Dendeng dan Dendang Ramadhan

Dendeng dan Dendang Ramadhan

Oleh: Andrian MK

Ramadhan adalah jalan sunyi yang riuh. Ia menuntut manusia mengosongkan diri, namun di saat yang sama, ia penuh dengan suara—lantunan ayat-ayat suci, bisikan doa menata niat, harapan berkah saat berbuka, kesempurnaan iman sebelum witir, di sepertiga malam merajut syahdu, semua tersaji dalam dendang syukur yang menggetarkan jiwa.

Di sebuah dapur kecil, seorang lelaki tua mengiris daging tipis-tipis. Tangannya yang bergetar tetap cekatan meracik bumbu, merendamnya dalam kecap dan rempah-rempah. Ia tahu, dendeng bukan sekadar makanan, tetapi tanda bahwa sesuatu yang dikeringkan tetap bisa bertahan. “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya,” kata Al-Junaid. Seperti daging yang dikeringkan agar tak membusuk, nafs manusia harus dikendalikan agar tak membinasakan.

Di halaman masjid, anak-anak muda duduk melingkar, menabuh rebana dengan irama yang teratur. Mereka berdendang, melantunkan puji-pujian kepada Sang Maha Cahaya. Suara mereka naik ke langit bersama desir angin senja. “Musik adalah hembusan nafas ilahi dalam seruling makhluk,” kata Rumi. Nada-nada itu bukan sekadar suara, melainkan gema cinta yang mengajak ruh kembali pada asalnya.

Dendeng dan dendang—satu mengajarkan zuhud tepis rasa serakah, satu mengajarkan mahabbah singkirkan pongah. Dendeng adalah simbol perjalanan panjang manusia dalam menahan diri, sebagaimana Socrates berkata, “Kenalilah dirimu sendiri.” Manusia harus mengeringkan syahwat duniawinya agar jiwanya tetap hidup. Sementara dendang adalah panggilan rindu, mengingatkan bahwa kita tidak diciptakan untuk diam, melainkan untuk bergerak menuju-Nya.

Saat azan magrib berkumandang, lelaki tua itu tersenyum. Dendeng telah matang, anak-anak masih mendendangkan pujian. Antara lapar yang terpuaskan dan hati yang terus bernyanyi, Ramadhan mengajarkan satu hal: manusia hanyalah perantau. “Dunia ini hanyalah bayangan yang akan sirna,” ujar Ibnu Arabi. Kita mengeringkan raga agar ruh tetap hidup, kita berdendang agar perjalanan ini tak sepi.

Sebab Ramadhan bukan tentang menahan, tapi tentang menemukan.

Dalam pendekatan sufistik, hidup bukan sekadar menahan diri dari godaan duniawi, tetapi lebih dalam dari itu—ia adalah perjalanan menemukan hakikat diri dan Tuhan.

Menahan diri (zuhud) memang penting, karena dunia sering kali menjebak manusia dalam kesenangan yang fana. Namun, zuhud bukan berarti sekadar menghindari, melainkan mengolah dunia agar tidak menguasai hati. Seperti kata Rabiah Al-Adawiyah, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka atau mengharap surga, tetapi karena aku mencintai-Mu.”

Ramadhan mengajarkan manusia menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, tetapi jika hanya berhenti di situ, maka ia hanya latihan fisik. Sufisme mengajarkan bahwa puasa sejati adalah mengosongkan diri dari segala yang bukan Tuhan.

Dalam ajaran tasawuf, puasa memiliki tingkatan sesuai dengan kedalaman spiritual seseorang. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi puasa ke dalam tiga tingkatan:

1. Puasa Awam (Shaum al-‘Umum)

Ini adalah puasa yang dijalankan oleh kebanyakan orang. Mereka hanya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara fisik: makan, minum, dan hubungan suami istri sejak fajar hingga magrib.

Namun, puasa ini masih bersifat lahiriah. Hati dan anggota tubuh masih bisa terjerumus dalam dosa, seperti berkata dusta, marah, atau memikirkan hal-hal buruk. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah)

Mereka yang berpuasa di level ini belum menyadari makna spiritual puasa yang lebih dalam.

2. Puasa Khawas (Shaum al-Khawash)

Ini adalah puasa orang-orang khusus yang tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjaga anggota tubuh dari dosa.

Mereka menjaga:

Mata dari melihat hal yang haram

Lisan dari dusta, ghibah, dan ucapan sia-sia

Telinga dari mendengar keburukan

Tangan dan kaki dari perbuatan maksiat

Hati dari pikiran buruk dan prasangka negatif

Orang di level ini berpuasa dengan kesadaran bahwa puasa adalah perjalanan ruhani, bukan sekadar menahan diri dari hal-hal fisik.

Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

Puasa ini mendekatkan seseorang kepada hakikat taqwa, sebagaimana tujuan utama puasa dalam QS. Al-Baqarah: 183:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

3. Puasa Khawashul-Khawash (Shaum Khawash al-Khawash)

Ini adalah puasa para wali dan arif billah, yang tidak hanya menahan diri secara fisik dan menjaga anggota tubuh dari maksiat, tetapi juga menjaga hati dari segala sesuatu selain Allah.

Puasa mereka adalah puasa hati—mereka menahan diri dari kecenderungan duniawi dan hanya fokus kepada Allah. Mereka mencapai maqam fana’ (melebur dalam ketuhanan) dan baqa’ (kekal dalam cinta-Nya).

Seorang sufi berkata:
“Puasa yang sejati adalah menahan hati dari selain Allah.”

Puasa di tingkat ini membuat seseorang:

Tidak tergoda oleh dunia

Tidak menginginkan pahala dunia atau surga, hanya mengharapkan rida Allah

Memandang segala sesuatu sebagai manifestasi dari Allah

Hidup dalam keadaan musyahadah (penyaksian langsung terhadap kehadiran Ilahi)

Rabiah Al-Adawiyah berkata:
“Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka atau berharap surga, tetapi karena aku mencintai-Mu.”

Orang-orang di tingkat ini telah mencapai hakikat puasa yang sesungguhnya: mengosongkan diri sepenuhnya dari dunia dan hanya berorientasi kepada Allah.

Puasa tertinggi bukan hanya menahan, tapi menemukan—menemukan kesadaran bahwa manusia hanyalah bayangan, dan hanya Tuhan yang hakiki. Ibnu Arabi berkata, “Segala sesuatu selain Allah adalah ilusi.”

Dendeng dalam cerita tadi adalah simbol fana—daging yang dikeringkan agar bertahan lama, sebagaimana manusia harus mengeringkan ego dan nafsunya untuk bertahan di jalan spiritual. Dendang adalah baqa—suara yang tetap hidup, seperti ruh yang terus bernyanyi mencari Tuhannya.

Maka, hidup bukan sekadar menahan godaan, tetapi menemukan makna. Seperti air yang tak sekadar menghindari api, tetapi mengalir mencari samudra. Seperti gelombang yang tidak sekadar menahan badai, tetapi menemukan pelabuhan. Rumi berkata, “Jangan puas dengan cerita yang datang dari orang lain. Buat kisahmu sendiri.”

Begitulah Ramadhan—bukan hanya tentang lapar yang tertahan, tetapi tentang hati yang menemukan cahaya.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K