Oleh: Budi Puryanto
“Maaf Kiageng, saya anak orang biasa. Ibu saya juga orang biasa pada umumnya. Bukan wanita agung. Saya dilahirkan di tengah hutan. Bahkan, saya tidak seperti anak-anak pada umumnya. Saya tidak punya teman semasa kecil. Teman saya bermain adalah binatang-binatang di hutan itu. Karena itu Kiageng, saya sedikit banyak memahami bahasa mereka,” jawab Cindelaras.
“Jagad Pramudito. Gusti Moho Agung. Jadi anakmas ini bisa memahami bahas binatang-binatang itu. Apakah juga bisa berbicara dengan binatang-binatang itu,” tanya Ki Ronggo.
“Begitulah Kiageng, saya bisa memahami bahasa mereka dan bisa berbicara dengan bahasa mereka,” jawab Cindelaras.
Bukan hanya Kiageng Ronggo yang kaget, semua yang hadir diruang itu mendadak wajahnya berubah.
Pelayan tiba-tiba masuk dan menghidangkan kopi, pisang goreng, dan jadah bakar. Kiageng Ronggo mempersilakan merea untuk mencicipi hidangan.
“Hawa dingin disini membuat kopi terasa enak sekali. Apalagi dimakan bersama pisang goreng dan jadah bakar,” kata Cindelaras.
Kiageng Ronggo tertawa mendengar ucapan Cindelaras.
“Selama disini anakmas bisa minta dibuatkan pisang goreng dan jadah bakar. Juga minuman kopi. Kapanpun anakmas mau. Semua ditanam sendiri dan dibuat sendiri oleh para siswa disini,” jawab Kiageng Ronggo.
Malam terasa makin dingin. Apalagi pendopo padepokan itu dibuat terbuka. Hembusan angin malam yang dingin, menusuk sampai ke tulang.
Setelah terasa cukup perkenalan, mereka dipersilakan istirahat di kamar yang telah disiapkan.
Sementara itu Iswara dan temannya malam itu juga minta ijin Kiageng Ronggo untuk terus pulang. Mereka berdua tidak menginap di padepokan.
Sepanjang perjalanan pulang, hati Iswara diliputi rasa senang luar biasa. Uang sewa kuda yang diberikan oleh Cindelaras sangat banyak. Sampai dia berpikir berapa banyak uang yang dimiliki anak muda itu. Pasti sangat banyak. Anak muda itu kaya raya.
Tetapi dia juga kaget atas kemampuan yang dimiliki Cindelaras. Dia belum pernah mendengar ada orang yang bisa memahami bahasa binatang. Dan bisa berbicara dengan bahasa binatang. Tetapi dia buru-buru ingat pesan Kiageng Ronggo untuk tidak menceritakan ilmu linuwih yang dimiliki Cindelaras itu.
Malam itu Kiageng Ronggo belum bisa tidur. Seperti kebiasaannya, dimalam hari dia melakukan samadi dan memuji kebesaran Yang Maha Besar. Memuji keagungan Yang Maha Agung. Sampai menjelang pagi.
Ditengah ketenangan bersamadi, saat dirinya telah lebur menyatu dengan semesta, dia didatangi seorang wanita agung yang sangat berwibawa. Memasuki gerbang padepokan. Memakai baju warna hijau pupus. Memakai mahkota kerajaan bertahtakan intan berlian yang gemerlapan sangat indah. Menambah kewibawaan wanita tersebut.
Wanita itu memandang Kiageng Ronggo dan tersenyum. Lalu menganggukkan kepala seperti memberi isyarat setuju dan merestui. Kemudian menghilang dari halaman padepokan. Lenyap bersama gelapnya malam.
Setelah sadar sepenuhnya dari samadi, dia keluar padepokan berjalan melintasi halaman yang cukup luas menuju gerbang. Dilihatnya kanan dan kiri, tidak ada siapa-siapa. Tetapi karena memiliki kemampuan linuwih dan waskita, dia bisa merasakan jejak kehadiran wanita dalam samadinya itu.
“Siapa wanita agung ini. Mengapa dia tersenyum dan mengangguk tanda setuju atau merestui,” bisik hati Kiageng.
“Apakah dia ibunda Cindelaras? Kalau benar dia ibundanya, berarti dia bukan wanita sembarangan. Berwibawa dan nampak seperti seorang permaisuri raja,” kata hatinya.
Anehnya perasaan kagum itu belum juga hilang. Benar-benar membekas, seperti nyata, meskipun dia sadar itu hanya pertemuan di alam lain.
Kiageng Ronggo berusaha memecahkan misteri pertemuan itu. Tapi tidak bisa. Justru membuatnya makin bingung. Akhirnya dia memilih untuk membiarkan saja. Dia serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Baru semuanya terasa lebih ringan.
Lalu, Kiageng Ronggo beranjak menuju kamarnya untuk istirahat. Dia merasakan kelelahan. Sangat lelah, setelah mengalami peristiwa aneh dalam samadinya itu.
Pagi di Kepatihan
Suatu pagi Ki Patih menerima seorang prajurit telik sandi. Dia hendak melaporkan tugas yang diberikan kepadanya.
“Ada perkembangan apa. Bagaiman tugasmu, apakah sudah kamu jalankan,” tanya Ki Patih.
“Mohon ampun Kanjeng Patih. Tugas sudah hamba jalankan. Namun sekali lagi mohon ampun, Cindelaras beberapa hari lalu pergi dari penginapan menuju arah gunung Arjuno. Kabar yang hamba dapatkan, dia hendak menemui Kiageng Ronggo Pralampito,” kata telik sandi itu.
“Lalu, wilayah mana yang akan menggelar adu jago dalam waktu dekat ini. Tentu saja yang mengundang para bebotoh besar. Bukan adu jago yang di kampung-kampung, tetapi yang diadakan oleh para bebotoh istana. Paham maksudku,” kata Ki Patih.
“Mohon ampun Kanjeng Patih. Hamba paham maksud Kanjeng Patih. Di wilayah-wilayah tersebut belum ada rencana pertandingan. Setidaknya dalam beberapa pekan ini. Biasanya mereka sudah menyebar pariwara dua pekan atau sebulan sebelum pertandingan adu jago digelar,” jawab telik sandi itu.
“Baiklah laporanmu aku terima. Terus bekerja seperti yang saya perintahkan. Keadaan istana semakin memburuk. Kas negara sudah ludes dihambur-hamburkan permaisuri, pangeran pati, dan para punggawa pengkhianat negara. Para penjilat itu tidak pernah memikirkan nasib negara. Hanya nasib perutnya sendiri yang dipikirkan,” kata Ki Patih.
“Mata dan telingamu harus makin tajam. Barisan telik sandimu harus diperkuat. Baik yang bekerja didalam keraton, maupun yang bekerja ditengah luar keraton. Bila pasukanmu membutuhkan biaya tambahan, sampaikan kepadaku. Jangan kepada orang lain,” kata Ki Patih.
“Sendiko Kanjeng Patih. Ada hal lain yang ingin hamba sampaikan. Mohon diijinkan.”
“Apa itu, sampaikan segera.”
“Dari telik sandi dalam, diperoleh kabar bahwa Raja akan mengeluarkan perintah baru. Pajak akan dinaikkan. Juga akan ada jenis pajak baru. Penarikan pajak akan dikawal oleh sepasukan prajurit. Bagi yang menolak akan diganjar hukuman,” kata telik sandi itu.
“Aneh. Dalam pesowanan beberapa hari kemarin Raja tidak menyinggung hal itu. Bisa dipastikan ini permintaan Permaisuri. Dalam keadaan sekarang akan sulit diterapkan. Untuk bertahan hidup saja, rakyat sudah mengalami kesulitan. Tapi permaisuri tidak melihat itu. Yang penting baginya kas negara harus terisi. Segala kebutuhannya harus dapat dipenuhi. Ini benar-benar sudah keterlaluan,” kata Ki Patih pelan, seperti bicara dengan dirinya sendiri.
“Apakah masih ada laporanmu?”
“Hamba kira cukup Ki Patih.”
“Baiklah. Jangan mengambil tindakan apapun. Barisanmu harus menahan diri. Tidak boleh bertindak sendiri dengan alasan apapun juga,” kata Ki Patih.
“Hamba Kanjeng Patih. Perintah Kanjeng Patih akan kami pegang. Kami mohon diri.”
Ki Patih semakin geram dengan perilaku Permaisuri yang didukung oleh para punggawa pengecut. Bajunya memang punggawa, tapi perilakunya seperti perampok. Atas nama negara mereka merampok rakyat. Bahkan saat rakyat makin kesulitan untuk hidup, beban penderitaannya akan ditambah lagi. Alasan untuk membangun negeri Jenggala, hanya omong kosong.
“Raja sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kekuasannya sudah dilucuti oleh Permaisuri. Raja tinggal namanya saja. Sudah tak berkuasa sama sekali. Sampai kapan keadaan ini akan berlangsung,” gumam Ki Patih dalam hati.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 6)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 5)
Tiba-tiba dia ingat Kiageng Ronggo. Menurut laporan telik sandi tadi, Cindelaras menuju padepokannya. Dia ingin tahu lebih jauh siapa anak muda yang sedang jadi “kembang lambe” seluruh kawulo Jenggala itu.
“Aku juga perlu bicara dengan Kiageng Ronggo tentang keadaan dalam keraton yang makin buruk ini. Siapa tahu dia punya jalan keluar,” bisiknya dalam hati.
Berkunjung ke padepokan
Malam itu Ki Patih bergerak menuju Padepokan Kiageng Ronggo. Karena ini perjalanan rahasia, dia bergerak sendiri tanpa ditemani prajurit pengawal Kepatihan. Agar tidak diketahui prajurit jaga, dia keluar lewat pintu rahasia di belakang rumah dengan berjalan kaki.
Sampai di suatu desa yang tidak jauh dari Kepatihan, dia mengambil kuda yang memang disiapkan untuk keperluan khusus. Rumah itu agak terpencil dari rumah lainnya. Berada dipinggir hutan. Hanya satu orang prajurit yang tahu. Prajurit telik sandi yang sudah teruji.
Sebagai mantan prajurit pilihan, meskipun sudah berumur, Ki Patih masih bisa memacu kudanya dengan kecepatan tinggi ditengah gelap malam. Hanya bila melewati pedesaan saja, dia memacu kuda itu pelan-pelan. Biar tidak menimbulkan kehebohan.
Oleh karena itu, sebelum tengah malam dia sudah sampai di padepokan Ki Ronggo. Cukup lama dia tidak mengujungi sahabatnya ini. Sejak Ki Ronggo diberhentikan dari kedudukannya sebagai Pujangga dan Penasehat Raja, dia belum pernah berkunjung lagi.
Sebenarnya dia merasa kangen dengan sahabatnya ini, tetapi keadaan belum memungkinkan dia berkunjung.
“Njanur gunung Kanjeng Patih. Saya kira sudah lupa jalan kesini,” sindir Kiageng Ronggo.
“Hahaha, bagaimana aku bisa lupa jalan kesini. Bukankah tempat ini yag menempa masa mudaku dulu. Saya masih ingat Kiageng Sepuh Mpu Bharadah duduk di tempat itu. Mengajarkan berbagai pengetahuan kepada siswa-siswanya. Setelah selesai aku selalu tidak boleh kembali kekamarku. Kiageng Mpu selalu minta aku pijit badannya. Tapi aku senang. Karena dia selalu memberikan cerita tambahan. Aku juga bisa bertanya dengan leluasa. Jadi, pengetahuanku bertambah luas,” kata Ki Patih.
“Oh, itu sebabnya Ki Patih memiliki ilmu yang linuwih dibanding lainnya. Sehingga bisa menduduki kursi Kepatihan sampai sekarang. Bahkan Gusti Permaisuri saja tidak berani mengusiknya,” jawab Kiageng Ronggo sambil tertawa terkekeh. Ki Patih ikut tertawa terpingkal-pingkal atas sindiran Kiageng Ronggo itu.
Disini dia bisa tertawa bebas tanpa ada beban. Kedua orang itu terus berbicara sambil minum kopi. Tak lupa camilan pisang goreng dan jadah bakar. Tapi kali ini ada tambahan kesukaan Ki Patih, yaitu ketela godog yang dimasak dengan gula merah. Jadilah ketela yang rasanya manis.
Setelah cukup lama akhirnya Kiageng Ronggo membuka pembicaraan serius. Menanyakan apakah ada maksud khusus kedatangan Ki Patih di padepokannya.
“Saya mendapat kabar apakah benar anak muda bernama Cindelaras berkunjung kesini,” tanya Ki Patih.
“Ya benar Kanjeng Patih. Dia mengatakan ingin menimba ilmu disini untuk beberapa waktu lamanya. Saya tidak tahu sampai kapan,” jawab Ki Ronggo.
“Kebetulan Kiageng. Saya memang ada rencana untuk menemui anak muda itu. Semula saya akan menemuinya ditempat adu jago. Karena biasanya dia ada disana. Tapi begitu mendengar Cindelaras kesini, saya langsung bergerak kesini juga,” ujar Ki Patih.
“Ingin menemuinya. Untuk apa?” tanya Kiageng Ronggo heran.
“Saya ingin tahu asal-usulnya. Karena anak muda sudah membuat “ontran-ontran” di bumi Jenggala,” jawab Ki Patih.
“Saat baru datang, beberapa hari lalu, dia bercerita soal ibundanya. Yang pinter mendongeng tentang kisah-kisah kerajaan di tanah Jawa. Dia lahir dihutan. Bahkan tidak punya teman semasa anak-anak. Temannya para binatang di hutan itu. Sehingga dia bisa memahami bahasa binatang. Dia juga bisa berbicara dengan binatang,” jawab Ki Ronggo.
Ki Patih seperti disambar geledek mendengar jawaban Ki Ronggo. Ketela godog manis ditangannya tidak jadi dimakan. Wajahnya membeku. Matanya terpejam beberapa saat lamanya.
Perubahan sikap mencolok ini tentu saja terbaca oleh Kiageng Ronggo.
“Ada apa Kanjeng Patih. Tidak biasanya Kanjeng Patih kaget seperti ini. Yang aku tahu menghadapi persoalan sebesar apapun Kanjeng Patih biasanya selalu tenang,” kata Kiageng Ronggo.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 8)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 9)
“Untuk kali ini aku tidak mampu mengendalikan diri mendengarnya. Aku yakin mengenali ibundanya,” kata Ki Patih.
“Menurut Kanjeng Patih, siapakah ibundanya. Karena dia tidak bercerita banyak soal ibundanya,” kata Kiageng Ronggo.
“Dengan cerita singkat itu, aku meyakini ibu Cindelaras adalah sang Permaisuri negeri Jenggala yang dulu,” jawa Ki Patih.
“Jagad Pramudito. Bukankah beliau sudah meninggal, seperti dalam cerita yang beredar,” tanya Kiageng Ronggo.
“Ceritanya panjang. Baiklah aku buka disini. Rahasia ini aku simpan lama. Sampai saat ini belum pernah aku buka,” jawab Ki Patih.
“Setelah aku ceritakan, aku minta Kiageng ikut menjaga rahasia ini. Karena ini menyangkut masa depan negeri Jenggala,” jawab Ki Patih.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts
 - Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang
 - Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon
 - Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata
 - Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam
 - Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik
 - Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
 - Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
 - Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
 - Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
 - Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi



Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 8) - Berita TerbaruJune 10, 2023 at 12:08 pm
[…] Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 7) […]