CABE, Catetan Babe (54): Kuasa Manusia, Dimana Batas?

Oleh : Ridwan Saidi, Budayawan

Mengiringi perang dingin 1960-an, merebak pula lomba angkasa luar. Bumi makin sesak, mending mondok di angkasa luar. Calon pemondok banyak, di antaranya juga dari Indonesia. Entah kenapa model lomba itu tak di-laung2kan lagi pas masuk abad XXI M.

Dan tak pula ada bahasan apa lomba semacam itu sesuai natuur dan fitrah manusia apa tidak. Apa biologic nyekrup dengan system ruang Tuhan apa tidak.

Ada batas kuasa manusia meski mereka tak kasi pengakuan.

“Jika masih ada nabi setelah Nabi Muhammad, itulah Bung Karno. Kata salah satu Menko era BK. Senafas dengan itu satu pejabat daerah berkata kalau JKW pindahkan Ibukota, kami jamin masuk sorga.

Dimana batas kuasa mereka?

Ada lagi ucapan, Aqidah jangan diajarkan, nanti anak didik radikal. Yang bicara merasa punya kuasa memilih mana firman Tuhan yang boleh dan tidak diajarkan pada anak didik.

Sepertinya netral agama, padahal tidak, ketika ada istri, yang suaminya pejabat daerah, kampanye jadikan miras produk andalan daerahnya. Banjir tiba2 dengan hebat melanda daerahnya.

Persoalan dengan kewenangan, sekarang bukan sekedar terlepas dari hukum dan konstitusi, tetapi terdapat indikasi kewenangan itu telah masuk wilayah Ilahiah.

Menurut prasasti Kedukan Bukit, Palembang, IX M, yang tidak berbatas itu hanya The Space ciptaan Tuhan. Penggunaan power dibatasi konstitusi dan peraturan perundangsn. Jika batas ini ditembus maka pemangku power bergerak beyond the power.

Bukan jadi powerful malah powerless. Power adalah energi, sesuai dengan hukum kekekalan enerji E = 1. (RSaidi)

EDITOR : REYNA

Related Posts