JAKARTA – Ajakan demo berjudul Aksi Bubarkan DPR pada 25 Agustus menjadi sorotan tajam, bukan perlawanannya, melainkan alasan di bawah permukaan: minimnya kejelasan siapa penyelenggara dan apa tuntutan konkret, mendorong ratusan ribu warganet serta elemen buruh dan mahasiswa angkat suara menolak.
Penolakan Terdepan dari KSPSI
Ketua Umum KSPSI, Mohammad Jumhur Hidayat, secara tegas menyatakan bahwa gerakan itu tidak jelas penanggung jawab dan isu perjuangannya, sehingga ia “melarang seluruh anggota dan keluarga besar KSPSI di Jabodetabek untuk turun ke jalan” pada 25 Agustus. Ia menilai gerakan semacam itu berpotensi anarkis dan menjadi “batu loncatan politik elit,” mengorbankan rakyat demi kepentingan pribadi.
Suara Mahasiswa: BEM SI Menolak Tegas
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan juga menepis keterlibatan. Koordinator Media Pasha Fazillah Afap menyatakan bahwa nama BEM SI disalahgunakan oleh penggagas aksi ini. “Kami tidak akan turun!” tegasnya. Mereka justru telah melakukan aksi sendiri pada 21 Agustus dengan agenda yang sudah jelas.
Aliansi Lain Juga Menghindar
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak bergabung pula. Organisasi ini telah menjadwalkan aksi sendiri pada 28 Agustus dengan tuntutan jelas, yakni penghapusan outsourcing dan penolakan upah murah. Ini menunjukkan bahwa gerakan buruh memiliki perencanaan tersendiri dan tidak terlibat dalam ajakan 25 Agustus.
Motif Terpendam dan Keresahan Publik
Banyak netizen bersuara bahwa aksi semacam ini bisa jadi alat politik, tipikal “jebakan massa,” atau tindakan provokatif untuk memecah belah. Beberapa komentar di media sosial bahkan menyindir bahwa gelombang demo tanpa target konkret bisa jadi “hibah” untuk melemahkan pemerintahan Presiden Prabowo.
“Dari awal gak jelas, banyak yang ikut karena misinformasi yang parah. Tuntutan salah kaprah,” ungkap salah satu warganet maksimal.
Reddit
“Mereka pengen mengecilkan gerakan dengan membuat ketakutan,” kritik warganet lainnya soal potensi penyusupan provokator.
Komentar-komentar ini mencerminkan kecemasan publik terhadap demonstrasi yang tampak lebih dini secara viral ketimbang secara struktural terorganisasi.
Tidak ada basis dukungan
Gelombang protes tanggal 25 Agustus tampaknya lebih menjadi bayangan gerakan daripada gerakan nyata yang terstruktur. Penolakan keras dari KSPSI, BEM SI, pihak buruh, dan netizen mengisyaratkan bahwa aksi ini tidak mendapat basis dukungan warga sipil.
Alih-alih memicu keadilan, demonstrasi tanpa tuan ini justru dipandang sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas sosial dan integritas politik. Aksi tersebut mencerminkan kurangnya tanggung jawab penyelenggara dan kehilangan tujuan yang jelas—menjadi ruang bagi politisasi massa, bukan manifestasi aspirasi rakyat.
Untuk demokrasi yang sehat, masyarakat perlu aksi yang jujur, terukur, dan bertanggung jawab—bukan sekadar ajakan massa yang viral
EDITOR: REYNA
Related Posts

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia



No Responses