Oleh: Ridwan Saidi
(Budayawan Betawi, Sejarawan, Politisi Senior)
Photo (bawah) Boplo, tanah keras. Lokasi Asem Lama tembus Sam Ratulangi, vice versa. Boplo terkenal dengan gado-gado.
Boplo bahasa Betawi, bukan resapan Belanda bouwploeg. Memang ada perusahaan Belanda NV Bouwploeg berdiri tahun 1912, tapi tak ada urusannya dengan sejarah Tana Boplo.
Tahun 1920 selatan Boplo diluaskan. Perluaaan itu dalam bahasa Betawi: Menteng. Menteng buurt, sudut Menteng, perumahan elit Belanda.
Nama lama dipertahankan seperti Cikini dan Gondangdia. Sekarang umumnya nana lama diganti dengan nama-nama kembang.
Saya pernah dapat khobar bahwa ada jalan yang kehabisan nama kembang. Rencananya mau dikasi nama Jalan Kembang Kentut-kentutan, tapi dibatalkan sendiri oleh pemrakarsa.
Dasawarsa 1950-an sampai 1970-an Menteng tumbuh sebagai sub culture metropolitan, omong Betawi dicampur enbetje hollandse spreken.
Tampilan beda. PRT Menteng pun tampilannya beda, sebuah grup musik ciptakan lagu Babu Menteng. Saya gaul dengan anak-anak Menteng sekitar 1960-an.
Di sekitar Boplo banyak nama gang/kampung yang unik yang sekali gus menggambarkan masa lalu Jakarta.
Gang Quatero di Kebon Siri, ini bahasa Portugis. Ada Kampung Lima. Jelas ini Peru. Ada juga Gg Embrat, dari kata Amrat, Oman. Ada juga Gg Demang.
Kebon Siri menulisnya bukan Sirih. Siri artinya adat. Di sini bediam tokoh-tokoh adat Betawi dan di awal abad XX M berhuni seorang tokoh adat Betawi Haji Ra’ijin.
Ia yang pada tahun 1918 mewakili kaum adat Betawi untuk public hearing depan Komisi Adatrecht bentukan Belanda yang dipimpim van Vollenhoven dan Krannenburg.
Setelah keterangan Haji Ra’ijin dipelajari akhirnya Komisi ketok martil bahwa Adat Betawi diaku dan termasuk 19 adatrecht di Indonesia yang merupakan hukum positif.
Pemda DKI ganti Pasar Boplo jadi Pasar Gondangdia, padahal lokal berbeda. Saya selalu mengingatkan agar tidak sekehendak hati mengganti-ganti toponim Jakarta. Generasi lampau tak sembarangan memberi nama jalan dan hunian.
Ada seorang sarjana sejarah S2, mungkin, dalam sebuah ceramah, ia ingin berjenaka. Lalu ia berkata Glodok itu asalnya dari bunyi air pancoran grojok-grojok. Di dunia mana pun tak ada onomotope (tiruan bunyi) jadi toponim.
Glodok itu batu bukit yang bergulir dari bukit-bukit Tambora, lokasi kini jembatan Harco. Dalan bahasa Minang batu bukit itu galodo. (RSaidi)
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Api di Ujung Agustus (Seri 22) – Duel Senyap di Rumah Sakit
Ching Chong, ChinamanNovember 13, 2024 at 12:58 am
… [Trackback]
[…] There you can find 30174 more Info to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/cabe-catetan-babe-172-boplo/ […]
Telegram下载December 22, 2024 at 11:39 am
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/cabe-catetan-babe-172-boplo/ […]