: korban terbesar justru warga biasa dan pelayanan publik. Pemerintah pusat menyampaikan belasungkawa dan berjanji investigasi transparan serta tindakan tegas pada pelaku kekerasan—baik warga maupun aparat. Di tingkat politik, janji pemangkasan privilege DPR menjadi langkah de-eskalasi, namun kepercayaan publik belum otomatis pulih.
Apa yang mendorong massa menyeberang dari protes ke anarkisme? Pertama, konteks ekonomi: harga kebutuhan yang tertekan, pekerjaan informal rapuh, dan jarak mencolok antara retorika penghematan dengan kenyataan privilese pejabat. Kedua, trust deficit: setelah serangkaian kasus kekerasan aparat yang viral, setiap insiden—terlebih yang memakan korban nyawa—memantik resonansi negatif berantai. Ketiga, ekosistem informasi yang rentan disinformasi: cuplikan video tanpa konteks cukup untuk memindahkan ribuan orang dari simpati ke partisipasi destruktif. Keempat, hadirnya “entrepreneur of violence”—aktor yang memanfaatkan kekacauan untuk agenda politik atau ekonomi (penjarahan). Analisis ini sejalan dengan pola kerusuhan urban di banyak negara: isu pemicu spesifik, ekor kerusuhan generik.
Ke depan, ada tiga tes krusial. Satu, akuntabilitas berimbang: proses hukum yang adil bagi pelaku perusakan/penjarahan sekaligus penyidikan tuntas atas kematian Affan dan dugaan ekses aparat. Tanpa ini, siklus dendam akan berulang. Dua, reformasi privilese dan transparansi anggaran parlemen yang terverifikasi publik—bukan sekadar janji. Tiga, ketahanan kota: memperkuat desain dan SOP pengamanan fasilitas publik (halte, kantor layanan) agar tidak menjadi korban pertama setiap ketegangan. Jika tiga hal ini gagal, Indonesia berisiko masuk ke spiral: setiap krisis sosial akan bermuara pada skenario yang sama—api di gedung publik, kaca berhamburan, dan rakyat kecil yang paling dirugikan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi

RRT Nyatakan Siap Hadapi Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Rasional dan Proporsional Dalam Menyikapi Zohran Mamdani

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana

Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah

Off The Record

Bangsa Ini Tidak Butuh Presiden Yang Pura-Pura Gila

Sebuah Laporan Sebut Australia Pasok Mineral Vital ke Tiongkok untuk Produksi Rudal Hipersonik

Apa Presiden Akan Pasang Badan Untuk Oligar Hitam?



No Responses