Deklarasi KITA lahir di Rumah Peneleh, tempat bersejarah pergerakan nasional. Para tokoh menyerukan darurat konstitusi, menolak Amandemen I–III, dan menuntut Sidang Istimewa MPR 2025 demi mengembalikan UUD 1945
JAKARTA – Jumat siang tepat pukul 14.00 WIB (5/9/2025) yang bertepatan dengan 12 Rabiulawal 1447, Rumah Peneleh Surabaya kembali menjadi saksi lahirnya sebuah peristiwa politik dan kebangsaan.
Di rumah bersejarah yang dulu menjadi tempat penggemblengan para tokoh pergerakan nasional itu, kini muncul suara lantang dari sekelompok tokoh yang menamakan diri Konsolidasi Indonesia Tegakkan Amanat 45 (KITA).
Suasana ruang utama Rumah Peneleh yang juga disebut menjadi Museum HOS Tjokroaminoto itu terasa khidmat. Dinding-dindingnya yang dipenuhi foto tokoh pergerakan nasional menjadi latar simbolis.
Puluhan orang berdiri melingkar; sebagian mengenakan peci hitam, batik, dan pakaian sederhana lainnya. Di barisan belakang, ada yang menunduk, sementara yang lain serius menatap ke depan. Beberapa hadirin mengangkat ponsel, mengabadikan momen yang dianggap bersejarah itu.
Di depan podium kayu, M. Afif Syairozi berdiri dengan mikrofon biru di tangan kiri. Ia membaca naskah deklarasi dengan suara mantap, sesekali bergetar, menekankan setiap kalimat. Hadirin menyimak dengan penuh perhatian, seolah menyerap tiap kata yang terucap.
Menolak Amandemen I–III: Kritik atas Jalan Reformasi
Isi deklarasi KITA mengawali dengan penegasan bahwa bangsa ini sedang berada dalam darurat konstitusi. Mereka menyatakan menolak keabsahan Amandemen I, II, dan III UUD 1945, yang dianggap menggeser kedaulatan rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD Proklamasi.
“Kami menolak keabsahan Amandemen I, II, dan III UUD NRI Tahun 1945,” ucap Afif, yang langsung disambut anggukan setuju dari hadirin.
Bagi KITA, amandemen tersebut tidak hanya cacat secara politik, tapi juga melahirkan konsekuensi pahit: resentralisasi kekuasaan, menguatnya oligarki, dan suburnya praktik korupsi.
Alif kembali melanjutkan, “Kami terpaksa menerima keabsahan Amandemen IV UUD 1945 sebagai hukum dasar negara. Namun sikap ini bukan tanda kelemahan, melainkan pilihan pahit demi keselamatan bangsa.”
Mendesak Dekrit Presiden dan Sidang Istimewa MPR
Deklarasi KITA tidak berhenti pada penolakan. Mereka juga menuntut Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden. Tujuannya jelas: membuka jalan bagi Sidang Istimewa MPR RI 2025 dengan agenda tunggal menetapkan kembali Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945 sebagai hukum dasar negara.
Butir ini mengacu langsung pada Aturan Tambahan Ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa enam bulan setelah MPR terbentuk, MPR wajib bersidang untuk menetapkan UUD. Amanat itu, menurut deklarasi, “belum pernah dilaksanakan,” sehingga pemenuhan kewajiban historis ini kini menjadi sangat mendesak.
Konstitusi Proklamasi dan Keselamatan Negara
“Keselamatan negara merupakan konstitusi tertinggi dalam sistem hukum nasional yang kini mengalami kegentingan memaksa,” tegas Alif, mengutip kalimat kunci dari naskah deklarasi.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa hukum dan tata negara bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk melindungi keselamatan bangsa. Ketika sistem hukum nasional dianggap mengalami “kegentingan yang memaksa,” maka penyelamatan konstitusi harus ditempuh, sekalipun lewat jalan luar biasa.
Hikmah 80 Tahun Merdeka
Deklarasi KITA juga menempatkan diri dalam arus besar sejarah. Tahun 2025, Indonesia genap 80 tahun merdeka. Para deklarator mengingatkan bahwa kemerdekaan tak akan pernah mencapai kejayaan selama pemerintahan berdiri di atas “reruntuhan sejarah kelam—pengingkaran atas perjuangan dan pengkhianatan terhadap saudara sebangsa.”
Mereka menutup pernyataan dengan kalimat keras yang bergema di ruangan: “Kembali sadar, atau terus, kita bubar.”
Para Penandatangan
Deklarasi ini ditandatangani oleh beragam tokoh: Trijono Harjono, Pandji Joyokusumo, Prihandoyo K, M. Afif Syairozi, Ciput Yuharno, Zainal Abidin Bilfaqih, M. Djamil, Afif Hasan, Tgk. Hasanudin Y. Adan, Tgk. Bob Iskandar, Madi Saputro, Syukri Fadoly, RD. Mahendra Uttunggadewa, dan Daniel Mohammad Rosyid.
Namun yang bisa hadir Trijono Harjono, Pandji Joyokusumo, Prihandoyo K, M. Afif Syairozi, Ciput Yuharno, Zainal Abidin Bilfaqih
EDITOR: REYNA
Related Posts

Viral, Lagi-Lagi Kepala Sekolah MAN 3 Kandangan, Komite dan Humas Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Kediri

FTA meminta penghentian seluruh proses kriminalisasi dan intimidasi terhadap 8 aktivis dan peneliti

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila

Jokowi Dan Polisi Potret Gagalnya Reformasi

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi

RRT Nyatakan Siap Hadapi Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Rasional dan Proporsional Dalam Menyikapi Zohran Mamdani

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana

Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah



No Responses