Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana

Fiksi Politik

Oleh: Budi Puryanto

 

Malam di Jakarta terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang kendali yang tersembunyi jauh di bawah tanah, Seno berdiri tegak menatap peta digital yang penuh titik merah berkelip. Itu bukan sekadar peta kota, melainkan gambaran jalur komunikasi rahasia yang baru saja dibongkar oleh tim teknologinya.

“Semua sinyal ini masuk lewat kanal diplomatik,” ujar seorang analis muda, menekan layar. “Tapi pola penyandianya terlalu halus, seolah disengaja untuk tidak terlihat sebagai komunikasi ilegal. Hanya orang dengan akses ke level tertinggi yang bisa melakukannya.”

Seno menatap data itu lama. Dalam pikirannya, bayangan Wiratmaja muncul, lalu menghilang ke dalam labirin istana.

Maya masuk dengan wajah tegang. “Kau sudah yakin ini bukan sekadar manuver palsu?”

“Tidak,” jawab Seno datar. “Ini terlalu rapat, terlalu disiplin. Hanya orang dalam yang bisa punya pola seteratur ini.”

Ia menoleh ke layar lain. Tampak wajah Wiratmaja di dalam rekaman pengintaian. Ia baru saja meninggalkan sebuah gedung tua yang dikenal sebagai rumah pertemuan beberapa mantan pejabat era sebelumnya.

Seno mengepalkan tangan. “Dia bukan lagi sekadar pion. Dia jalur. Jika kita bisa membongkar siapa yang ada di ujung jalur itu, kita temukan jantung Garuda.”

Operasi Bayangan Balik pun disusun. Seno tidak hanya ingin menguntit Wiratmaja. Ia ingin memancing keluar siapa dalang di balik komunikasi rahasia itu.

Langkah pertama: ia menempatkan Wiratmaja dalam “koridor terkontrol”—membiarkan dia mengakses data palsu yang sengaja ditanamkan dalam sistem militer. Data itu cukup menggoda untuk dilaporkan ke atasannya di bayangan, namun cukup berbahaya jika jatuh ke tangan lawan.

Langkah kedua: menyiapkan echo transmitter—perangkat pemantul sinyal yang akan menguntit setiap percakapan Wiratmaja dengan lingkaran misterius di istana.

Langkah ketiga: membiarkan Maya masuk ke orbit Wiratmaja, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai “bayangan dalam bayangan”. Tugas Maya hanya satu: memastikan Seno tahu kapan jebakan itu menggigit.

Beberapa hari kemudian, operasi berjalan. Wiratmaja terlihat gelisah, namun tetap menjalankan ritual komunikasinya. Ia membawa informasi palsu itu—rencana rahasia tentang pergeseran pasukan elit di Jawa Tengah—dan menyalurkannya ke perangkat terenkripsi.

Di ruang kendali, Seno dan tim mendengarkan denyut sinyal. Hening. Kemudian, sebuah suara muncul dari seberang.

“Bagus, Wira. Informasi ini yang kami butuhkan. Pastikan Seno tidak pernah tahu.”

Seno berdiri, wajahnya tegang. Suara itu… ia kenal. Suara yang beberapa kali ia dengar dalam rapat tertutup istana.

Suara itu adalah suara salah satu menteri paling dekat dengan Presiden Pradipa.

Maya menoleh pada Seno, matanya membesar. “Itu… berarti Garuda Hitam bukan hanya masuk istana. Mereka sudah menempel pada kursi kekuasaan.”

Seno mengangguk perlahan. “Sekarang kita tahu. Tapi permainan baru saja dimulai. Kita sudah buka pintu—sekarang kita harus lihat siapa saja yang keluar darinya.”

Seno berhasil menangkap jejak suara seorang pejabat tinggi istana yang ternyata jadi “jantung Garuda”.

Wiratmaja, tanpa sadar, telah masuk ke dalam jebakan Seno—namun belum tahu bahwa semua langkahnya kini dalam kendali.

Maya semakin dalam berada di antara dua bayangan: mengawasi Wiratmaja, sekaligus menjaga anaknya tetap aman.

Jaringan dalam istana

Lampu redup di ruang kendali bawah tanah, hanya suara mesin dan desis transmisi yang terdengar. Seno duduk diam, wajahnya menegang, ketika rekaman suara itu diputar ulang.

“Bagus, Wira. Informasi ini yang kami butuhkan. Pastikan Seno tidak pernah tahu.”

Suara itu bulat, tegas, penuh wibawa—suara seorang pejabat yang setiap minggu duduk di samping Presiden Pradipa dalam rapat kabinet. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Maya menatap layar, dadanya berdegup. “Itu orang yang selama ini jadi tangan kanan Presiden… kalau dia ternyata bagian dari Garuda, berarti lingkaran dalam istana sudah ditembus jauh lebih dalam daripada yang kita kira.”

Seno tak langsung menjawab. Matanya menatap kosong, seolah mencoba merangkai kepingan puzzle yang baru saja terbuka. Ia tahu, jika informasi ini bocor terlalu cepat, justru bisa berbalik menyerangnya.

“Kalau aku bawa bukti ini sekarang ke Presiden, apa yang terjadi?” gumamnya lirih.
Maya menatapnya ragu. “Presiden bisa percaya, tapi bisa juga menganggapmu memfitnah. Apalagi menteri itu selama ini setia menutup semua celah keamanan.”

Seno menghela napas panjang. Ia tahu betul: di meja kekuasaan, kebenaran tanpa strategi hanyalah peluru kosong.

Operasi Pendinginan pun diputuskan. Seno tidak akan langsung mengungkap nama sang menteri. Ia ingin menguatkan bukti—menarik benang ke siapa saja yang berada dalam jaringan sang pejabat.

Untuk itu, ia menugaskan Maya lebih dalam: Mengikuti langkah Wiratmaja, mencatat setiap pertemuan rahasianya. Menyusup ke lingkar protokol istana melalui jaringan kontak lamanya. Mengirim laporan bukan hanya ke Seno, tapi juga lewat jalur penghubung aman yang hanya mereka berdua tahu.

Maya sempat ragu. “Kalau aku terlalu dekat, mereka bisa mencium. Dan anakku—”
Seno menatapnya tajam. “Anakmu aman. Ingat, kita yang sudah menyelamatkannya. Fokusmu sekarang hanya satu: temukan siapa lagi yang ikut dalam bayangan berbahaya ini.”

Di sisi lain, sang Menteri Koordinator berdiri di balkon kantornya, menatap langit Jakarta yang berasap tipis. Ia menerima pesan terenkripsi dari Wiratmaja. Senyum tipis menghiasi wajahnya.

“Semua berjalan sesuai rencana. Pradipa sibuk dengan propaganda kontra-informasi, sementara Garuda bergerak di dalam. Seno? Dia terlalu percaya pada bayangan yang dia ciptakan sendiri.”

Ketegangan meningkat.

Seno kini memiliki bukti awal bahwa jantung Garuda berdenyut di dalam kabinet Presiden.

Namun ia harus menahan diri, tidak bisa langsung melapor, karena taruhannya adalah kredibilitasnya sendiri.

Maya terjun semakin dalam ke permainan berlapis, sementara Wiratmaja tanpa sadar menjadi pion yang digerakkan ke arah jebakan berikutnya.

Seno berdiri di depan peta digital. Ia menempelkan pin merah di foto sang menteri, lalu berkata lirih:

“Bayangan dalam istana… jika aku salah langkah, negara ini bisa terbakar dari dalam. Tapi kalau aku benar—ini akan jadi akhir bagi Garuda.”

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja

Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara

Last Day Views: 26,55 K