Cerpen: Piye kabare? Enak jamanku to?.. Nggih mbah

Cerpen: Piye kabare? Enak jamanku to?.. Nggih mbah
Ilustrasi

Oleh: Budi Puryanto

Sekitar seminggu lalu saya bertemu kenalan baru yang merantau ke Jakarta. Dia berasal dari Gunungkidul, Yoyakarta. Di Jakarta sudah 3 tahunan dengan bekerja serabutan, apa saja yang ada untuk memenuhi hidupnya. Tetapi yang sering terjadi dia diminta memperbaiki alat-alat elektronik sederhana, seperti memperbaiki lampu rumah, pompa air yang rusak. Kadang memperbaiki kompor elpiji yang tidak bisa menyala sempurna karena kotor. Kadang juga sekedar memasang kelep tabung elpiji. Pokoknya segala pekerjaan yang mungkin dianggap remeh bagi orang lain, dia tidak menolaknya.

Anak dan isterinya tetap tinggal di kampung, karena biaya tinggal dan hidup di Jakarta mahal. Sebenarnya isterinya sudah mencoba untuk ikut ke Jakarta, namun tidak lama justru sakit, sehingga harus pulang lagi ke kampung. Dan, ini yang membuatku makin sedih mendengarnya, sakitnya cukup parah, sakit jantung dan kadar gula tinggi.

Dia akhirnya mengantarkan isterinya pulang untuk berobat disana. Isterinya harus pasang ring. Dengan biaya yang cukup mahal. Harga pasang 1 ring tujuh puluh lima juta. Beruntung dia memiliki kartu BPJS, sehingga bisa gratis.

“Cuma yang membuatku sedih mas, setelah enam hari isteriku disuruh pulang. Padahal kondisinya belum sehat. Kata petugas rumah sakit aturan BPJS memang begitu. Saya diminta mencari rujukan baru kalau isteriku ingin dirawat lagi. Saya diberi obat jalan. Saya putuskan untuk dirawat dirumah saja,” katanya sedih.

“Masak aturannya begitu?,” aku bertanya.

“Ya mas, itu yang membuat aku berontak tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ini orang kecil mas, sudah beruntung bisa gratis pasang ring jantung,” jelasnya.

Dia juga menjelaskan kalau pelayanan pasien pemegang kartu BPJS dibedakan dengan yang bayar langsung.

Aku berpikir, mestinya itu terbalik. Pemegang kartu BPJS seharusnya dilayani lebih baik dari yang tida memiliki kartu. Mengapa? Begini logikanya. Mereka sudah membayar iuran tiap bulan. Sakit atau tidak sakit mereka rutin membayar. Lalu, uang itu tidak kembali seperti layaknya asuransi. Namanya uang hilang atau uang gotong-royong. Bedakan dengan pasien yang tidak memiliki kartu BPJS, dia tidak membayar apapun tiap bulannya. Dia hanya membayar saat sakit saja. Mengapa rakyat yang telah mengeluarkan uang tiap bulan justru pelayanannya dikalahkan?

Ini tidak adil, kataku. Kenalan baruku itu seperti mendapat kesempatan untuk meledakkan marahnya. Sumpah serapahnya membanjir keluar, seperti yang ada di medsos.Sumpah serapah yang diarahkan kepada para pemimpin negeri ini.

“Kita ini seperti hidup jaman penjajahan mas. Semua serba mahal. Sekolah mahal. Barang-barang mahal. Tapi anehnya, hasil pertanian justru harganya murah. Padahal pupuknya mahal. Obat-obat pertanian mahal.Saat panen harganya tidak pasti, sering sekali harganya jatuh,” keluhnya nyerocos, menumpahkan kesalnya kepadaku, yang dinilainya kesempatan emas karena aku serius mendengarkannya.

“Beda sekali dibanding saya kecil dulu. Pada masa itu enak, barang-barang murah. Biaya sekolah murah. Hasil gabah bagus dan tetap, tidak naik turun. Dibeli KUD, jadi kita tidak usah bingung menjual ke tengkulak. Makanya mas, kalau saya baca tulisan dibelakang truck “Piye kabare? Enak jamanku to?? Dalam hati saya menjawab, ” Nggih mbah….!” ujarnya, sambil menerangkan tulisan dengan gambar Pak Harto yang sering dipajang oleh-sopir-sopir truck angkutan luar kota.

Mendengar penjelasan kenalan baruku ini, ingatanku kembali melayang ke masa-masa tahun 80-an. Pada masa itu banyak anak-anak petani sepertiku bisa kuliah, karena biaya kuliah terjangkau. Satu semester sebesar 120 ribu. Tidak merasa takut dengan biaya macam-macam lainnya, seperti saat ini.

“Saya tidak mungkin bisa menguliahkan anak saya mas. Biaya masuk sangat mahal. Belum lagi biaya SPP nya per semester. Ini untuk biaya perawatan isteri saya yang masih sakit, saya harus kerja serabutan. Sebenarnya saya ingin bisa menunggui dan merawat isteri, tapi di kampung tidak ada pekerjaan,” ungkapnya.

“Dirumah siapa yang nemani isteri,” tanyaku.

“Ada anak, masih sekolah SMA. Tiap bulan saya smepatkan pulang, kalau ada uang cukup.”

“Punya sawah atau kebun.”

“Ada, cuma kalau sawah hanya tadah hujan. Panen sekali kalau musim penghujan. Kalau kemarau tidak bisa bertanam.Sedang kebun hanya ditanami jagung, ketela, kacang, atau sayur-sayuran.”

“Memangnya dari hasil bertani tidak cukup untuk kebutuhan hidup?”

“Wah ya gak cukup mas. Nutup biayanyanya saja sudah untung-untungan. Untuk beli bibit, pupuk, dan obat, tidak bisa ditutupi dari hasil panen. Apalagi kalau kena hama, alamat gagal panen. Sebenarnya petani itu gak ada untungnya mas, kalau dihitung sebagai usaha. Bahan saat tanam banyak petani yang harus berhutang, nanti saat panen dibayar. “

“Lalu kenapa mereka msih saja bertani?”

“Gak ada pilihan mas. Bisanya cuma itu. Punya lahan kebanyakan juga dari warisan.”

Saya mendengarkan kisahnya dengan sepenuh hati. Saya benar-benar bisa memahami yang dia katakan, karena saya juga anak petani dulunya. Cuma bedanya, petani dulu bisa dibilang makmur. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarganya. Mereka bisa menyekolahkan anaknya dari hasil pertanian. Sekarang tidak lagi bisa.

Dalam diam aku menarik kesimpulan. Kehidupan bangsaku ini makin mundur. Para petani tidak makin sejahtera. Mereka tetap bertani karena tidak ada pilihan lain. Bangsaku ini sebenarnya sudah merdeka apa belum?

“Mas, kalau ada acara ke Yogya mampir.” katanya membuyarkan angan-anganku.

“Saya bulan depan mau ke Yogya, tapi sampeyan kan kerja di Jakarta?”

“Wah mampir mas, bulan depan saya pas pulang. Jenguk isteriku dan anakku. Saya mungkin agak lama dirumah. Karena saya ingin merawat isteriku yang masih sakit, hingga sembuh dulu baru kembali ke Jakarta.”

“OK, saya akan mampir kalau sampeyan dirumah. Sekalian saya mau lihat-lihat daerah Gunungkidul.”

“Desa Nglanggeran mas, harus lihat kalau kesana. Desa itu menjadi juara satu tingkat dunia sebagai desa wisata.”

“Ya saya tahu itu, dan saya memang mau kesana. Bukan untuk melihat keindahan wisatanya.”

“Lalu mau lihat apanya mas.”

“Saya mau lihat dari sudut potensi ekonominya. Mungkin desa wisata bisa menjadi pilihan alternatif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat disana, khususnya para petani yang tidak bisa berharap dari hasil pertaniannya. Kalau dibiarkan lama kelamaan tidak ada lagi orang yang mau bertani. Mereka harus didukung pendapatannya dari sektor lain, seperti desa wisata itu.”

“Para petani bisa mendapatkan hasil tambahan misalnya dengan menjadi pemandu bertanam secara organik yang bebas dari pupuk kimia. Petani bisa memperagakan cara membuat pupuk organik dari sampah-sampah daun, jerami, dan kotoran ternak. Petani bisa menghidangkan nasi yang diolah secara organik penuh. Semua pupuk organik. Obat pertanan organik. Hingga memasak menggunakan bumbu-bumbu dan rempah organik. Rasanya pasti beda,” jelasku, yang kali ini berhasil membuat Pardi, nama kenalanku dari Gunungkidul itu terpesona.

“Mas, itu bukan mimpi kan?”

“Bukan, itu bisa dikerjakan oleh para petani kita. Dan itu akan menarik wisatawan domestik dan manca negara, yang mulai menyukai proses yang dilakukan secara alami. Dari bahan-bahan alam yang dinegara kita tersedia melimpah.”

Aku lihat mata Pardi berbinar-binar. Namun tidak tahu pasti apa sebabnya. Tiba-tiba saja dia menjabat erat tanganku. Lama.

“Mas, kali ini aku mengundang sampeyan untuk datang ke desaku. Saya akan ajak keliling desa. Lalu saya minta saran bagaimana caranya membuat desa organik agar menarik wisatawan.”

“Desa Organik..” aku bergumam singkat.

“Ya mas Desa Organik seperti yang sampeyan terangakn tadi.”

“Aku rasanya tidak mengatakan Desa Organik.”

“Iya maksud saya, di desa itu semua kegiatan bertani dilakukan secara organik. Bibit diolah secara organi. Pupuk dibuat secara organik. Obat hama dibuat secara organik. Hingga makanan diolah menggunakan bumbu dan rempah yang semua organik. Jadi, tidak ada bumbu pabrik sama sekali.”

Pardi ini cerdas, pikirku. Dalam waktu singkat sudha bisa menangkap gagasanku yang sebenanrya belum matang. Tapi justru dia bisa menjelaskan dengan caranya, tapi mudah dicerna.

“Ya itu yang saya maksudkan,” jawabku yang membuat Pardi tersenyum.

“Ini mungkin jawaban dari Allah mas atas doaku. Karena aku ingin kembali ke kampung, bekerja disana, tapi tidak mungkin cukup dengan cara bertani seperti sebelumhya. Dan aku bisa merawat isteriku yang sedang sakit. Aku yakin dengan aku disampingnya tiap hari dia akan cepat sembuh,” kata Pardi benar-benar bersemangat.

Wajah Pardi berubah “sumringah” seperti bukan Pardi yang aku kenal dari tadi. Matanya bersinar berkilauan, dari bibirnya tersembul senyum bahagia. Orang yang memiliki harapan selalu berbahagia.

Setelah bertukar nomor telepon, aku berjanji kepada Pardi untuk mengunjungi desanya. Bulan depan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K