Oleh: Budi Puryanto
Pagi itu, langit Jakarta cerah. Namun di ruang rapat bawah tanah Istana, udara terasa berat. Seno berdiri di depan layar besar, menampilkan bagan hubungan internal tim inti Presiden Pradipa. Di sebelah kanan layar, ada foto seorang pria muda berjas biru—Darma, staf analisis strategis yang selama ini dikenal loyal, kini masuk dalam daftar tersangka kebocoran informasi.
“Semua bukti komunikasi menuju padanya,” kata Seno dengan suara rendah namun tegas. “Pesan-pesan terenkripsi yang kita temukan punya pola yang sama dengan jalur informasi yang digunakan Lingkar Solo.”
Pradipa menatap layar tanpa berkedip. “Saya pernah percaya padanya. Dia ikut saya sejak kampanye. Kalau dia benar berkhianat, ini berarti ada yang salah dari awal.”
“Bukan hanya soal pengkhianatan, Pak,” sambung Seno. “Kalau Darma ini mata-mata, berarti kita sudah dimonitor dari dalam. Setiap langkah kita bisa terbaca.”
Sementara itu, di sebuah rumah singgah di Depok, Darma duduk berhadapan dengan seorang wanita berkerudung hitam. Dialah Ratna, koordinator komunikasi rahasia Lingkar Solo.
“Kita harus percepat rencana,” kata Ratna. “Pradipa mulai curiga. Kalau dia sempat tangkap kamu, semua jaringan akan terungkap.”
Darma menunduk, wajahnya penuh beban. “Saya tahu risikonya. Tapi saya tidak akan mundur. Saya punya alasan kenapa saya pilih kubu Gema. Kalian janji akan selamatkan keluarga saya kalau situasi jadi buruk.”
Ratna mengangguk singkat. “Janji itu masih berlaku. Tapi kamu harus kirim data tentang pertemuan rahasia Pradipa minggu depan. Itu kunci serangan kita.”
Kembali ke Istana, Seno memutuskan melakukan operasi “Tutup Pintu”—menjebak Darma tanpa menimbulkan kegaduhan. Ia membocorkan informasi palsu tentang rencana pertemuan penting di Bali, berharap Darma akan meneruskannya ke pihak Gema.
“Kalau umpan ini dimakan, kita punya bukti final,” kata Seno ke timnya.
Tiga hari kemudian, umpan itu muncul di sebuah grup tertutup pendukung Lingkar Solo. Informasi yang sama persis, lengkap dengan waktu dan tempat, tersebar di jaringan mereka. Itu cukup untuk mengunci Darma sebagai target.
Malam penangkapan berlangsung cepat. Dua agen keamanan sipil menyergap Darma saat ia keluar dari gedung kementerian. Tanpa sorotan media, ia dibawa ke lokasi interogasi rahasia. Di sana, Seno duduk berhadapan dengannya. “Kenapa?” tanya Seno dengan nada datar.
Darma hanya tersenyum pahit. “Karena saya tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan negara ini. Dan itu bukan Presiden.”
Kalimat itu menggantung di udara, membuat Seno sadar bahwa permainan ini jauh lebih dalam dari yang ia kira.
Di sisi lain kota, Gema menerima kabar penangkapan itu dengan wajah muram. “Kalau mereka sudah menangkap Darma, artinya waktu kita hampir habis,” katanya kepada Ratna.
Ratna menjawab, “Kita masih punya kartu terakhir. Kita keluarkan Operation Eclipse.”
Gema menatapnya lekat-lekat. “Kamu sadar itu langkah bunuh diri politik?”
“Lebih baik mati dengan serangan terakhir daripada perlahan-lahan dilumpuhkan,” jawab Ratna dingin.
Keesokan harinya, sebuah video misterius muncul di media sosial. Isinya menuduh Pradipa terlibat dalam kesepakatan rahasia dengan perusahaan asing untuk menguasai sumber daya strategis. Video itu dikemas seperti dokumenter investigasi, lengkap dengan grafik dan wawancara anonim.
Media terbelah. Sebagian langsung mengangkatnya sebagai skandal besar, sebagian lagi meragukan keasliannya. Namun yang jelas, publik kini terpecah dan perhatian terhadap kerusuhan 28/8 mulai teralihkan.
Seno segera memerintahkan tim forensik digital memeriksa video tersebut. Hasilnya mengejutkan—beberapa bagian ternyata memanfaatkan rekaman lama yang diedit, tetapi ada juga cuplikan baru yang sulit dibantah.
“Kalau ini benar, kita bukan cuma bicara perang politik, tapi ancaman legitimasi negara,” kata Seno.
Di tengah kekacauan itu, Pradipa memanggil semua menteri ke sidang kabinet tertutup.
“Mulai hari ini, semua komunikasi menteri harus melalui saluran khusus yang terenkripsi. Tidak ada lagi jalur pribadi. Dan siapa pun yang melanggar, langsung saya copot.”
Beberapa menteri saling pandang, sebagian terlihat gelisah. Mereka tahu, pembersihan besar-besaran akan segera dimulai.
Namun di luar sana, Lingkar Solo tak tinggal diam. Operasi Eclipse ternyata bukan hanya soal video, tetapi juga rencana memobilisasi massa kembali—kali ini dengan isu ekonomi dan harga kebutuhan pokok. Targetnya jelas: menciptakan krisis kepercayaan yang memaksa Pradipa mengambil langkah defensif.
Seno sadar, penangkapan Darma hanyalah awal. Pertarungan sesungguhnya baru dimulai, dan kali ini medan perang berpindah dari lorong-lorong istana ke jalanan dan layar ponsel jutaan rakyat.
Malam itu, Seno berdiri di balkon Istana, menatap lampu kota yang berkelip-kelip. Di kejauhan, suara sirene polisi terdengar samar. Ia tahu, sebelum fajar, sesuatu yang besar mungkin akan pecah.
Dan di balik semua itu, satu pertanyaan terus mengganggu pikirannya: Siapa sebenarnya yang mengendalikan semua bidak di papan catur ini?
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga seri sebelumnya:
Api Diujung Agustus (Seri 1) – Lima Hari Setelah Api Padam
Api Diujung Agustus (Seri 2) – Operasi Catur Putih
Api Diujung Agustus (Seri 3) – Operasi Bayangan Balik
Api Diujung Agustus (4) – Bocornya Peluru Rahasia
Related Posts

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi

RRT Nyatakan Siap Hadapi Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Rasional dan Proporsional Dalam Menyikapi Zohran Mamdani

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana

Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah

Off The Record

Bangsa Ini Tidak Butuh Presiden Yang Pura-Pura Gila

Sebuah Laporan Sebut Australia Pasok Mineral Vital ke Tiongkok untuk Produksi Rudal Hipersonik

Apa Presiden Akan Pasang Badan Untuk Oligar Hitam?


No Responses