Fiksi Politik
Oleh: Budi Puryanto
Malam itu, ruang kendali operasi rahasia di bawah kompleks militer terasa dingin. Seno berdiri tegak, matanya menatap layar besar yang menayangkan peta operasi terbaru. Ada titik-titik merah berkelip—jejak komunikasi, gerakan konvoi, dan markas kecil Garuda Hitam yang berhasil dilacak.
Di sudut ruangan, Wiratmaja duduk dengan wajah tenang. Lelaki itu baru saja melewati jebakan uji lapangan yang Seno rekayasa. Semua indikasi seakan menunjukkan kesetiaannya masih pada negara. Namun, Seno tidak pernah puas hanya dengan satu ujian. Ia tahu, musuh yang bersembunyi di dalam lingkar kekuasaan jauh lebih berbahaya daripada pasukan Garuda di luar sana.
“Operasi berikutnya akan lebih keras,” ujar Seno, suaranya rendah, tapi tegas. “Kita akan pastikan siapa yang sebenarnya bisa dipercaya.”
Maya, yang ikut berdiri di sisi meja operasi, merasakan ketegangan itu. Ia tahu, permainan yang sedang Seno jalankan bukan hanya sekadar operasi militer. Ini adalah pertaruhan jiwa dan kesetiaan.
Beberapa jam kemudian, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Seno mengatur operasi lapangan tahap kedua. Kali ini, ia menempatkan Wiratmaja sebagai komandan lapangan. Targetnya jelas: sebuah markas kecil Garuda Hitam yang menurut intelijen menyimpan data jaringan keuangan mereka.
“Kalau dia benar-benar bersama kita, dia akan hancurkan markas itu dan amankan semua bukti,” pikir Seno sambil mengamati pergerakan lewat drone.
Namun ada yang janggal. Saat tim mendekat, bukannya langsung melakukan serangan senyap, Wiratmaja terlihat ragu. Ia memberi isyarat tangan berbeda pada timnya.
Maya yang duduk di kursi pengawas menegang. “Seno, dia ubah pola serangan. Itu bukan protokol kita.”
Seno mengetatkan rahangnya. “Diam dan perhatikan. Ini momen penentuan.”
Ledakan kecil terdengar di layar. Bukan dari markas Garuda, melainkan dari kendaraan salah satu pasukan mereka sendiri. Chaos terjadi. Wiratmaja tampak memberi perintah mundur, sementara pasukan Garuda justru berhasil melarikan sebagian besar data mereka.
Seno memukul meja. “Dia sengaja membiarkan mereka lolos.”
Namun, sebelum Seno sempat mengeluarkan perintah penangkapan, sebuah transmisi suara masuk—dari Wiratmaja.
“Saya tahu ini ujian. Tapi saya tidak akan biarkan kalian mempermainkan saya lagi. Ada kebenaran yang jauh lebih besar daripada sekadar memburu bayangan. Dan kalian semua akan tahu… sebentar lagi.”
Suara itu membuat ruangan kendali sunyi. Seno tahu, permainan sudah berubah.
Malam itu, Seno berdiri sendirian di balkon markas. Angin malam berhembus, membawa aroma debu dan bara. Ia sadar, ujian kesetiaan telah menyingkap retakan yang lebih dalam. Wiratmaja bukan hanya sekadar prajurit yang goyah. Ia adalah pintu masuk ke rahasia besar Garuda, atau bahkan lebih buruk—jembatan antara istana dan jaringan pemberontak.
Maya mendekat, menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa langkahmu selanjutnya, Seno?”
Seno menatap jauh ke gelap malam. “Retakan sudah terlihat. Dan dari retakan itu… kita akan menemukan siapa yang sebenarnya mengendalikan api ini.”
Jalur rahasia Wiratmaja
Hujan turun deras malam itu, membasahi atap gedung-gedung tua di kawasan diplomatik. Seno duduk di ruang kendali yang minim cahaya, hanya diterangi layar-layar monitor. Semua agen di bawah komandonya masih berusaha melacak kemana larinya Wiratmaja setelah insiden operasi gagal kemarin.
Namun Seno tahu satu hal: orang seperti Wiratmaja tidak akan kabur tanpa arah. Ia pasti sedang bergerak menuju seseorang—seseorang yang jauh lebih besar daripada dirinya.
Di sisi lain kota, Wiratmaja melangkah cepat ke sebuah ruangan bawah tanah. Dari balik jas hujan yang melekat di tubuhnya, ia menarik keluar sebuah perangkat komunikasi terenkripsi. Tangannya bergetar sedikit, bukan karena dingin, melainkan karena sadar setiap kalimat yang ia ucapkan malam itu bisa mengubah jalannya sejarah.
Sebuah suara akhirnya terdengar dari perangkat itu. Tenang, berwibawa, dengan aksen yang jelas-jelas berasal dari lingkaran kekuasaan.
“Wira, kau sudah ambil keputusan?”
Wiratmaja menunduk, seolah berbicara pada sosok yang hadir meski tak terlihat. “Saya sudah jalankan perintah. Markas itu selamat. Data mereka tetap aman.”
Ada jeda. Kemudian suara itu tertawa pelan. “Bagus. Itu membuktikan kesetiaanmu. Ingat, Garuda bukan sekadar perlawanan bersenjata. Garuda adalah ide—dan ide itu punya tempat di istana, jauh lebih dalam dari yang kau kira.”
Wiratmaja mengepalkan tangan. “Tapi Seno mencurigai saya. Dia akan terus menguji. Sampai kapan permainan ini bisa bertahan?”
Suara itu merendah, dingin. “Biarkan dia curiga. Justru kecurigaannya akan membuatnya buta. Tugasmu hanya satu: tetap berada di sisinya, tetap jadi bayangannya, sampai waktunya tiba.”
Sementara itu, di markas rahasia, Seno menerima laporan intelijen terbaru. Salah satu agen teknologinya berhasil menangkap fragmen sinyal dari perangkat komunikasi asing—sinyal itu cocok dengan pola milik lingkar dalam istana.
“Maya,” panggil Seno lirih, “jejaknya jelas. Wiratmaja sudah buka jalur ke pusat. Dia bukan lagi sekadar prajurit yang goyah. Dia penghubung.”
Maya menatap Seno, rasa tegang bercampur ngeri. “Artinya… Garuda punya tangan di dalam istana. Lebih dekat ke Pradipa dari yang kita kira.”
Seno mengangguk perlahan. “Dan itu berarti, permainan kita baru saja naik ke level berikutnya. Kita bukan lagi memburu bayangan di luar sana—kita harus masuk ke jantung kekuasaan.”
Di akhir malam, Wiratmaja menutup komunikasinya. Sebelum perangkat itu padam, suara misterius dari seberang sempat berucap:
“Wira, jangan lupa. Api ini akan membakar Agustus hingga menjadi abu. Dan dari abu itu… lahir kekuasaan baru.”
Wiratmaja menatap langit yang diguyur hujan deras, wajahnya gelap oleh dilema. Ia tahu, setiap langkah berikutnya akan membuatnya semakin jauh dari sumpah lama—dan semakin dalam ke bayangan Garuda.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Related Posts
Rezim Masih Dikotori Praktek Transaksional
INVESTIGASI | Gelombang Baru “Jokowi Palsu”: Jejak Digital, Jaringan Penyebar, dan Pertarungan Narasi di Dunia Maya
Analisis PILPRES 2014 dan 2019: Kelemahan dan Keburukan Sistem Pilpres Langsung Dan Saran-Saran Perbaikan
Serasa Tidak Punya Presiden
Peran Ulama Dalam Dinamika Politik Umat
Anton Permana: Waspada “Peta Panas Dunia” dan Mendesak Pembentukan Struktur Pertahanan Baru
Syahganda Nainggolan: Dari Aktivisme Kampus ke Wacana Kebangsaan
Ibrah – Lebih Baik Jadi Ketua RT/RW Dari Pada Jadi Presiden Mbladus Dan Mbelgedes
Yahya Zaini Pimpin Komisi IX DPR RI Kunker ke Kalteng: Perkuat Sinergi Kesehatan dan Ketenagakerjaan untuk Kesejahteraan Rakyat
Prabowo Temukan Tumpukan ‘Harta Karun’ Logam Tanah Jarang di Smelter Timah, Nilainya Bisa Capai Ratusan Triliun!
No Responses