Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Ketika dunia bergantung pada Indonesia untuk pasokan nikel, tembaga, dan bauksit, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjawab tantangan itu bukan dengan menambah ekspor bahan mentah, tapi dengan satu kata kunci: hilirisasi. Bukan sekadar program, bagi Bahlil, hilirisasi adalah strategi kedaulatan ekonomi. Ia menyebutnya dengan tegas: “Harga mati yang tidak bisa ditawar.”
Di tengah kritik dari sejumlah negara pengimpor dan tekanan organisasi perdagangan internasional, Bahlil tetap pada pendiriannya. “Kalau kita terus menjual bahan mentah, maka kita hanya menjadi buruh bagi kemajuan negara lain. Kita diberi kekayaan oleh Tuhan, tapi jangan hanya jadi penonton,” ujarnya dalam berbagai kesempatan.
Dari Tambang ke Pabrik: Narasi Besar Hilirisasi
Sejak menjabat sebagai Menteri Investasi dan kini merangkap Menteri ESDM, Bahlil menjadikan hilirisasi sebagai napas utama pembangunan sektor tambang dan energi. Baginya, hilirisasi adalah proses mentransformasi Indonesia dari negara pengekspor bahan mentah menjadi produsen barang bernilai tambah.
Ambisi ini bukan tanpa dasar. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor nikel setelah diolah dalam bentuk stainless steel meningkat hingga 19 kali lipat dibanding ekspor bijih mentah. Di sektor tembaga, pembangunan smelter seperti yang dilakukan PT Freeport Indonesia di Gresik akan menghasilkan konsentrat yang siap diolah untuk industri baterai dan kendaraan listrik.
Hilirisasi Bukan Anti Asing, Tapi Pro Kedaulatan
Bahlil kerap dituduh anti asing karena membatasi ekspor bahan mentah dan memaksa investor membangun pabrik di Indonesia. Namun ia menjelaskan, hilirisasi justru membuka ruang investasi asing dengan nilai tambah yang lebih besar.
“Kita bukan menutup diri. Justru kita undang mereka masuk, bangun pabrik di sini, rekrut tenaga kerja Indonesia, transfer teknologi ke anak bangsa,” tegasnya.
Hilirisasi juga membuat Indonesia naik kelas dalam rantai pasok global. Tak lagi sebagai pengirim tanah, tapi sebagai penghasil produk strategis: baterai EV, stainless steel, hingga komponen kendaraan listrik.
Tantangan dan Tekad
Tentu jalan hilirisasi bukan tanpa tantangan. Infrastruktur pendukung, teknologi, serta kualitas SDM masih menjadi pekerjaan rumah besar. Belum lagi gugatan di WTO atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang diajukan Uni Eropa. Namun bagi Bahlil, tantangan ini adalah konsekuensi dari perjuangan menuju kemandirian.
Ia bahkan pernah mengatakan: “Kalau kita mau berdaulat, jangan takut digugat. Justru kalau tidak digugat, artinya kita belum ganggu dominasi mereka.”
Bahlil juga memastikan bahwa hilirisasi akan dipadukan dengan keberlanjutan. Artinya, proses industrialisasi tetap mengutamakan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan energi baru terbarukan.
Hilirisasi Adalah Jalan Menuju Masa Depan
Apa yang diperjuangkan Bahlil bukan sekadar kebijakan sektoral. Ini adalah perubahan arah sejarah ekonomi Indonesia. Sebuah transformasi dari ketergantungan menjadi kemandirian. Dari eksportir bahan mentah menjadi produsen barang strategis dunia.
Dengan hilirisasi, Bahlil meletakkan pondasi masa depan. Masa depan yang membuat Indonesia berdiri sejajar, bukan berlutut dalam sistem ekonomi global. Dan seperti yang ia katakan, ini bukan pilihan—ini harga mati.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Sebuah Kereta, Cepat Korupsinya

Menata Ulang Otonomi: Saatnya Menghadirkan Keadilan dan Menata Layanan

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon



No Responses