Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi
Nasionalisme kerap dijadikan jargon suci yang harus dijunjung tinggi. Namun, dalam praktiknya, nasionalisme justru menjadi alat manipulasi bagi elit penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Rakyat dicekoki dengan retorika cinta tanah air, sementara kebijakan yang diambil justru menguntungkan oligarki dan menyengsarakan masyarakat luas.
Gerakan #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap, yang digaungkan oleh mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil, bukan sekadar keluhan emosional. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap kebijakan ekonomi dan politik yang semakin menekan rakyat. Seruan untuk bekerja di luar negeri bukan berarti kehilangan nasionalisme, tetapi sindiran keras terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja yang layak di dalam negeri. Ironisnya, tenaga kerja Indonesia di luar negeri justru menjadi penyumbang devisa terbesar kedua, sementara di dalam negeri mereka justru dipersulit dan tidak mendapat perlindungan yang layak.
Nasionalisme yang dipelintir oleh oligarki hanya menjadi candu yang meninabobokan rakyat agar tetap tunduk. Slogan-slogan patriotik dijadikan tameng untuk membungkam kritik dan menutupi kegagalan kebijakan. Namun, realitanya, sumber daya alam dijual murah kepada asing, tenaga kerja asing semakin diberi keleluasaan, sementara rakyat hanya mendapat janji-janji kosong.
Kebijakan efisiensi anggaran yang digembar-gemborkan Prabowo-Gibran justru memperparah kondisi ekonomi. Para pakar ekonomi seperti Faisal Basri dan Bhima Yudhistira menyoroti bahwa pemangkasan anggaran secara serampangan akan menghambat mobilitas ekonomi. Jika belanja negara dikurangi drastis tanpa strategi yang jelas, daya beli masyarakat akan melemah, investasi swasta akan lesu, dan sektor riil akan terhimpit. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang selama ini bergantung pada konsumsi domestik justru akan melambat.
Selain itu, kebijakan pemangkasan subsidi pendidikan juga menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa. Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan berbagai beasiswa yang selama ini membantu siswa miskin bersekolah terancam dihentikan. Padahal, pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk mencetak SDM unggul, bukan beban anggaran yang bisa dikorbankan demi kepentingan politik jangka pendek.
Namun, alih-alih memperkuat ekonomi dan pendidikan, pemerintahan Prabowo-Gibran justru mengalokasikan anggaran besar untuk program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), yang hanya menjadi alat pencitraan politik. Program ini dikritik banyak ekonom karena tidak memiliki landasan fiskal yang kuat. Jika dipaksakan tanpa perhitungan yang matang, defisit anggaran akan semakin melebar dan ekonomi akan semakin tidak stabil.
Kondisi ini memperjelas bahwa Indonesia sedang bergerak menuju masa depan yang gelap. Nasionalisme palsu dijadikan alat pembodohan, sementara kebijakan ekonomi justru menguntungkan oligarki dan memperburuk kehidupan rakyat. Dalam konteks inilah #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap menjadi bentuk perlawanan rakyat terhadap pemerintahan yang lebih mementingkan kepentingan elit daripada kesejahteraan masyarakat.
Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin gelombang protes akan semakin membesar. Rakyat tidak akan diam melihat negaranya semakin gelap dan semakin tidak berpihak kepada mereka. Nasionalisme sejati bukanlah sekadar slogan, melainkan keberpihakan nyata pada keadilan, kesejahteraan, dan masa depan bangsa yang lebih baik.
Menuju Ledakan Gerakan Sosial
Indonesia saat ini berada dalam fase kritis kontraksi sosial, memasuki stadium 4, sebuah tahap di mana ketimpangan ekonomi, ketidakadilan hukum, dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah mencapai titik didih yang dapat memicu gelombang gerakan sosial yang lebih besar. Ini bukan lagi sekadar kegelisahan masyarakat, tetapi akumulasi dari ketidakpuasan kolektif akibat kebijakan masa lalu yang tidak berpihak pada rakyat, penguatan oligarki, serta praktik nepotisme dan korupsi yang semakin terang-terangan.
Kontraksi sosial ini tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil dari serangkaian kebijakan yang sejak awal didesain untuk menguntungkan segelintir elit dan merugikan rakyat. Beberapa faktor utama yang memicu eskalasi kontraksi sosial ini antara lain:
• Maraknya Korupsi yang Dibiarkan
Korupsi tidak lagi menjadi kejahatan tersembunyi, melainkan bagian dari sistem kekuasaan. Kasus-kasus korupsi besar, seperti mega korupsi bansos dan proyek infrastruktur mangkrak, menjadi bukti bahwa aparatur negara lebih sibuk memperkaya diri daripada membangun kesejahteraan rakyat.
• Nepotisme Keluarga Istana dan Hancurnya Demokrasi
Demokrasi yang sehat seharusnya memberikan kesempatan yang adil bagi semua warga negara. Namun, praktik nepotisme yang semakin terang-terangan dalam pemerintahan saat ini telah melukai kepercayaan publik terhadap sistem politik. Penunjukan keluarga presiden dalam jabatan publik tanpa proses transparan semakin memperkuat persepsi bahwa kekuasaan hanya berputar di lingkaran kecil oligarki.
• Ketimpangan Ekonomi yang Semakin Dalam
Rakyat kecil semakin terjepit di tengah ekonomi yang tak berpihak kepada mereka. Harga kebutuhan pokok melonjak, subsidi dicabut, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan semakin sulit. Sementara itu, kelompok elite dan korporasi besar justru mendapat fasilitas istimewa melalui berbagai kebijakan yang dibuat demi kepentingan mereka.
Di tengah ketimpangan yang semakin nyata, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah menjadi katalis utama gerakan sosial yang semakin membesar. Dalam sejarahnya, kontraksi sosial yang mencapai titik ini selalu berujung pada mobilisasi besar-besaran masyarakat dalam bentuk protes, boikot, hingga perlawanan politik terbuka.
• Tanda-Tanda Awal Perlawanan
Sejumlah gerakan mulai bermunculan sebagai respons atas kondisi ini. Tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap menjadi representasi kekecewaan mendalam terhadap situasi ekonomi dan politik yang semakin tidak menentu. Gerakan ini mengindikasikan bahwa masyarakat mulai mencari solusi di luar sistem karena merasa negara gagal menjalankan tugasnya.
• Peluang Munculnya Gelombang Demonstrasi Besar
Jika kebijakan yang menindas rakyat terus berlangsung, maka gerakan sosial akan mengalami eskalasi yang lebih besar. Mahasiswa, kelompok buruh, petani, hingga komunitas sipil yang selama ini terfragmentasi bisa bersatu dalam satu tujuan: melawan rezim yang semakin menindas.
Titik Balik: Perubahan atau Ledakan Sosial?
Indonesia berada di persimpangan jalan. Kontraksi sosial yang mencapai stadium 4 ini hanya memiliki dua kemungkinan:
1. Pemerintah segera melakukan reformasi mendasar dengan mengakhiri praktik korupsi, nepotisme, serta mengambil kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat.
2. Jika tidak, rakyat akan mengambil langkah mereka sendiri. Gerakan sosial akan semakin kuat, dan seperti yang terjadi dalam banyak negara, perubahan besar bisa terjadi melalui tekanan publik yang masif dan tak terbendung.
Di tengah gelombang ketidakpuasan ini, rakyat semakin sadar bahwa nasionalisme bukan sekadar jargon kosong yang digunakan elit untuk menutupi kesalahan mereka, tetapi sebuah gerakan nyata untuk menuntut keadilan, kesejahteraan, dan demokrasi yang sesungguhnya.
Jika kontraksi sosial ini terus dibiarkan, sejarah telah membuktikan bahwa ledakan sosial hanyalah masalah waktu.
Surabaya, 18 Pebruari 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Siapa Yang Gila (2)

Kesederhanaan dan Keteladanan Sri Sultan HB X

Siapa Yang Gila (1)

Bersumpah Pemuda Masa Kini

Tirak Gate: Pengamat Kebijakan Publik Ngawi, Agus Fatoni Menilai Ada Keculasan Nyata Dan Brutal Dalam Kasus Tirak

Soal Seleksi Perangkat Desa Tirak, Camat Kwadungan Tegaskan Akan Mengambil Langkah Sesuai Aturan

Oligar Hitam Harus Dipenggal Kepalanya

“Whoosh” Cermin Buruknya Duet Kebijakan Luhut–Jokowi

Woosh: Satu dari Banyak Jejak Kejahatan Ekonomi dan Konsitusi Jokowi

Kepala Sekolah SMAN 1 Patianrowo Nganjuk Disinyalir Paksa Murid Ikut Study Tour ke Jogja, Buat Ajang Bisnis



No Responses