Api Diujung Agustus (Seri 6) – Operasi Eclipse

Api Diujung Agustus (Seri 6) – Operasi Eclipse

Oleh: Budi Puryanto

Hujan tipis membasahi Jakarta ketika pagi itu berita utama di televisi menayangkan liputan pasar tradisional yang ricuh. Pedagang berteriak, harga beras melonjak, minyak goreng langka. Di layar, reporter menyebut bahwa puluhan titik di kota besar serentak mengalami kelangkaan bahan pokok.

Di ruang kerja Istana, Presiden Pradipa menatap layar besar yang memetakan situasi. Titik-titik merah menyebar dari Sumatera, Jawa, hingga Sulawesi. “Ini terlalu rapi untuk kebetulan,” gumamnya.

Seno, kepala tim bayangan, mengangguk. “Kami yakin ini bagian dari Operasi Eclipse. Mereka memukul lewat perut rakyat. Kalau krisis ini dibiarkan, sentimen publik bisa berubah dalam hitungan hari.”

Di markas Lingkar Solo, Gema berdiri di depan papan strategi. Foto-foto pasar kosong, antrean panjang di SPBU, dan grafik harga kebutuhan pokok terpampang di sana. “Fase pertama sukses,” katanya.

Ratna, koordinator lapangan, melaporkan, “Relawan kita sudah masuk ke kelompok pedagang. Mereka memprovokasi agar penimbunan terlihat sebagai ulah pemerintah. Media sosial penuh dengan tagar #PemerintahGagal.”

Gema tersenyum tipis. “Kita tidak butuh mereka percaya seratus persen. Kita hanya butuh keraguan.”

Di Istana, Pradipa memerintahkan langkah darurat: operasi distribusi pangan besar-besaran dengan pengawalan militer. Truk-truk logistik dikerahkan, pesawat angkut TNI AU terbang membawa beras dari gudang Bulog di luar Jawa.

Namun Seno tahu, ini belum cukup. “Pak, Eclipse ini punya tiga lapis,” katanya. “Kelangkaan hanya lapisan pertama. Lapisan kedua adalah sabotase distribusi, lapisan ketiga adalah perang opini di media digital.”

Pradipa menatapnya serius. “Kalau begitu, kita masuk ke jantungnya.”

Seno mengaktifkan tim siber khusus. Mereka melacak akun-akun penyebar hoaks yang tiba-tiba aktif. Analisis menunjukkan, sebagian besar akun itu beroperasi dari server luar negeri namun dikendalikan dari dalam negeri oleh jaringan yang pernah terlibat dalam kerusuhan 28/8.

Salah satu temuan mengejutkan adalah rekaman suara dari rapat internal Lingkar Solo. Suara Gema terdengar jelas: “Begitu mereka sibuk memadamkan krisis pangan, kita dorong isu kebocoran sumber daya. Mereka akan kehabisan napas.”

Di jalanan, massa mulai bergerak. Di Surabaya, ribuan orang berkumpul di depan Balai Kota menuntut pemerintah menurunkan harga sembako. Di Makassar, demo buruh digabungkan dengan tuntutan politik. Polisi kewalahan membedakan mana aksi murni, mana yang ditunggangi.

Media nasional terbelah. Sebagian menyebut ini krisis buatan, sebagian lagi menganggap pemerintah gagal mengantisipasi gejolak harga. Talk show politik malam itu dipenuhi debat panas, memperkeruh suasana.

Di ruang perang digital Istana, layar-layar menampilkan grafik interaksi tagar di media sosial. Tiga tagar anti-pemerintah mendominasi. Seno memerintahkan kontra-serangan: menyebarkan fakta distribusi pangan, video dokumentasi operasi logistik, dan testimoni pedagang yang menerima pasokan.

Namun Ratna sudah mengantisipasi. Timnya membanjiri media sosial dengan konten tandingan—video pedagang yang mengaku belum menerima bantuan, foto antrean panjang yang sebenarnya dari tahun lalu tapi dikemas seperti kejadian hari ini.

Di tengah perang informasi ini, Seno menerima laporan rahasia dari agen lapangan: “Kami menemukan gudang penimbunan di luar Bekasi. Ada tanda-tanda pasokan ini sengaja ditahan.”

Pradipa memerintahkan penggerebekan. Siaran langsung penggerebekan gudang itu di televisi memicu kemarahan publik—tapi bukan kepada penimbun. Narasi yang berhasil dibentuk oleh Lingkar Solo membuat sebagian masyarakat percaya bahwa penimbun itu “orang pemerintah sendiri”.

Malam itu, Seno menghadap Pradipa dengan wajah serius. “Pak, Eclipse ini bukan cuma soal logistik. Ini tes kekuatan. Mereka ingin tahu berapa lama kita bisa bertahan sebelum tekanan publik memaksa reshuffle atau kompromi.”

Pradipa menggeleng. “Tidak ada kompromi dengan orang yang mau membakar negeri demi kekuasaan.”

Seno bertanya, “Kalau begitu, langkah kita berikutnya apa?”

Pradipa menatap peta besar Indonesia di dinding. “Kita potong kepala mereka. Kita ungkap siapa dalang Eclipse, langsung ke publik. Tapi itu berarti kita akan memulai perang terbuka.”

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Baca juga artikel terkait:

Api Dijung Agustus (Seri 5) : Perburuan di Dalam

Api Diujung Agustus (Seri 4) : Bocornya Peluru Rahasia

Api Diujung Agustus (Seri 3)-– Operasi Bayangan Balik

Api Diujung Agustus (Seri 2) – Operasi Catur Putih

Api Diujung Agustus (Seri 1) – Lima Hari Setelah Api Padam

 

Last Day Views: 26,55 K