Api Diujung Agustus (Seri 10) – Penyelamatan Misterius

Api Diujung Agustus (Seri 10) – Penyelamatan Misterius

Oleh: Budi Puryanto

Hujan tipis membasahi jalanan ibu kota ketika kendaraan taktis berhenti tepat di depan sebuah gedung kantor tua di distrik bisnis. Dari luar, gedung itu terlihat seperti bangunan terbengkalai, tapi intelijen memastikan di lantai bawah tanahnya terdapat markas operasional Lingkar Solo.

Seno, mengenakan rompi antipeluru dan headset komunikasi, turun dari mobil lapis baja. “Unit Alfa dan Bravo, masuk dari pintu depan dan atap. Unit Charlie, blokir semua akses keluar. Pastikan tidak ada yang lolos,” perintahnya.

Lampu sorot menyapu fasad gedung, memantulkan cahaya ke genangan air. Di dalam, Ratna memandangi monitor yang kini hanya menampilkan pesan peringatan. “Mereka sudah di sini,” katanya pelan.

Gema berdiri di sudut ruangan, tangannya mengepal. “Kita masih punya jalur keluar lewat lorong servis belakang.”
Ratna menggeleng. “Lorong itu sudah pasti dijaga. Satu-satunya cara keluar adalah lewat atap—tapi itu juga penuh risiko.”

Pukul 22.15, Unit Alfa berhasil membobol pintu depan. Teriakan “CLEAR!” terdengar di saluran komunikasi. Di lantai satu, mereka hanya menemukan meja-meja kosong, beberapa komputer mati, dan dokumen berserakan.

Seno tahu ini trik klasik—menarik perhatian ke lantai atas, sementara target mencoba kabur lewat jalur tersembunyi. “Unit Bravo, langsung ke ruang server bawah tanah. Jangan buang waktu,” katanya.

Di bawah tanah, ruang server berderet seperti lorong panjang. Kabel-kabel menjuntai dari langit-langit. Unit Bravo bergerak cepat, menyapu setiap sudut. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki tergesa dari ruang pendingin.

Pintu terbuka, memperlihatkan Ratna yang berusaha membawa tas ransel besar.

“Jangan bergerak!” teriak salah satu anggota Bravo.

Ratna tersenyum tipis. “Kalau aku menyerah, kalian tetap kalah. Semua data di sini sudah ter-trigger untuk menghapus diri dalam sepuluh menit.”

Seno, yang baru tiba di lokasi, menatap Ratna lurus. “Kalau data itu hilang, semua bukti perbuatanmu ikut lenyap. Tapi percayalah, kami sudah punya salinan di tempat yang tidak pernah kau bayangkan.”

Ratna terdiam. Ia tahu Seno tidak pernah menggertak.

Sementara itu, di atap gedung, Gema sudah bersiap dengan tali pengaman dan ransel berisi dokumen penting. Angin malam menerpa wajahnya, hujan membuat permukaan atap licin.

Namun sebelum ia sempat menuruni sisi gedung, sorot lampu helikopter menyapu tubuhnya.
“Target utama, angkat tangan dan menyerah!” suara megafon menggelegar.

Gema mendongak, matanya menyipit menantang cahaya. “Jadi kalian mau menangkapku di depan kamera, ya? Biar publik tahu kalian berani menahan Wapres?”

Dari helikopter, Seno menjawab lewat pengeras suara, “Publik berhak tahu siapa yang berkhianat. Turun dengan tenang, atau kami bawa kau dengan cara lain.”

Dua operator elit turun cepat dengan tali, mendekati Gema. Borgol hampir menyentuh pergelangan tangannya—
BRRRAAKKKK! Ledakan keras mengguncang sisi lain atap. Cahaya oranye dari granat asap menyelimuti sekeliling. Asap tebal menelan pandangan, helikopter oleng karena gelombang panas dari ledakan.

“Kontak! Ada pihak ketiga!” suara panik terdengar di saluran komunikasi.

Dalam kekacauan itu, sebuah tangan kuat menarik Gema ke balik cerobong besar. Sosok berpakaian serba hitam, dengan emblem tak dikenal di bahunya, berbisik cepat, “Ikut saya, Pak Wapres. Waktu kita hanya dua menit.”

Gema terperangah. “Siapa kau?”

Sosok itu tak menjawab, hanya mendorongnya ke arah pintu darurat kecil yang tidak pernah tertera di denah gedung. Seno berteriak marah dari kejauhan, “JANGAN SAMPAIKAN TARGET LEPAS!”

Tapi sudah terlambat. Gema dan penyelamat misterius itu lenyap dalam kabut asap, menuruni tangga darurat menuju lorong bawah tanah rahasia yang tidak pernah terdeteksi intelijen.

Di bawah, Ratna yang sudah diborgol menoleh sekilas ke arah asap di layar monitor yang masih menyala. Ia tersenyum samar. “Aku tahu dia tak akan sendirian.”

Seno menggertakkan giginya. Malam itu memang menghasilkan satu trofi besar—Ratna—tetapi target utama, Wakil Presiden Gema, menghilang tepat di depan mata mereka.

Di Istana, Presiden Pradipa menonton siaran langsung yang terputus oleh asap dan ledakan. Wajahnya tegang, jemarinya mengetuk meja.

“Kita hanya dapat satu. Yang lebih berbahaya masih di luar sana.”

Kepala Staf menunduk.

“Pak, siapa yang cukup berani menyelamatkan Wapres di tengah kepungan militer?”

Pradipa menatap gelap jendela istana.

“Itu pertanyaan yang akan menghantui kita semua. Karena jawabannya bisa berarti… kita berperang dengan hantu yang jauh lebih besar dari Lingkar Solo.”

Malam itu, bukan penangkapan, melainkan pelarian dramatis yang menjadi headline. Tagar #PengepunganGagal mendominasi lini masa, mengguncang kredibilitas pemerintah.

Dan di suatu tempat gelap di luar ibu kota, Gema duduk di kursi besi, menatap sosok penyelamat misteriusnya.

“Sekarang katakan, siapa sebenarnya kau?”

Sosok itu hanya menyalakan sebatang rokok, asapnya menari di udara.

“Saya bukan kawan, Pak Gema. Tapi malam ini… saya lebih benci musuh kita bersama.”

 

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Api Diujung Agustus (Seri 9) – Bukti Pamungkas

Api Diujung Agustus (Seri 8) – Malam di Pelabuhan

Api Diujung Agustus (Seri 7) – Perang Terbuka

Last Day Views: 26,55 K