Oleh: Budi Puryanto
Hujan makin deras. Halaman rumah Maya sudah berubah menjadi lumpur licin. Seno dan Bram berdiri saling berhadapan, tubuh keduanya penuh luka, napas terengah. Linggis di tangan Bram meneteskan darah samar, sementara pistol di genggaman Seno tinggal berisi satu peluru terakhir.
Maya dan keluarganya bersembunyi di balik pagar, menahan napas, hanya bisa menyaksikan duel itu.
“Ini malam terakhir untukmu, Seno,” ucap Bram dengan suara serak namun penuh kebencian. “Aku sudah merampas segalanya. Kau hanya butuh satu tusukan untuk berakhir.”
Seno tersenyum tipis, meski wajahnya penuh lebam. “Tapi kau lupa… aku masih berdiri. Dan aku masih punya alasan untuk bertahan—mereka.” Ia melirik sekilas ke arah Maya.
Bram meraung dan menyerbu, linggis berayun ke arah kepala Seno. Dengan refleks, Seno menghindar, menendang lutut Bram hingga terdengar suara retakan. Bram jatuh berlutut, tapi tangannya masih mencengkeram senjata. Pertarungan berubah menjadi pergumulan brutal di tanah becek, penuh darah dan lumpur.
Sementara itu, beberapa kilometer dari sana, kendaraan taktis Pasukan Khusus melaju kencang menembus jalanan kota yang basah. Lampu merah berputar di belakang, tanda sirene rumah sakit masih menggema. Anak Maya terbaring di pangkuan seorang prajurit, masih terlelap, tidak menyadari dirinya tengah menjadi rebutan dua kekuatan besar.
“Kecepatan maksimum! Jangan sampai mereka menyusul!” teriak Letnan Aditya dari kursi depan.
Namun tak lama, suara mesin lain mendengung dari kejauhan. Dua mobil hitam tanpa plat nomor muncul, menutup jalur dari sisi kiri dan kanan. Unit Operasi Bayangan telah siap mengejar.
Benturan pertama terjadi di tikungan. Mobil Bayangan menabrak sisi kendaraan Pasukan Khusus, membuat tubuh semua penumpang terguncang hebat. “Kontak! Kontak!” seorang prajurit melaporkan, lalu membalas dengan tembakan dari jendela belakang. Peluru memantul di aspal basah, memercikkan api kecil.
Di rumah Maya, duel semakin liar. Bram berhasil menindih Seno, linggisnya menempel di leher. “Kau kalah, Seno! Kau kalah!” teriaknya.
Seno mengerahkan seluruh sisa tenaga. Ia menahan dengan kedua tangannya, lalu mendorong sekuat-kuatnya hingga tubuh Bram terhempas ke samping. Dengan refleks, Seno menodongkan pistol ke dada Bram. Jemarinya siap menekan pelatuk—satu peluru terakhir.
Namun sebelum ia sempat melepaskan tembakan, terdengar suara Maya berteriak, “Seno! Jangan! Kau akan sama seperti dia!”
Seno terhenti, dadanya naik-turun, matanya penuh amarah bercampur dilema. Bram memanfaatkan jeda itu, menendang pistol hingga terlepas, lalu kembali menyerang.
Di jalanan kota, kejar-kejaran makin sengit. Mobil Pasukan Khusus berbelok tajam ke jalur layang, tapi salah satu mobil Pasukan Bayangan berhasil memepet dari belakang, pintunya terbuka, seorang lelaki bersenjata laras panjang membidik ke arah kaca depan.
“Cover!” teriak Aditya. Seorang prajurit menembak balik, kaca pecah, suara ban pecah terdengar. Mobil Pasukan Bayangan tergelincir, menabrak pembatas jalan hingga meledak dalam percikan api. Tapi mobil kedua masih mengejar tanpa henti.
Aditya menekan radio, “Base, ini Pasukan Khusus-3! Kami disergap! Butuh ekstraksi udara segera!” Suaranya tenggelam oleh raungan mesin dan hujan.
Kembali ke rumah Maya, pertarungan mencapai titik paling kejam. Bram dan Seno saling cekik, wajah mereka hanya sejengkal. Bram berbisik, “Aku akan bunuhmu perlahan, agar Maya bisa melihatmu mati.”
Namun tiba-tiba, suara sirene polisi mendekat. Cahaya biru-merah berputar di jalan depan rumah. Bram mendongak, wajahnya tegang. Ia tidak menduga pasukan keamanan setempat datang begitu cepat.
Seno memanfaatkan momen itu, menghantamkan kepalanya ke wajah Bram. Darah muncrat. Bram terjatuh, terhuyung ke lumpur, lalu berdiri sempoyongan sebelum melarikan diri ke arah gelap gang belakang.
Seno terkapar, hampir pingsan. Maya berlari mendekat, memeluknya sambil menangis. “Bertahanlah… tolong bertahan.”
Di waktu yang sama, kendaraan Pasukan Khusus berhasil mencapai titik ekstraksi. Helikopter hitam dengan lambang elang emas menunggu di atas gedung parkir. Mereka bergegas naik dengan anak Maya di gendongan. Tapi di kejauhan, mobil Pasukan Bayangan terakhir masih melaju, lampu sorotnya menembus gelap—menandakan duel senyap ini belum selesai.
Malam itu, dua api berkobar di dua tempat berbeda. Api di rumah Maya yang hampir menghanguskan segalanya, dan api di jalanan kota yang mempertaruhkan masa depan bocah kecil tak berdosa. Dua garis cerita yang perlahan mendekat, menuju pertemuan yang tak bisa dihindari.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api di Ujung Agustus (Seri 22) – Duel Senyap di Rumah Sakit
Api di Ujung Agustus (Seri 21) – Baku Hantam di Dua Pintu
Api Di Ujung Agustus (Seri 20) – Jejak Bayangan di Rumah Maya
Related Posts
Terduga Pelaku Kasus Persetubuhan Anak di Bawah Umur di Kediri Diamankan Polisi, Korban Telah Melahirkan
Gen Z Pelopor Pergerakan Massa.
Trump: Hamas ‘siap untuk perdamaian abadi,’ Israel ‘harus segera hentikan pengeboman Gaza’
Habib Umar Alhamid: HUT ke-80 TNI Momentum Perkuat Profesionalisme dan Kedekatan dengan Rakyat
Reformasi Parpol dan Polri
Handuk Putih untuk Jokowi
Yahya Zaini: Ahli Gizi Harus Jadi Garda Depan Cegah Keracunan MBG
Pak Purbaya, Pertamina Harus Dibenahi: Dari Kilang Mangkrak Hingga Skandal Kapal Tanker
Syahganda Nainggolan: SBY Layak Diusulkan Jadi Sekjen PBB
Syahganda Nainggolan Yakin Menkeu Purbaya Mampu Jaga Pertumbuhan Ekonomi Nasional
No Responses