Oleh: Budi Puryanto
Hujan rintik mulai turun, membasahi halaman rumah. Lampu teras yang redup membuat bayangan mereka memanjang, bergerak liar mengikuti setiap gerakan. Seno menahan nafasnya, merasakan berat dinginnya malam yang kini bercampur dengan ketegangan maut.
Bram menyerang lebih dulu. Linggis di tangannya berayun deras, membelah udara. Seno menghindar ke samping, lalu menghantamkan kakinya ke dada Bram. Tubuh Bram terhuyung, namun segera bangkit, matanya menyala penuh dendam.
“Beraninya kau menentangku hanya demi perempuan itu!” Bram meludah ke tanah, lalu menyerang lagi.
Seno tidak menjawab. Semua fokusnya tertuju pada pertarungan. Ia tahu, sekali lengah, keluarga Maya bisa binasa.
Di belakang rumah, Maya berlari sambil menarik ibunya. Ayahnya tertatih mengikuti, meski paru-parunya mulai sesak. Suara langkah kaki mendekat cepat dari arah gang belakang. Dua orang anak buah Bram, berpakaian gelap, menubruk pintu kayu dapur hingga bergoyang keras.
“Cepat, Ayah, lewat jendela dapur!” Maya berteriak, membuka kunci dan mendorong kaca. Ibunya lebih dulu keluar, disusul Maya. Tapi ayahnya terhenti, napasnya terengah, tubuhnya gemetar. “Pergilah dulu, Maya!”
“Tidak! Kita harus bersama-sama!” jawab Maya, matanya basah.
Pintu dapur akhirnya jebol. Dua lelaki itu menerobos masuk dengan pisau terhunus. Ayah Maya mengangkat kursi kayu, menghadang dengan sisa tenaga.
Sementara itu di depan rumah, Seno dan Bram saling bergulat. Hantaman bertubi-tubi membuat darah mengalir dari pelipis Seno, tapi ia tetap berdiri. Bram menggeram, “Kau ini keras kepala. Aku akan patahkan lehermu di sini juga!”
Seno menangkis, lalu memutar tubuh, menghantamkan gagang pistol ke rahang Bram. Suara retakan terdengar. Bram terhuyung mundur, tapi justru tertawa, giginya berlumuran darah.
“Aku suka lawan yang melawan,” ucapnya sinis.
Namun tawa itu segera terhenti ketika Seno menendang lututnya hingga tertekuk. Bram jatuh berlutut, linggisnya terlepas, tapi masih mencoba meraih leher Seno. Pertarungan berubah menjadi adu tenaga brutal, saling cekik di tanah becek.
Di belakang, ayah Maya berusaha menahan kedua penyerang. Kursi di tangannya patah dihantam pisau. Salah satu lelaki mendorongnya hingga jatuh. Maya menjerit, mencoba melindungi ayahnya, tapi ibunya menariknya keluar jendela.
“Maya! Cepat lari!” suara ibunya bergetar, penuh ketakutan.
Air mata Maya jatuh deras, namun ia menurut, menyeret tubuh ibunya menjauh ke kebun tetangga. Di dalam rumah, ayahnya masih berusaha bangkit meski tubuhnya diterjang tendangan.
Seno mendengar jeritan itu. Kesadarannya terguncang. Ia menghantam Bram dengan keras, berhasil melepaskan diri, lalu berlari ke sisi rumah. Namun Bram tak tinggal diam—ia meraih batu bata, melemparkannya ke arah Seno.
“Tidak ada yang lolos malam ini!” Bram meraung seperti binatang buas.
Batu itu menghantam punggung Seno, membuatnya terhuyung. Tapi ia tetap berlari, menendang pintu samping hingga terbuka. Di sana, ia melihat ayah Maya sudah tersudut, dua lelaki mengacungkan pisau.
Tanpa pikir panjang, Seno melepaskan tembakan. Dentuman memecah malam. Salah satu lelaki terkapar, yang lain terperanjat lalu melarikan diri ke arah kebun.
Ayah Maya roboh, bahunya berdarah akibat goresan pisau. Maya yang sudah di luar menjerit, kembali merangsek masuk, “Ayah!”
Seno menarik mereka keluar, menyeret tubuh ayah Maya dengan sisa tenaga. Ibunya menahan tangis, Maya membantu menopang. “Kita harus segera pergi dari sini,” desak Seno.
Namun langkah mereka terhenti. Dari arah depan, Bram muncul kembali. Wajahnya berlumuran darah, linggis kembali di tangannya. Ia berjalan pincang, namun tatapannya membara lebih ganas dari sebelumnya.
“Kalian kira bisa lari?” katanya dengan suara parau. “Belum… malam ini belum selesai.”
Seno berdiri tegak, meski nafasnya tersengal. Ia mengokang pistolnya, menatap Bram tanpa gentar. Maya menggenggam lengan ibunya, berusaha menahan gemetar.
Malam makin pekat, suara hujan makin deras. Pertarungan baru saja dimulai, di halaman basah yang kini menjadi medan hidup dan mati.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api Di Ujung Agustus (Seri 20) – Jejak Bayangan di Rumah Maya
Api Diujung Agustus (Seri 19) – Pembersihan Internal Garuda Hitam
Api Diujung Agustus (Seri 18) – Bayangan di Balik Bayangan (Maya Main Ganda)
Api Diujung Agustus (Seri 17) – Retakan di Dalam Bayangan
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Terduga Pelaku Kasus Persetubuhan Anak di Bawah Umur di Kediri Diamankan Polisi, Korban Telah Melahirkan
Gen Z Pelopor Pergerakan Massa.
Trump: Hamas ‘siap untuk perdamaian abadi,’ Israel ‘harus segera hentikan pengeboman Gaza’
Habib Umar Alhamid: HUT ke-80 TNI Momentum Perkuat Profesionalisme dan Kedekatan dengan Rakyat
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Reformasi Parpol dan Polri
Handuk Putih untuk Jokowi
Yahya Zaini: Ahli Gizi Harus Jadi Garda Depan Cegah Keracunan MBG
Pak Purbaya, Pertamina Harus Dibenahi: Dari Kilang Mangkrak Hingga Skandal Kapal Tanker
Api di Ujung Agustus (Seri 22) – Duel Senyap di Rumah Sakit - Berita TerbaruOctober 3, 2025 at 6:13 am
[…] Api di Ujung Agustus (Seri 21) – Baku Hantam di Dua Pintu […]
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema - Berita TerbaruOctober 5, 2025 at 6:14 am
[…] Api di Ujung Agustus (Seri 21) – Baku Hantam di Dua Pintu […]