Demokrasi Tanpa Oposisi?

Demokrasi Tanpa Oposisi?
Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta

Oleh: Muhammad Chirzin

 

Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos dan kratos. Demos berarti rakyat, dan kratos berarti kekuasaan mutlak. Secara harafiah, demokrasi adalah kekuasaan mutlak oleh rakyat.

Demokrasi adalah pemerintahan rakyat atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya. Bentuk pemerintahannya terletak pada kedaulatan rakyat secara menyeluruh, dan dijalankan secara langsung oleh rakyat, atau oleh pejabat yang dipilih oleh rakyat.

Demokrasi politik modern adalah sistem pemerintahan di mana penguasa mempertanggungjawabkan tindakannya kepada warga negara, bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil-wakil rakyat.

Pancasila menjadi prinsip dasar penerapan demokrasi di Indonesia. Sebagai salah satu negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem pemerintahannya, Indonesia menganut prinsip berikut.

Pertama, kerakyatan, bahwa demokrasi di negara ini mengikuti paham kedaulatan rakyat. Posisi tertinggi negara berada di tangan rakyat Indonesia, bersifat tunggal, dan tidak terbagi.

Kedua, hikmat kebijaksanaan, yaitu kedaulatan rakyat yang terikat oleh aturan berupa hikmat dan kebijaksanaan. Hikmat bermakna kehendak Tuhan YME, sementara kebijaksanaan adalah upaya manusia dalam mencari kebenaran. Perpaduan tersebut menjadi hukum yang diterapkan di Indonesia.

Ketiga, permusyawaratan, yakni pelaksanaan musyawarah atau tukar pikiran demi mencapai kesepakatan bersama. Musyawarah diharapkan dapat menuntun menuju kesatuan dari sekian pendapat yang beragam.

Keempat, perwakilan, bahwa pemerintahan Indonesia diselenggarakan dan diamanahkan kepada para wakil rakyat. Dengan prinsip perwakilan dalam demokrasi Indonesia, rakyat memiliki para wakil tersebut melalui pemilihan umum dalam rangka menyelenggarakan kehidupan bernegara.

Istilah oposisi terjemahan dari kata opposition. Kata itu berasal dari bahasa Latin oppōnere, yang berarti menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk, cara, dan alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada kepentingan pribadi atau kelompok.

Tanpa adanya oposisi, tidak akan ada check and balance dalam tata kelola pemerintahan. Pemerintah akan menjadi korup, otoriter, dan sewenang-wenang, dan demokrasi hanya akan jadi formalitas.

Peran utama oposisi adalah mempertanyakan pemerintah saat itu dan meminta pertanggungjawaban mereka kepada publik. Hal ini juga membantu memperbaiki kesalahan Partai Penguasa. Oposisi juga bertanggung jawab dalam menegakkan kepentingan terbaik rakyat negara tersebut.

Dalam sistem demokrasi, keberadaan oposisi dinilai sebagai elemen penting untuk menjaga keseimbangan dan akuntabilitas pemerintahan. Di Indonesia, peran oposisi mengalami pergeseran dari masa ke masa, seiring dengan dinamika politik dan konstelasi pemerintahan.

Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia menjadi oposisi di pemerintahan Orde Lama dalam sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Masyumi dan PSI menolak tegas usulan Demokrasi Terpimpin. Namun, peran oposisi meredup karena dimandulkan. Pasalnya, partai Masyumi dibubarkan oleh Sukarno, dan Sukarno dinilai sebagai rezim otoriter.

Di masa Orde Baru, hanya Partai Demokrasi Indonesia dan PPP yang menjadi oposisi Golkar. PDI menghadapi tantangan besar dalam melawan Golkar yang memiliki dukungan yang lebih kuat dari pemerintah dan militer. Perjuangan PDI dalam setiap pemilu mencerminkan semangat ketidakpuasan dan aspirasi oposisi terhadap dominasi Golkar.

Di sisi lain, PPP, yang merupakan aliansi partai-partai Islam di Indonesia, juga menghadapi kesulitan dalam meraih kemenangan. Meskipun memiliki basis dukungan yang kuat dari komunitas Islam, PPP harus berjuang untuk mengatasi pengaruh besar yang dimiliki oleh Golkar, terutama dalam konteks politik yang diatur secara ketat oleh rezim Orde Baru.

Setelah kalah dalam Pileg dan Pilpres pada 2004, Megawati mendeklarasikan partainya sebagai pihak oposisi. Dia melarang kadernya duduk dalam kabinet presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK).

Sebagai landasan, PDIP mengadopsi Format Oposisi yang berisi dasar dan orientasi kebijakan, bahwa oposisi dilakukan terhadap kinerja pemerintah berupa kritik terhadap hal-hal yang merugikan kepentingan rakyat.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) konsisten menjadi oposisi sepanjang 15 tahun ke belakang. Menurut Fraksi PKS di DPR, posisi politik tersebut akan membuat partainya lebih terhormat pada saat memberikan masukan permasalahan kebangsaan kepada pemerintah.

Pada 2009-2019 Gerindra menjadi salah satu partai oposisi paling pedas kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi. Dari kritik soal kebijakan pangan, tarif listrik, hutang negara dan masih banyak lagi. Namun setelah pilpres 2019, saat Prabowo masuk kabinet, Gerindra cenderung tak lagi jadi oposisi. Saat itu Gerindra mendapat jatah 2 menteri di cabinet Jokowi.

TEMPO.CO, Jakarta melaporkan, Filsuf-rohaniwan Franz Magnis Suseno mengingatkan pentingnya partai oposisi untuk kemaslahatan demokrasi. Ia khawatir, jika pemerintahan saat ini didukung oleh hampir semua partai, maka lembaga eksekutif dapat berbuat seenaknya.

Menurut Romo Magnis, demokrasi tanpa partai kiri [oposisi] sebetulnya enggak masuk akal. Ia mewanti agar partai-partai tidak mau dibeli oleh pemerintah. Meskipun ia juga tak menampik bahwa pemerintah memerlukan dukungan tersebut.

Pada prinsipnya, dukungan dari partai tersebut tak menjadi masalah, namun, ia khawatir jika terjadi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Praktis masing-masing partai mendapatkan sesuatu yang menjanjikan atau dapat tempat tersendiri, entah kementerian, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain.

Romo Magnis juga khawatir terjadi perubahan dari prinsip rule of law menjadi rule by law. Dalam pengertiannya, rule by law memandang bahwa pemerintah berada di atas hukum itu sendiri, sehingga mereka dapat semena-mena. Dampaknya, suara-suara dari masyarakat tidak lagi didengar, padahal partai-partai itu bertugas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika kondisi itu terus dilakukan, maka demokrasi di Indonesia akan habis. Praktik KKN terus merajalela, dan eksekutif bisa berbuat apa saja.

Sementara TEMPO.CO, Jakarta – Kamis, 20 Juni 2024, melaporkan, Guru besar antropologi hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengatakan situasi hukum di Indonesia saat ini tidak lebih baik dibanding tahun-tahun kemarin. Ia menyebut penguasa menggunakan hukum sebagai senjata politik.

Diam-diam mereka menggunakan otoritas sebagai lembaga tinggi negara untuk mendefinisikan kekuasaan, kepentingan para elite penguasa, kata Sulistyowati dalam diskusi publik yang digelar Nurcholis Madjid Society bertajuk Hukum sebagai Senjata Politik pada Rabu, 19 Juni 2024.

Sulistyowati menyoroti kinerja Dewan Perwakilan Rakyat yang banyak merevisi Undang-Undang (UU) tanpa urgensi yang jelas. Alih-alih memberi manfaat, UU itu justru potensial melemahkan demokrasi. Misalnya, revisi UU Penyiaran, revisi UU TNI dan Polri, dan sebagainya.

Ia juga menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) yang keputusannya kerap menuai kontroversi. MK pernah mengeluarkan putusan tentang batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden yang menguntungkan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam pemilihan presiden 2024.

Sedangkan MA, mengabulkan permohonan uji materiil dari Partai Garuda mengenai batas usia calon kepala daerah pada Rabu, 29 Mei 2024. Putusan itu membuka jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep untuk maju dalam pemilihan kepala daerah 2024. Para hakim tersebut meletakkan eksistensi hukum hanya dari teks-teks, per pasal-pasal, dan dilepaskan dari substansinya. Mereka kurang memperhatikan dampak dan keadilan dari hukum itu sendiri.

Akankah rezim Prabowo Subianto menjadi lebih demokratis dibandingkan dengan rezim Jokowi, ataukah sebaliknya?

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K