Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema

Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema

Fiksi politik

Oleh: Budi Puryanto

Di balik hiruk pikuk duel di lapangan dan kejar-kejaran di jalanan, langit politik Jakarta malam itu juga sedang bergemuruh. Istana tampak kokoh, tapi dindingnya sedang retak dari dalam.

Wakil Presiden Gema, yang selama ini dikenal tenang dan selalu berada di bayang-bayang Presiden Pradipa, duduk sendirian di ruang kerjanya. Lampu hanya menyinari meja besar dari kayu jati, di atasnya bertumpuk berkas rahasia yang belum pernah ia sentuh selama bertahun-tahun.

Di hadapannya terbuka sebuah map merah dengan cap Sangat Rahasia. Tangan Gema bergetar ketika membuka halaman pertama. Dokumen itu adalah hasil penyelidikan internal Badan Pengawas Negara, yang selama ini dikubur dalam-dalam atas perintah Pradipa.

Isinya mengejutkan: bukti bahwa Presiden Pradipa terlibat langsung dalam manipulasi dana konsorsium energi, permainan lisensi tambang, hingga pengalihan aset BUMN ke perusahaan cangkang luar negeri. Jumlah kerugian negara—ratusan triliun.

Gema menarik napas panjang. “Inilah kartu as-ku,” gumamnya pelan.

Selama bertahun-tahun, ia menunggu momen yang tepat. Dan kini, setelah situasi negara kacau: serangan di rumah Maya, pasukan bayangan yang lepas kendali, bahkan rakyat mulai kehilangan kepercayaan, ia tahu saatnya tiba.

Telepon satelit di mejanya berdering. Suara seorang penasihat senior terdengar.

“Pak Wapres, apakah Anda yakin akan membuka itu sekarang? Jika benar-benar diumumkan, negara bisa berguncang. Pasar bisa kolaps, militer bisa terpecah.”

Gema menatap keluar jendela, melihat cahaya lampu kota berkelip-kelip. “Negara sudah lama berguncang. Bedanya, selama ini diguncang diam-diam oleh satu orang. Lebih baik badai terbuka sekarang, daripada bangsa ini hancur pelan-pelan.”

Ia menutup telepon, lalu menandatangani sebuah surat pengantar. Dokumen merah itu dimasukkan ke dalam amplop hitam. Di bagian luar ia menulis: Untuk Majelis Rakyat dan Dewan Keamanan Nasional. Segera.

Namun Gema bukan hanya hendak mengungkap. Ia juga sudah menyiapkan siaran publik. Kamera rahasia sudah dipasang di ruang kerja. Ia berdiri tegak, wajahnya serius, matanya tajam menusuk lensa.

“Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,” ucapnya, suaranya dalam dan mantap, “malam ini saya, Wakil Presiden Gema, akan membuka sebuah fakta yang selama ini disembunyikan dari rakyat. Fakta ini menyangkut keberlangsungan negara dan masa depan kita bersama.”

Ia mengangkat map merah itu ke depan kamera. “Di tangan saya ada bukti-bukti bahwa Presiden Pradipa secara sadar terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan, pengkhianatan terhadap sumpah jabatan, dan manipulasi keuangan negara dalam skala besar. Saya tidak lagi bisa diam.”

Kalimat demi kalimat keluar dengan penuh tekanan. Di balik layar, tim medianya sudah menyiapkan saluran darurat untuk menyiarkan langsung ke berbagai kanal internet, media sosial, menembus sensor pemerintah.

Di Istana, alarm politik langsung berbunyi. Kepala Staf Presiden melapor dengan panik, “Pak Presiden, Gema baru saja mengunggah siaran langsung. Ia membawa dokumen merah. Isinya bisa menghancurkan semua yang kita bangun!”

Pradipa yang baru saja menerima kabar kekacauan di rumah Maya dan rumah sakit, terdiam. Untuk pertama kalinya wajahnya kehilangan kendali. Tangannya gemetar ketika menyalakan layar besar di ruang kerjanya, menampilkan wajah Gema yang tenang penuh wibawa, membacakan pasal demi pasal pelanggaran.

“Ini pengkhianatan,” desis Pradipa, matanya menyala. “Dia menusuk dari belakang.”

Di luar, dunia politik bergetar. Telepon-telepon berdering di gedung parlemen, para jenderal sibuk membagi kesetiaan, dan rakyat mulai membanjiri media sosial dengan tagar-tagar pro dan kontra.

Gema menutup siarannya dengan satu kalimat yang mengguncang:

“Mulai malam ini, saya menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat dan Majelis untuk menilai, apakah seseorang yang mengkhianati negara masih pantas duduk sebagai Presiden Republik.”

Ia mematikan kamera. Hening sesaat menyelimuti ruangannya. Namun ia tahu, setelah ini, badai besar tak akan bisa dihentikan.

Kartu as sudah dikeluarkan. Dan pertarungan bukan lagi soal bayangan di jalanan—melainkan legitimasi seorang Presiden yang sedang diguncang dari dalam istananya sendiri.

Istana Negara malam harinya

Malam itu, Istana dipenuhi ketegangan. Setelah siaran mengejutkan Gema menembus seluruh kanal digital, ruang kendali Presiden Pradipa berubah seperti pusat perang. Peta informasi terpampang di layar besar, menampilkan grafik percakapan publik yang meledak. Nama Gema mendominasi, dengan seruan rakyat untuk mengguncang legitimasi Presiden.

Namun Pradipa tidak panik. Ia duduk tegak di kursi kerjanya, wajah dingin tanpa ekspresi. “Mereka pikir bisa menggulingkanku dengan siaran satu arah? Mari kita balikkan semua.”

Kepala Staf Presiden mendekat, menunggu instruksi. Pradipa berbicara perlahan namun tegas, “Aktifkan Operasi Kuda Troya. Gunakan tim media bayangan. Sampaikan narasi bahwa Gema telah direkrut oleh kekuatan asing—bahwa dokumen yang ia bawa hanyalah fabrikasi, buatan intelijen luar negeri untuk melemahkan negara.”

“Siap, Pak Presiden,” jawab sang staf, segera menghubungi jaringan propaganda digital yang sudah lama dipelihara.

Dalam hitungan jam, narasi baru mulai beredar di media sosial:

“Wapres Gema terbukti menerima dana asing.”

“Dokumen merah adalah hoaks, dipesan oleh kelompok internasional.”

“Pradipa korban konspirasi, Gema pengkhianat.”

Layar-layar berita televisi pun berganti arah. Jurnalis yang loyal kepada Istana mengudara dengan nada khawatir, menuduh Gema sebagai dalang. Tagar baru bermunculan: #GemaPengkhianat menggeser #PradipaLengser.

Di sisi lain, Pradipa bergerak menekan militer. Ia memanggil tiga jenderal kunci ke ruang rapat darurat. Suara hujan deras di luar seakan menambah bobot percakapan.

“Saudara-saudara,” Pradipa membuka dengan nada berat, “malam ini bangsa kita terancam. Bukan oleh musuh luar, melainkan pengkhianatan di dalam. Wakil Presiden telah mencoba merebut kekuasaan dengan menebar fitnah.”

Seorang jenderal bintang tiga mencoba menahan diri. “Namun, Pak Presiden, dokumen yang ditunjukkan Gema—”

Pradipa menepuk meja keras, membuat semua terdiam. “Dokumen itu palsu! Kalian lebih percaya pada kertas daripada pada sumpah prajurit kalian sendiri? Dengarkan aku: jika militer goyah, negara hancur. Kalian ingin sejarah menulis bahwa angkatan bersenjata bersekutu dengan pengkhianat?”

Ketegangan menggantung. Akhirnya, dua dari tiga jenderal menyatakan kesetiaan pada Pradipa. Satu jenderal yang masih ragu hanya menunduk, tahu posisinya terancam.

Tak hanya itu, Pradipa juga mengerahkan Badan Intelijen Negara untuk memburu simpatisan Gema. Daftar nama jurnalis, aktivis, dan pejabat yang dianggap dekat dengan sang Wapres langsung dicatat. Malam itu juga, sejumlah orang ditangkap secara senyap.

Dalam konferensi pers mendadak, Pradipa tampil di layar nasional. Dengan wajah serius dan suara penuh wibawa, ia berkata:

“Saudara-saudara, saya harus menyampaikan kabar yang menyedihkan. Wakil Presiden Gema telah berkhianat pada bangsa ini. Ia mencoba merebut kekuasaan dengan menggunakan dokumen palsu yang diproduksi kekuatan asing. Saya, sebagai Presiden Republik, tidak akan tinggal diam menghadapi konspirasi ini. Kita harus bersatu, demi kedaulatan negara.”

Kata-kata itu disambut tepuk tangan dari para pejabat yang sudah ditekan. Namun di luar istana, rakyat terbelah. Sebagian mulai meragukan Gema, sebagian lain tetap yakin bahwa Pradipa sedang berbohong besar.

Di ruang kerjanya, setelah kamera padam, Pradipa tersenyum tipis. “Begitulah cara kau bertarung, Gema. Kau mainkan kartu asmu, aku balas dengan seluruh meja permainan.”

Namun di sisi lain kota, Gema juga sudah memperkirakan serangan balik ini. Ia duduk bersama tim rahasianya, membuka sebuah map lain—lebih tebal, lebih berbahaya. “Jika Pradipa menyebut dokumen pertama palsu, mari kita lihat bagaimana ia menyangkal ini.”

Malam itu, perang bukan lagi di jalanan atau rumah sakit. Perang telah bergeser ke ruang informasi, opini publik, dan legitimasi politik. Dan seperti dua api yang membakar dari arah berbeda, benturan besar tinggal menunggu waktu.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Api di Ujung Agustus (Seri 21) – Baku Hantam di Dua Pintu

Api di Ujung Agustus (Seri 22) – Duel Senyap di Rumah Sakit

Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam

Last Day Views: 26,55 K