Oleh: Budi Puryanto
Sampai di kerajaan Patih langsung menghadap raja. Melaporkan tugas sudah selesai dilaksanakan. Raja nampak senang. Dipersilakan Patih untuk istirahat beberapa hari.
Ada yang menggelitik saat Patih menghadap raja. Rupanya sudah ada Permaisuri baru. Permasuri itu sedang hamil. Tapi yang lebih mengusik adalah sorot matanya, saat memandang sang patih. Sorot mata aneh. Penuh selidik. Itu sorot mata ketidak percayaan sekaligus kebencian.
Sebenarnya, sejak patih yang ditunjuk untuk melakukan eksekusi mati Permaisuri, selir raja yang kini sudah naik derajat menjadi Permaisuri itu tidak yakin. Karena Patih bukanlah orangnya. Dia lebih suka punggawa lain seperti Tumenggung yang diserahi tugas itu. Dia lebih yakin, karena sudah lama dalam binaannya.
Sementara Patih, dia termasuk punggawa yang belum bisa dipengaruhinya. Tapi Permaisuri Baru yakin, suatu saat Patih harus dalam kendalinya. Dengan posisi tinggi seperti Patih itu, amat berbahaya bila tidak masuk dalam jaringan konspirasinya, pikir Permaisuri Baru itu.
Bukti berupa kain berlumur darah, bagi sang Raja cukup meyakinkan. Tetapi tidak bagi sang Permasuri Baru. Karena itu diam-diam dia menugasi punggawa kepercayaannya untuk menyelidiki sang Patih. Dimana dia membunuh Permaisuri Lama. Bila perlu kepalanya yang sudah menjadi mayat pun diminta untuk diunjukkan kepadanya.
Tapi sebagai politisi senior Patih tidak mudah terkecoh. Dia tidak terpancing dengan iming-iming yang akan diberikan untuk membocorkan rahasia keberadaan Permaisuri Lama. Dia selalu mengatakan sang Permaisuri Lama sudah dia bunuh dan dikubur didalam hutan belantara.
Sang Permaisuri marah mendapat laporan para punggawa kepercayaannya itu. Tugas inteligen itu gagal. Hasil zonk. Permasuri Baru memutar otak, bagaimana caranya membuka mulut sang Patih. Karena hanya dia kuncinya.
Hingga suatu malam, Permisuri Baru nekad menemui sang patih di Kepatihan. Dia menyamar jadi seorang lelaki. Berpakaian layaknya prajurit keraton, lengkap dengan senjata. Sebenarnya jarak dari keraton ke kepatihan hanya butuh waktu tidak lama. Namun karena sedang menyamar, naik kuda seperti prajurit pada umumnya memang pilihan yang cerdas.
Tidak basa basi. Sang Permaisuri Baru itu langsung pada pokok tujuannya.
“Paman Patih, saya tahu paman tidak membunuh Permaisuri. Dimana paman meninggalkan mereka. Kenapa paman tidak menjalankan perintah raja,” tanya Permaisuri.
Mendapat pertanyaan demikian, membuat sang Patih sedikit kaget. Tapi dia itu politisi senior yang tentu saja tidak mudah digertak.
“Mohon ampun Permaisuri, perintah sudah saya jalankan, sesuai permintaan sang Raja. Tapi mohon maaf kami tidak bisa mengatakan dimana kuburnya. Biarkan Permaisuri tenang dialam sana,” jawab sang Patih.
“Baiklah paman Patih. Orang lain mungkin bisa dengan mudah kau bohongi. Tapi tidak denganku, paman. Kali ini paman boleh senang, tapi siasat kebohongan itu pasti akan terbongkar suatu saat nanti. Pasti, paman. Ingat itu,” ujar Permaisuri sambil menekan kata-katanya, seakan anak panah yang meluncur mengancam sang Patih. Di keheningan malam kata-kata itu terdengar semakin jelas, dan semakin berat menghantam dada Patih.
Setelah itu saling diam. Buntu. Dalam kebisuan itu, masing-masing saling membaca kondisi kejiwaan dan mental lawannya. Tidak berhasil menggertak, Permaisuri pamit pulang.
Sang Patih merasa lega. Tetapi muncul pikiran-pikiran aneh dari kepalanya. Insting politiknya menuntun dirinya pada kesimpulan: Permaisuri adalah orang yang sangat berbahaya bagi kerajaan. Ambisi politiknya kelewat besar. Tidak peduli aturan hukum. Yang penting ambisinya terpenuhi, bagaimanpun caranya harus ditempuh. Berapapun harganya akan dibayar.
“Masa depan kerajaan benar-benar dalam bahaya. Saya harus lebih waspada lagi. Sebab raja sudah dalam genggaman Permaisuri Baru. Kedudukanku sebagai Patih, sewaktu-waktu bisa digoyang. Saya bisa dilengserkan, kapan saja raja mau,” ujarnya dalam hati.
Sementara itu, dengan berjalannya waktu, dihutan sebelah selatan wilayah Jenggala, jauh dari kotaraja, Permaisuri Lama melahirkan seorang anak. Laki-laki. Diberi nama Cindelaras.
Ibunya tidak tahu pasti kenapa diberi nama Cindelaras. Tiba-tiba saja ada ilham dari Yang Maha Kuasa untuk memberi nama itu.
Cindelaras tumbuh normal sebagai layaknya anak-anak. Tetapi karena lahir dihutan, dia tidak memiliki teman anak sebayanya. Temannya para binatang. Burung, kera, kijang, macan, ular. Ya, seperti tarzan. Boleh jadi cerita tarzan itu meniru Cindelaras.
Suatu ketika Cindelaras bermain dengan ayam hutan. Dalam pembicaraan yang dimengerti oleh Cindelaras, ayam hutan itu akan punya anak jantan yang hebat. Indah warna bulunya, besar, kuat, dan tidak punya rasa takut dalam bertarung.
Menurut induk ayam hutan itu, doanya kepada Tuhan akan dikabulkan. Namun syaratnya, anak ayam itu tidak boleh diasuh sendiri olehnya. Harus diberikan kepada anak manusia yang memiliki jiwa kesatria, halus budi pekertinya, bagus akhlak, welas asih kepada sesama dan kepada semua makhluk. Anak dengan ciri-ciri seperti itulah yang bisa mengasuh anaknya dengan baik. Ciri-ciri itu ada pada Cindelaras.
Cindelaras bersedia mengasuh anaknya kelak setelah lahir, menetas dari bongkahan sebutir telur istimewa. Telur itu memang istimewa, ukurannya jauh lebih besar dari telur ayam. Dari kulitnya memancar cahaya putih, kuning, hijau, biru, berpendaran secara bergantian.
Cindelaras kecil sangat senang melihat wujud telur itu. Dia tersenyum sendiri, bahkan kadang-kadang berbicara dengan telur itu. Cindelaras mendengar anak ayam yang belum lahir itu melatunkan suara merdu: Subhanallah, Alhamdulilah, Allahu Akbar, Allahuma Sholi’ala Muhammad, Subhanallah Wabihamdihi Subhanallahil ‘adzim….
Induk ayam itu sangat senang melihat pemandangan aneh itu. Bagaimana anaknya yang belum lahir itu sudah bisa berbicara dengan Cindelaras. Yang aneh lagi, kemampuan Cindelaras, dia memiliki kemampuan berbicara dengan binatang. Tidak ada anak seusianya, bahkan orang dewasa pun, yang memiliki kemampuan itu. Dalam kisah kitab suci, hanya ada nabi Sulaiman yang bisa berbicara dengan binatang, jin, setan, dan angin.
Di tanah Jawa baru Cindelaras yang memiliki kemampuan aneh itu. Keturunan Cindelaras kelak ada yang mewarisi kemampuannya. Angleng Darmo, yang menjadi raja di Malowopati. Sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Bojonegoro.
Selang beberapa hari, telur itu menetas. Ayam jantan dengan bulu berwarna-warni indah. Kakinya kuat. Paruhnya besar. Matanya terang. Badannya besar, jauh lebih besar dari ayam pada umumnya.
Sesuai perjanjian dengan induknya, maka anak ayam itu langsung dibawa Cindelaras pulang.
Sejak punya peliharaan ayam, Cindelaras jarang bermain jauh. Dulu tiap hari bermain dihutan, bahkan tidak jarang, dengan berbagai alasan, dia tidak pulang.
Ibunya sangat senang dengan perubahan kebiasaan Cindelaras itu. Sampai suatu ketika, beberapa tahun berlalu, ayam jantan itu berbicara dengan Cindelaras, tentu saja ibunya tidak tahu. Didengar orang ayam jantan itu keluruk seperti biasanya. Tapi sebenarnya, di memberitahu Cindelaras, kalau dia adalah anak raja Jenggala. Seorang pangeran yang berhak menjadi raja kelak.
Cindelaras menanyakan hal itu kepada ibunya. Selama ini, saat ditanya bapaknya, selalu dijawab bapaknya menjadi prajurit di kerajaan negeri lain. Tidak tahu apakah sekarang masih hidup. Karena seorang prajurit, hidupnya untuk berperang. Melindungi negara. Melindungi rakyatnya.
Mendengar jawaban itu Cindelaras senang. Bapaknya seorang prajurit pasti hebat dengan senjatanya ditangan. Busur panah dipunggung. Menunggang kuda dengan cepat. Menerjang lawan-lawannya.
Semakin hari kerinduan kepada ayahnya semakin membuncah. Tidak bisa ditahan. Dadanya serasa hampir meledak. Apalagi mendengar ayahnya seorang raja di Jenggala. Raja besar di tanah Jawa.
“Sudah saatnya kamu mengetahui semua tentang dirimu, anakku. Kau memang anak seorang Raja. Raja Jengggala, itu ayahmu. Kau bahkan adalah seorang Pangeran Pati, calon pengganti sah ayahmu kelak. Karena ibumu ini adalah seorang permaisuri,” kata permaisuri dengan tenang dan berwibawa.
“Pergilah ke kota raja. Temui ayahmu. Doa restu ibu menyertaimu,” kata ibunya, sambil megelus-elus rambut Cindelaras dengan penuh kasih sayang.
Dengan senyum segar merekah dibibir ibunya, pagi itu Cindelaras berangkat ke kotaraja dengan membawa temannya, ayam jantan yang sudah lancur.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 1)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 2)
Lihat adu jago
Di wilayah kerajaan Jenggala waktu itu, dan juga diwilayah kerajaan lainnya, adu jago merupakan kebiasaan masyarakat. Bahkan sudah menjadi kebanggaan. Tradisi itu juga diiringi dengan taruhan. Biasanya uang, meskipun kadang juga barang, tergantung kesepakatan.
Dalam perjalanan menuju kotaraja itu, di suatu desa bernama Balitar, ada pertandingan adu jago. Ramai sekali orang yang menonton. Cindelaras tergoda juga untuk menonton pertandingan itu.
Sorak sorai ramai sekali saat ayam jago bertarung. Kubu kedua belah pihak yang bertanding saling berteriak memberi semangat ayam jagonya.
“Ayo, Kawung maju terus, kabruk…yaaa…”
“Jangan takut Wido, jangan mundur, sikat…sikat terus,,,”
“Maju, maju, maju…”
“Sikat, sikat, sikat…”
Cindelaras sangat menikmati adu jago itu. Karena selama ini dia belum pernah melihat pertandingan seperti ini.
Saat rehat pertarungan, ada orang mendekati Cindelaras. Mengatakan ayamnya sangat bagus. Apakah mau diadu. Tentu saja Cindelaras menolaknya. Karena ayamnya adalah sahabatnya, yang sudah seperti belahan jiwanya sendiri. Dia tidak mau menyakiti temannya.
Namun keanehan terjadi. Menjelang rehat selesai, sebelum pertandingan berikutnya dimulai, ayam Cindelaras melompat ke arena. Seperti layaknya ayam jago dia berkokok panjang dan merdu: kukuruyuuuuuk, kukuruyuuuuuk, kukuruyuuuuk….
Ayam itu mengitari arena, seperti menantang duel semua ayam jago yang ada disitu. Badannya yang besar, kakinya yang kokoh, paruhnya yang kuat dan bulunya yang indah berwarna-warna, mempesona sekalian penonton. Dalam sekejap suasana hening, Karena orang sibuk memperhatikan ayam jago yang sangat bagus itu.
Cindelaras diam saja, justru nampak sedikit senang, meskipun dia khawatir juga apa yang akan terjadi dengan ayam jagonya itu.
Setelah kluruk beberapa kali, seekor ayam jago tiba-tiba melompat ke arena. Tidak diketahui, ayam jago siapa. Orang-orang keburu bersorak gembira. Dua ayam itu berputar-putar sebentar, lalu dalam sekejap…braak… braak…braak, kedua ayam sudah terlibat pertarungn keras.
Ayam Cindelaras tidak hanya menghantam, tapi juga melompat keatas, kesamping. Sehingga lawannya kesulitan. Pada saat berikutnya, secepat kilat ayam Cindelaras mematuk, mencakar, dan menghantamkan kedua sayapnya kearah tubuh lawannya. Ayam jago merah itu jatuh berguling. Tapi sebentar kemudian bangkit lagi.
Sementara ayam Cindelaras tetap diam mengepakkan sayapnya, dengan tajam memandang lawannya yang sekarang sudah berdiri lagi didepannya.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 3)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 4)
Penonton histeris. Bersorak-sorak seperti kesurupan. Ayam Cindelaras menyedot perhatian penonton. Bukan saja keindahan tubuhnya, tapi cara bertarungnya sungguh berbeda dengan ayam jago biasanya. Berkali-kali lawannya terkecoh. Pukulannya tidak mengenai tubuh. Karena ayam Cindelaras menghindar. Adegan ini membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Dan itu berualang kali terjadi. Saat lawannya jengkel dengan ulahnya, ayam Cindelaras justru maju bertarung dengan gaya yang indah. Mengepakkan sayap lebar-lebar. Kepala maju kedepan. Mata melotot. Lalu saat lawannya terlena, dia melompat dengan cepat dan manyambar kepala lawannya.
Suara gegap gempita seketika senyap. Ayam jago merah itu jatuh tersungkur. Mati.
Adegan tersebut sangat cepat. Kesadaran penonton seperti terhipnotis. Dalam beberapa saat tidak ada yang bicara. Terkesima dengan pertarungan yang baru saja terjadi. Ayam yang baru saja mereka lihat itu sungguh menakjubkan.
Cindelaras maju menghampiri ayam jagonya. Mencoba melihat-lihat apakah ada luka ditubuhnya. Tapi tidak ada. Tidak ada goresan cakaran, atau gigitan paruh, ataupun terkena jalu.
Baru saja Cindelaras mau beranjak dari tempat arena, dia dicegah seseorang. Seorang bebotoh minta ayam jagonya diadu lagi. Ada lawan yang mau. Kali ini Cindelaras dijanjikan uang yang cukup banyak, bila jagonya menang. Bila jagonya kalah dia dibebaskan untuk pergi. Pilihan yang adil.
“Paman, saya mau tapi syaratnya, hanya sekali bertanding. Kalah atau menang, biarkan saya pergi. Jago saya sudah bertanding sekali. Cukup sekali lagi saja, Paman. Kasihan ayam jago saya,” jawab Cindelaras, yang membuat bebotoh itu puas dan senang.
Setelah diumumkan akan ada pertauranan lagi, segenap penonton bergembira. Kali ini mereka diminta benar-benar tertib. Duduk rapi. Tidak boleh melempar apapun ke arena. Tidak boleh ada taruhan liar. Karen taruhan sudah diatur bebotoh. Dua bebotoh besar sudah memasang taruhan.
Ayam milik Cindelaras, selanjutnya orang mengenal nama ayam itu Cindelaras. Sebagai ayam jago baru, harga taruhannya setengah. Satu banding dua. Ayam jago lawannya lebih diunggulkan. Karena sudah sering menang.
Ayam dengan bulu hitam bercampur merah itu badannya besar, sebanding dengan Cindelaras. Tapi kaki dan paruhnya lebih kuat dan kokoh Cindelaras. Kelebihannya lagi, Cindelaras kalau kluruk suaranya merdu dan temponya lama. “Kukuruyuuuuuuukkkkk……….”
Dua bebotoh sudah maju. Satu mengenalkan ayam jagonya bernama Werkudara. Satu lagi, memegang ayam jago bernama Cindelaras. Ayam jago itu punya seorang pemuda bernama Cindelaras. Dikenalkan namanya, Cindelaras menganggukkan badannya tanda menghormat kepada para penonton.
Pemuda yang ganteng, bersih kulitnya, wajahnya bercahaya, murah senyum, dan tenang. Pakaiannya sederhana tapi rapi. Celana hitam, baju lurik, memakai iket wulung di kepalanya.
Banyak orang mengagumi Cindelaras. Apalagi dia punya ayam jago yang hebat. Di arena ini hanya ayam jago yang hebat boleh bertanding. Jago-jago yang bertanding disini sudah memenangkan pertandingan berkali-kali ditempat lain. Uji tertinggi kehebatan ayam jago bila sudah bertanding di arena ini. Untuk wilayah Balitar, arena pertandingan ini yang paling dikenal.
Pertarungan ini agak berbeda. Yang bertaruh dibatasi hanya dua bebotoh besar. Yang lain tidak boleh ikut bertaruh. Cukup menonton saja. Sebenarnya banyak diprotes oleh petaruh-petaruh kecil. Namun mereka maklum. Ternyata ayam jago yang mati saat bertanding dengan Cindelaras, milik salah satu bebotoh ini. Kali ini dia pegang ayam jago Cindelaras. Dia tahu kehebatannya, setelah ayam jagonya mati dalam pertandingan. Makanya dia mantap bertaruh untuk Cindelaras.
Sebentar kemudian pertarurungan dimulai. Kedua ayam dilepas ke arena. Cindelaras berkokok keras. “Kukuruyuuuuuukkkk……” Suaranya merdu dan melengking panjang. Penonton terkesima. Seperti terkena sihir. Juga ayam jago lawannya, Werkudaraa.
Sejenak kemudian ayam jago bernama Werkudara itu berkokok menyahuti. Keras juga kokokannya, tapi tidak melengking. Juga kurang merdu. Tapi memang badannya besar, kakinya juga besar. Memiliki jalu yang panjang.
Setelah berjalan beberapa saat, pertarungan adu jago itu tetap berjalan imbang. Kedua jago saling menghantamkan sayapnya. Saling mencakar dan saling mematuk. Sorak sorai bersahutan. Semua mata tertuju pada dua jago yang sedang bertarung itu. Tak berkedip, seolah tak mau kehilangan momen, walau sekejap.
Pertarungan berjalan makin sengit. Kedua ayam jago tampaknya sama-sama kuat. Mereka saling memukul, menghantam, mencakar, mematuk, melompat, memutar. Belum ada tanda-tanda kalah atau menyerah.
Hingga saat itu tiba. Cindelaras melompat keatas, kedua kakinya menendang kepala lawannya. Bersamaan dengan itu kedua sayapnya memukul dada Werkudara dengan keras. Werkudara jatuh ke belakang. Terjerembab, terguling ke tanah. Lalu bangkit lagi. Tapi tidak menuju arena. Dia melompat keluar arena. Tanda dia menyerah. Tidak ingin menlanjutkan pertandingan. Aturan itu diketahui semua orang.
Orang bertepuk tangan panjang. Lalu berteriak-teriak. Entah siapa yang mulai, teriakan Cindelaras bertalu-talu. Cindelaras.., Cindelaras…, Cindelaras…, Cindelaras….
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api Diujung Agustus (Seri 19) – Pembersihan Internal Garuda Hitam
Api Diujung Agustus (Seri 18) – Bayangan di Balik Bayangan (Maya Main Ganda)
Api Diujung Agustus (Seri 16) – Serangan Besar Garuda Hitam
Api Diujung Agustus (Seri 15) – Misi Balasan Operasi Bayangan
Api Diujung Agustus (Seri 14) – Balas di Panggung Publik
Api Diujung Agustus (Seri 13) – Aksi Pertama: Operasi Bayangan
Api Diujung Agustus (Seri 12) – Operasi Bayangan
Api Diujung Agustus (Seri 11) – Bayangan Yang Kembali
Api Diujung Agustus (Seri 10) – Penyelamatan Misterius
Api Diujung Agustus (Seri 9) – Bukti Pamungkas
สล็อตแตกง่ายไม่มีขั้นต่ำNovember 11, 2024 at 5:23 pm
… [Trackback]
[…] Read More Info here on that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-2/ […]
แผ่นปูทางเท้าNovember 26, 2024 at 11:54 pm
… [Trackback]
[…] Read More here on that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-2/ […]
her responseDecember 2, 2024 at 6:39 pm
… [Trackback]
[…] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-2/ […]
Food RecipesDecember 28, 2024 at 3:58 am
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-2/ […]
cam chatJanuary 3, 2025 at 9:23 am
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-2/ […]
ฝาก 10 รับ 100January 4, 2025 at 9:50 am
… [Trackback]
[…] Here you can find 15848 more Information to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-2/ […]
cinemakickJanuary 4, 2025 at 9:46 pm
cinemakick
best camsFebruary 5, 2025 at 3:15 am
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-2/ […]