Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kapan saja umat Islam meninggalkan sikap wasathiyah, maka umat Islam akan mengalami kehinaan dan kehancuran. Sejak Hijrah Nabi tahun 622 M, grafik peradaban Islam terus menaik. Tahun 636 M, umat Islam sudah mengungguli peradaban Romawi. Kota Yerusalem dibebaskan dan dibangunlah satu peradaban baru yang damai dan bermartabat.
Belum genap 100 tahun dari Hijrah Nabi, tahun 711 M, umat Islam sudah membangun peradaban baru di bumi Eropa. Spanyol dipimpin oleh kaum muslimin selama hampir 800 tahun. Andalusia menjadi pusat peradaban yang mengagumkan. Bukan hanya Islam mengalami kejayaan, tetapi kaum Yahudi pun mengakui, zaman keemasan Islam di Spanyol itu adalah zaman keemasan Yahudi.
Benar saja! Tahun 1492, benteng terakhir kaum Muslim di Granada jatuh. Musibah besar menimpa umat Islam dan Yahudi. Mereka diultimatum untuk memilih satu diantara tiga pilihan: berganti agama, keluar dari Spanyol, atau mati. Maka, dunia menyaksikan kekejaman demi kekejaman yang dilakukan penguasa Katolik.
Tahun 1453, umat Islam membebaskan Kota Konstantinopel. Satu generasi hebat dipimpin Muhammad al-Fatih berhasil melakukan kerja spektakuler dalam membangun peradaban tinggi di Konstantinopel. Kolaborasi ulama-ulama hebat dengan penguasa hebat menghasilkan prestasi peradaban yang tinggi.
Dalam kurun waktu yang panjang, mulai 622-1453, umat Islam mengalami dua kali bencana peradaban. Pertama, tahun 1099-1187. Ketika itu Yerusalem ditaklukkan bangsa Eropa dan umat Islam mengalami pembantaian besar-besaran. Kedua, tahun 1258 ketika Baghdad dikuasai dan diluluhlantakkan bangsa Mongol.
Jika dicermati, dua bencana peradaban itu justru terjadi ketika umat Islam berada di puncak penguasaan sains, teknologi, dan ekonomi. Umat Islam merupakan umat yang paling pinter, paling kaya, dan paling maju peradaban materinya. Akan tetapi, justru ketika itulah umat Islam mengalami bencana peradaban.
Bencana itu bermula ketika umat Islam terjebak dalam pandangan dan sikap ekstrim terhadap dunia. Mereka tidak lagi mengutamakan kehidupan akhirat dan sudah meninggalkan jihad fi-sabilillah. Penyakit cinta dunia merebak di tengah ulama, penguasa, dan masyarakat luas.
Banyak orang mencari ilmu, tetapi salah niat dan tujuan. Mencari ilmu bukan untuk mengenal Allah dan menjadi orang baik. Dunia tidak dipandang sebagai tempat mencari bekal untuk kehidupan akhirat. Tapi, dunia dijadikan sebagai tujuan untuk melampiaskan hawa nafsu sepuas-puasnya.
Apa yang terjadi? Dakwah dan perjuangan ditinggalkan. Dunia jadi tujuan dan rebutan. Perpecahan terjadi dimana-mana. Masalah furu’iyyah dijadikan sebagai alasan perpecahan. Perbedaan menjadi musibah; bukan menjadi rahmah. Bahkan, sesama muslim sibuk saling caci-maki karena perbedaan mazhab. Kepentingan kelompok lebih diutamakan, tanpa peduli musuh-musuh Islam selalu mencari kesempatan untuk melemahkan dan menghancurkan umat Islam.
Islam adalah agama yang adil. Umat Islam merupakan umat pertengahan yang tidak ekstrim. Umat Islam diperintahkan menjadi umat yang kuat dan memimpin umat manusia. Umat Islam diwajibkan menjadi insan bertaqwa, tanpa harus meninggalkan tahta, harta, dan keluarga. Selama umat Islam memegang teguh sikap adil dan menjauhi sikap ekstrim, maka mereka senantiasa menjadi umat yang kuat dan unggul.
Sikap adil itu lahir dari pandangan dunia (worldview) yang benar, yang memahami hakikat segala sesuatu dengan benar dan menyikapinya dengan bijak. Jiwa dan raga harus dibangun bersama. Islam menolak paham ekstrim yang memuja materi dan syahwat secara berlebihan. Hawa nafsu harus dikendalikan; bukan dimatikan.
Islam melarang umatnya untuk merusak tubuhnya dengan alasan untuk pensucian jiwa. Ibadah puasa bukan untuk membuat manusia sengsara agar bisa menjadi taqwa. Tetapi, puasa adalah bentuk pengendalian hawa nafsu dan pensucian jiwa yang merupakan penentu kesuksesan seseorang.
Jiwa yang bersih akan melahirkan akhlak mulia yang direalisasikan dalam bentuk adab. Jiwa yang kotor merupakan sumber kelemahan dan kekalahan. Jiwa yang kotor melahirkan akhlak tercela. Sikap pembohong, penyakit sombong, malas, pendengki, dan sebagainya lahir dari jiwa yang kotor.
Selama penyakit jiwa itu masih bersemayam dalam jiwa, maka manusia pasti akan bersikap ekstrim, dan meninggalkan posisi wasathiyah. Ketika itu umat menjadi lemah dan kalah! Semoga kita bisa belajar dari sejarah! Amin. (Depok, 28 Februari 2025).
EDITOR: REYNA
Related Posts

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Surat Rahasia Bank Dunia: “Indonesia Dilarang Membangun Kilang Minyak Sendiri”

Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Mengaku Ditekan 2 Tokoh (PY) dan (HR) Untuk Memperhatikan Perusahaan Riza Chalid

Prabowo Melawan Akal Sehat atas Dugaan Ijazah Palsu Jokowi dan Kereta Cepat Whoosh

Pangan, Energi dan Air

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

NKRI Sesungguhnya Telah Bubar

Dalang Lama di Panggung Baru



No Responses