Oleh: Budi Puryanto
Cindelaras, Candra Kirana, dan Aryadipa tidak bisa meninggalkan desa itu cepat-cepat. Seorang tokoh desa, yang dahulunya memimpin desa itu meminta mereka bertiga mampir ke rumahnya.
“Sebagai ucapan terima kasih karena anakmas sudah banyak membantu warga disini yang kesulitan untuk bertahan hidup. Kami atas nama warga meminta dengan sangat untuk mampir barang sebentar,” kata tokoh itu, yang mendapat persetujuan para warga.
Rumah tokoh itu tidak jauh dari lapangan tempat digelar adu jago. Dibelakang tokoh desa dan tiga anak muda itu, banyak warga desa berjalan mengiringi mereka.
Berbagai makanan dan jajanan desa dihidangkan. Air minum, teh, dan kopi tak lupa disajikan sebagai pelengkap.
Tokoh desa bercerita kadaan kehidupan warga didesa itu. Sebagian besar hidupnya serba kekurangan. Sawah dan ladang tidak menghasilkan panen yang cukup, Untuk bertahan hidup, warga makan apa saja dari yang ada.
“Ares pisang, gembili, uwi, tales, rebung, dan apa saja dimakan untuk bertahan. Lumbung sudah kosong. Hanya lumbung milik para pejabat desa ini yang masih ada isinya,” kata tokoh itu membuka pembicaraan.
Sekarang ini hasil panen tidak banyak. Karena kekurangan air. Saat musim hujan saja kami warga desa bisa berharap hasil yang lebih. Tetapi Kerajaan menetapkan aturan baru yang memberatkan bagi warga desa. Jumalh setoran hasil panen ditingkatkan. Kami hanya menerima sebagian kecil saja dari hasil panen itu.
“Kalau anakmas lihat lumbung-lumbung milik warga, kebanyakan sudah tidak ada sisinya,” lanjutnya.
Pertemuan dirumah tokoh itu sudah menjadi sarana keluh kesah warga desa.
Yang menjadi keprihatinan lagi, kata tokokh desa itu, desa ini sudah tidak aman lagi. Banyak terjadi penculikan anak-anak. Juga penculikan anak gadis.
“Kami tidak mampu melawan mereka. Karena para penculik itu tidak sendirian. Mereka datang berombongan dengan membawa senjata tajam. Yang kami sesali jogoboyo yang bertugas menjaga keamanaan desa tidak berbuat apa-apa saat kejadian berlangsung,” kata tokoh itu melanjutkan.
Perkataan tokoh desa itu dibenarkan warga yang hadir disitu. Beberapa orang ikut menambahkan untuk menguatkan.
Mendengar keluhan mereka, Cindelaras tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya.
“Dibawa kemana anak-anak dan para gadis itu,” tanya Cindelaras.
“Kami tidak tahu pastinya, anakmas Cindelaras. Tapi yang pasti, kejadian itu berulang tiap bulan,” jawab seorang warga.
“Berganti-gati desanya.”
“Ya anakmas, kalau bulan ini disini, bulan lainnya ganti desa lainnya.”
“Itu kalu yang menculik anak-anak. Tapi kalau yang menculik gadis-gadis, tidak bisa dipastikan.”
“Asal ada anak gadis cantik, pasti akan diculik.”
“Makanya warga yang punya anak gadis cantik banyak yang mengungsi rumah saudaranya yang aman.”
“Oh ya anakmas Cindelaras, siapa nama kedua teman anakmas. Dari tadi belum kenal,” tanya seorang warga.
“Sebelah kanan saya ini Aryadipa. Yang sebelah kiri ini namanya Respati,” jawab Cindelaras.
Candra Kirana menjadi lega dan mengagumi Cindelaras yang cepat sekali berpikir mengganti namanya. Dia tersenyum kepada Cindelaras.
“Sebenarnya anakmas bertiga ini hendak kemana. Karena dalam keadaan seperti sekarang ini keselamatan anakmas bisa terancam. Apalagi anakmas punya uang yang banyak. Sehabis adu jago kalau menang bertambah lagi uangnya,”kata seorang warga.
“Anakmas tinggal didesa ini saja. Kami akan berjaga siang dan malam,” lanjut warga itu.
“Para sesepuh dan kisanak, kami ini anak-anak muda yang suka berkelana. Apalagi ayamku, kalau tidak bertanding sepekan saja, sudah gelisah. Jadi kami tidak ada tujuan yang pasti. Soal keselamatan kisanak semua tidak usah khawatir. Kami tidak punya uang banyak. Uang dari kemenangan adu jago, selalu kami bagikan kepada warga yang membutuhkah. Seperti tadi siang disini,” jawab Cindelaras.
“Ya kami tahu. Padahal kalau mau, anakmas bertiga ini akan menjadi orang yang kaya sekali. Sudah tampan, kaya, wah banyak gadis-gadis cantik yang tergila-gila,” jawab warga yang diikuti tertawa warga lainnya.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 11)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 10)
“Tujuan kami bukan uang yang bayak kisanak. Kami ikut adu jago ingin menghibur warga masyarakat. Setidaknya dalam beberapa saat mereka bisaa menikmati hiburan untuk melupakan penderitaan. Kalau Yang Maha Agung memberi kemenangan, uang dari kemenangan itu aka kami bagi kepada yang membutuhkan. Itu yang bisa kami lakukan untuk membantu warga dalam keadaan susah ini,” kata Cindelaras dengan nada datar dan tenang.
Warga diam mendengarkan perkataan Cindelaras. Kata-katanya seperti sihir. Semua orang diam. Melongo dan terpesona. Ucapannya memang biasa saja. Tidak ada tekanan. Tetapi menghunjam ke hati warga. Karena ucapan Cindelaras selaras dengan perbuatannya. Warga yang hadir sisitu merasakan sendiri. Mereka masing-masing menerima pemberian dari Cindelaras dalam jumlah yang cukup besar.
“Ya, anakmas benar. Kami semua sangat berterima kasih atas pemberian dari anakmaks bertiga. Ini sangat menolong kami untuk bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Juga, memberi harapan kepada kami, agar para pemimpin di Kerajaan mau bersikap seperti anakmas ini,” kata warga.
“Kami sangat senang kalau punya raja seperti anakmas Cindelaras,” kata warga lainnya.
“Ya, kami juga senang sekali,”sahut yang lainnya.
“Cukup saudara-saudaraku. Kita memuji Yang Maha Agung semoga mendengar keinginginan kisanak semua,” kata tokoh desa yang juga pemilik rumah itu.
Setelah berpamitan, ketiga anak muda itu melanjutkan perjalanan. namun rupanya pembicaraan dirumah tokoh desa tadi terus mengiang-ngiang di kepala mereka.
“Cindelaras, untungnya kamu tiba-tiba menemukan nama Respati. Sehingga aku tidak perlu menyebut namaku,” Candra Kirana.
“Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba muncul nama itu untuk menutupi jatidirimu, Kirana,” jawab Cindelaras.
“Aku sangat prihatin dengan keadaan desa-desa di Jenggala, yang menurut warga tidak aman lagi,” kata Cindelaras yang dibenarkan oleh Candra Kirana.
“Bagaimana menurutmu Aryadipa,” tanya Candra Kirana tiba-tiba.
“Ya, tapi ada satu hal yang membuat aku sangat terkesan dari perkataan para warga tadi,” jawab Aryadipa.
“Apa itu,” sergah Candra Kirana.
“Mereka ingin punya raja seperti Cindelaras,” jawab Aryadipa sambil tertawa kecil.
“Dan permaisurinya seperti Respati,” kata Aryadipa enteng, yang disertai tawa panjang.
“Jangan ngaco kamu Aryadipa, masak permaisuri laki-laki,” kata Cindelaras yang juga ikut tertawa.
Baca Juga:
Candra Kirana diam tidak ikut tertawa. Mukanya yang kuning bersih tiba-tiba berubah menjadi merah jambu. Namun akhirnya juga ikut tertawa kecil. Entah bagaimana, perasaan senang dan bahagia itu tiba-tiba menyebar ke seluruh tubuh dan jiwanya.
“Respati, guyonan Aryadipa jangan dimasukkan ke hati. Itu karena dia sebenarnya ingat kekasihnya,” jawab Cindelaras enteng.
Mendengar perkataan Cindelaras sekarang ganti Candra Kirana merasa mendapat umpan untuk ganti menyerang Aryadipa.
“Wah..wah..wah, rupanya Aryadipa sedang dilanda kangen berat ini. Pantas saja dari tadi senyum-senyum sendiri. Gadis mana kekasihmu itu Arya,” kata Candra Kirana.
Merasa mendapat serangan mendadak, Aryadipa sedikit gugup.
“Sebenarnya aku sudah lupa dengan gadis itu. Tapi karena Kirana menyakannya, mendadak aku jadi ingat lagi,” jawan Aryadipa sambil tertawa-tawa.
Mendengar itu, wajah Candra Kirana sedikit cemberut.
“Jangan cemberut begitu Kirana. Itu bisa membuat pohon-pohon dan burung-burung ikut bersedih,” jawab Aryadipa, sambil tertawa terkekeh-kekeh. Dia tidak sadar tiba-tiba batu kecil mengenai tubuhnya.
Kali ini Cindelaras yang ganti tertawa cukup keras melihat lemparan batu kecil itu tepat di bokong Aryadipa. Seketika tangan Aryadipa meraba bokokngnya.
“Ampun tuan putri. Ampuni hamba,” ucap Aryadipa sambil duduk menghadap Candra Kirana.
Candara Kirana tersenyum melihat ulah Aryadipa. Melihat ulah temannya, Cindelaras ganti menggodanya.
“Mohon maaf tuan putri. Saya kira kesalahan Aryadipa tak terampuni, meskipun harus ditebus dengan apapun juga,” kata Cindelaras.
Kali ini Candra Kirana tak bisa menahan tawanya. Ada kekuatan dalam kata-kata Cindelaras yang membuat hatinya sangat senang.
Karena sudah cukup malam, mereka hendak mencari penginapan. Kebetulan mereka melewati wilayah yang cukup ramai. Didekat pasar ada penginpan yang cukup bagus. Meksipun kecil ta[i kelihatan bersih dan tertata rapi.
Mereka menyewa tiga kamar. Ketiganya segera memasuki kamar-masing untuk istirahat.
Aryadipa langsung tidur. Tapi Cindelaras dan Candra Kirana sebaliknya. Mereka tidak bisa tidur. Kepalanya dirasuki berbagai pikiran. Cindelaras sebentar-sebentar bangun, kemudian duduk. Minum air. Dan kembali mencoba tidur lagi, tapi tetap saja tidak bisa. Pembicaraan dirumah tokoh desa tadi siang benar-benar mengganggu pikirannya.
Begitu juga Candra Kirana. Matanya susah sekali untuk tidur, padahal badannya terasa capek sekali. Anehnya, guyonan Aryadipa masih terngiang-ngiang ditelinganya. Cindelaras yang menjadi raja, Respati yang menjadi permaisurinya. Pikirannya melantur kemana-mana. Tapi hatinya senang dan bahagia.Dia tersenyum dalam tidurnya.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts
 - Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang
 - Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon
 - Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata
 - Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam
 - Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik
 - Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
 - Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
 - Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
 - Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
 - Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi



fuck girlNovember 13, 2024 at 5:48 am
… [Trackback]
[…] Find More Information here to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-12/ […]
BACU2025January 3, 2025 at 1:42 am
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-12/ […]