Oleh: Muhammad Chirzin
Babak baru perjalanan Jokowi. Pada suatu hari Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tiba-tiba memperoleh pesan dari langit untuk menasihati Jokowi. Ustadz Abu pun segera menghibungi pihak Jokowi apa bisa bersilaturahmi dan kapan.
Berbekal tanggapan positif dari tim manajemen Jokowi Ustadz Abu segera meluncur ke kediaman Jokowi dengan mobil hitam. Setiba di sana beliau disambut Jokowi dengan jabat tangan dan cium tangan.
Abu Bakar Ba’asyir: “Assalamu’alaikum, Pak Joko Widodo, semoga sehat wal afiat. Alhamdulillah dan terima kasih atas kesempatan untuk bersilaturahmi kepada Bapak hari ini.”
Joko Widodo, “Wa’alaikumussalam, Ustadz Abubakar Ba’asyir, alhamdulillah, terima kasih atas kerawuhannya. Seharusnya saya yang sowan ke Ngruki.”
ABB: “Alhamdulillah, tidak masalah, saya yang luang dapat mengunjungi Bapak.”
Jokowi: “Mari, mari Pak Kiai.”
ABB: “Pak Jokowi, bolehkah saya mengajak salah seorang Ustadz untuk menemani? Maklum, orang sudah tua, barangkali, pendengaran saya sudah berkurang, atau kata-kata kurang tepat, dia dapat membantu saya.”
Jokowi: “Oh, silakan Pak Kiai, sepuluh orang juga boleh. Silakan, dicicipi hidangan ala kadarnya.”
ABB: “Oh, terima kasih Pak Jokowi, ketepatan hari ini saya berpuasa.”
ABB: “… … …”
Jokowi: “… … …”
Duapuluh menit kemudian Ustadz Abu Bakar Ba’asyir undur diri, diantar oleh Jokowi sampai di pintu gerbang. Sejumlah wartawan sudah berjubel, sangat penasaran ingin segera meliput percakapan mereka.
ABB: “Sebagai muslim saya berkewajiban untuk mengingatkan sesama muslim, juga kepada orang yang tidak beriman. Kepada Pak Jokowi saya berpesan, bila apa yang dikatakan orang-orang tentang Bapak tidak benar, maka bersabarlah. Tapi, bila apa yang mereka katakan benar, termasuk korupsi, maka bertobatlah, dan kembalikanlah kepada Negara.”
Jokowi: “ya…ya…ya… terima kasih atas nasihat Pak Kiai. Sugeng kondur ke Pondok Ngruki…”
Mendengar berita kunjungan Ustadz Abu ke rumah Jokowi, sontak Ustadz Ahmad Khozinuddin, aktivis pengemban dakwah, menulis tadzkirah untuk Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, terkait kunjungannya ke Jokowi.
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.”
(HR. Muslim)
Dalam perspektif fiqh, kunjungan Ust Abu Bakar Ba’asyir (Ust ABB) ke rumah Jokowi hukumnya mubah saja. Bahkan, bisa terkategori sunnah, dalam konteks memberikan nasihat kepada ‘sesama saudara’ muslim.
Namun, dalam konteks amar ma’ruf nahi mungkar, mendatangi orang yang berbuat zalim, membubarkan ormas Islam (HTI & FPI), mengkriminalisasi aktivis dan ulama (Ust Farid Okbah, dkk), membuat bangsa terbelah (cebong- kampret), menumpuk utang yang membebani APBN dan rakyat (hingga 8000 T), menyuburkan korupsi di Indonesia, kunjungan Ust ABB ke rumah Jokowi bisa diartikan perbuatan syubhat, makruh, bahkan haram. Karena seruan mencegah kemungkaran, harus didahulukan ketimbang menyeru yang ma’ruf.
Kaidah fiqh menyatakan: “Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” – “menghilangkan mafsadat (kerusakan) itu lebih didahulukan daripada mengambil maslahat (manfaat)”.
Menghilangkan kerusakan akibat kezaliman Jokowi, kebohongan dan pengaruh Jokowi dalam lingkaran kekuasaan, harus diutamakan ketimbang mencari maslahat memberi nasjhat, dengan harapan Jokowi akan menerima dan melaksanakan nasihat kebajikan.
Apalagi, kita juga perlu bertanya: apa masih berguna, nasihat bagi seorang Jokowi? Terhadap pembantaian KM 50 saja, Jokowi bungkam dan pasang badan. Belum lagi tragedi Kanjuruhan, Tragedi KPPS, dll.
Karena itu, dalam perspektif politik kunjungan seperti ini malah memberikan legitimasi pada orang yang berbuat zalim, yang kunjungan itu dapat dieksploitasi untuk melegitimasi dukungan politik untuk Jokowi.
Posisi Jokowi, saat ini seperti memegang buah simalakama. Kasus dilanjutkan, takut ijazah palsu terbongkar di pengadilan. Mau mencabut laporan, malu dan jatuh reputasi politik. Padahal, sejak awal kubu Jokowi membangun narasi agar kubu Roy Suryo dkk meminta maaf dan berdamai, sehingga ada sandaran legitimasi untuk mencabut laporan di Polda Metro Jaya yang dilakukan 30 April 2025 lalu.
Pertemuan ini pasti akan ditafsirkan sebagai pengkhianatan pada perjuangan. Karena bertemu dengan Jokowi, berarti berkhianat pada perjuangan membongkar ijasah palsu.
Dalam konteks itulah, penulis memberikan tadzkirah/nasihat kepada Ust ABB untuk tidak kembali menemui Jokowi. Juga tokoh dan ulama lainnya, untuk tidak mengunjungi Jokowi.
Wartawan senior, Edy Mulyadi pun menulis, “Ustadz Abu dan Jokowi: Tulusnya Ulama dan Liciknya Geng Solo.”
Kabar pertemuan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dengan Presiden Joko Widodo di kediaman Jokowi di Solo sontak menyita atensi publik.
ABB menjelaskan, dia hanya menunaikan kewajiban menasihati pemimpin agar kembali pada hukum Allah. “Orang Islam itu menasihati, rakyat, pemimpin, bahkan orang kafir. Saya hanya menyampaikan agar negeri ini kembali diatur dengan hukum Islam.” Pesan sederhana, namun sarat makna.
Pertemuan ustadz Abu dengan Jokowi bisa saja dijadikan “bridging”—sebuah legitimasi simbolik. “Kalau ustadz ABB saja bertemu, kenapa saya tidak?”
Dalam politik simbol lebih dahsyat ketimbang substansi. Sekalipun ABB menegaskan hanya memberi nasihat, framing yang dibangun Jokowi dan Geng Solo-nya adalah sebaliknya: Jokowi masih dihormati, bahkan oleh ulama garis keras sekalipun. Ini bisa dipakai menutup cacat legitimasi, sekaligus meredam oposisi.
ABB tentu tulus. Tapi politik tidak mengenal ketulusan. Ia hanya mengenal narasi, persepsi, dan kepentingan. Maka tak heran, aktivis Islam seperti Ahmad Khozinudin segera memberi tadzkirah atawa nasihat.
Jokowi bersama Sri Mulyani membuat utang menggunung, pajak mencekik.
Jokowi juga mengobral SDA kepada oligarki asing dan aseng, menggelar karpet merah bagi oligarki merampasi tanah.
Di titik ini umat harus waspada. Islam mengajarkan nasihat kepada penguasa, benar. Tapi juga melarang memberi celah bagi kebatilan untuk berlindung di balik nama ulama.
Umat harus memandang pertemuan ini dengan kacamata jernih. Hormati ketulusan ABB. Tapi jangan terjebak pada narasi Geng Solo dan gerombolannya.
Tadzkirah yang disampaikan Ahmad Khozinudin menjadi pengingat penting: jangan sampai ulama, dengan niat suci sekalipun, justru dijadikan tameng penguasa.
Umat harus berdiri tegak di jalan kebenaran. Jika ulama memberi nasihat, umat wajib memastikan nasihat itu tidak dikooptasi rezim. Sebab, nasihat sejati adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bukan memberi oksigen kepada bekas penguasa zalim yang sekarat.
Beberapa berikutnya beredar info bahwa Jokowi menemui Prabowo di Kertanegara selama dua jam. Publik meragukan foto Prabowo yang sedang bercakap-cakap dengan Jokowi, karena rambut Jokowi tampak hitam dan tertata rapih dengan raut wajah yang bersih.
Setelah dicek, di beberapa kanal berita, tampaknya valid pertemuan itu benar terjadi.
Bisa jadi Jokowi cemas, takut dibui, karena ijazah yang dijadikan dasar untuk syarat Nyapres itu sudah diserahkan KPU kepada Roy Suryo dkk. Apakah Presiden Prabowo akan melindungi? Pertaruhan yang sangat besar dan sangat berisiko jika itu dilakukan Prabowo. Sebagai politisi Jokowi memang licin seperti belut.
Sebagian netizen berkomentar, bisa jadi Jokowi benar-benar menemui Presiden Prabowo setelah dinasihati oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Jokowi: “Assalamu’alaikum, Pak Presiden Prabowo Subianto, moga sehat wal afiat.”
Prabowo: “Wa’alaikumussalam, alhamdulillah, Bapak Presiden Joko Widodo. Mohon maaf, lama tidak berjumpa.”
Jokowi: “Yaa… tidak mengapa, saya maklum, Pak Prabowo baru saja melawat ke beberapa negara, termasuk menyampaikan pidato dalam forum sidang PBB. Begini… kemarin Ustadz Abu Bakar Ba’asyir datang ke rumah, menasihati saya agar ikut berjuang dalam Islam, sabar menghadapi segala ucapan rakyat, dan bila ucapan mereka benar, saya harus bertobat, dan mengembalikan hasil korupsi.”
Prabowo: “Benar nasihat Ustadz Abu Bakar Ba’asyir itu. Mohon Bapak Jokowi berkenan mempertimbangkan sungguh-sungguhdan melaksanakan apa yang baik dari nasihatnya, insyaallah Bapak selamat di dunia dan akhirat.”
EDITOR: REYNA
Related Posts

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia



No Responses