JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menyatakan, merujuk penjelasan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung), Abdul Qohar saat ‘menguliti’ peran dari 9 tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola impor minyak mentah (crude oil) yang merugikan negara Rp285 triliun, ada yang menarik untuk dicermati dan mendapat perhatian serius.
Pasalnya, masih banyak eks petinggi PT Pertamina (Persero) yang belum ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, peran mereka cukup kuat dalam dugaan korupsi tata kelola impor minyak.
“Misalnya eks Dirut Pertamina, NW dan MELP kok belum tersangka. Harusnya mereka ikut tanggung renteng dalam kasus ini. Itu mengacu kepada pernyataan Direktur Penyidik Kejagung, Abdul Kohar dalam konferensi pers 10 Juli 2025, lho,” papar Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Sebab kata Yusri, peran NW dan MELP ini, menjadi kunci dalam rapat direksi untuk optimasi sektor hilir, menyangkut tata kelola organisasi (TKO) dan tata kelola impor (TKI). “Sudah pasti, mereka tahu dan menyetujui. Bentuknya tanda tangan atau paraf, setidaknya ada dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAB),” ungkapnya.
Selanjutnya CERI, kata dia, merujuk bocoran dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengungkap peran NW selaku Dirut Pertamina periode 2018-2021, MELP selaku eks Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PPN dan AN selaku eks Dirut PPN, diduga melakukan penyimpangan yang menyebabkan kerugian negara Rp9,4 triliun.
Yusri menambahkan, terkait penjualan solar industri di bawah harga solar subsidi, perlu pendalaman. Di mana, ada perusahaan tambang milik pengusaha besar berjuluk ‘raja batubara’ Indonesia, menjadi anak emas. Karena mendapat jatah solar dengan harga super murah.
“Harga solar industri dijual rendah bahkan di bawah harga pokok penjualan (HPP). Ini jelas melanggar Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina ( Persero) Nomor 001/F00000/2016 – S9 tanggal 13 Desember 2016 yang mengatur harga jual mempertimbangkan landet cost dan pocket margin,” terang Yusri.
Baik MELP dengan AN selaku Direksi PPN, melalui NW selaku Dirut Pertamina, menurut Yusri, mengusulkan formula HIP (Harga Indek Pasar) Pertalite Ron 90 sebesar 99, 21 persen dari MOPS Ron 92 kepada Menteri ESDM yang dijabat Arifin Tasrif.
Padahal. lanjutnya, BBM jenis Pertalite yang diproduksi kilang Pertamina maupun kilang lainnya, merupakan percampuran HOMC (High Octane Mogas Component) Ron 92 dengan Naphta dengan prosentasi terukur. Jadi, bukan hasil oplosan Mogas Ron 88 dengan Mogas Ron 92. “Akibatnya, menurut perhitungan BPK atas dugaan penyimpangan tersebut telah merugikan negara Rp13,11 triliun sepanjang 2018-2023,” imbuhnya.
Selain itu, kata dia, kerugian negara untuk kegiatan sewa terminal BBM PT Orbit Terminal Merak oleh Pertamina dan PPN, periode 2014 hingga 2024, merugikan Pertamina sebesar Rp2,905 triliun. “Oleh sebab itu, kami punya keyakinan bahwa NW dan MELP akan menyusul kawan-kawannya yang lebih dulu menjadi tersangka,” pungkasnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia



No Responses