JAKARTA — Penanganan unjuk-rasa dan perlawanan publik di Indonesia telah memasuki bab baru: bukan lagi melalui kekuatan fisik semata, melainkan lewat “perang digital” yang jauh lebih sistematis dan terselubung. Artikel dari Modern Diplomacy men-yorot bagaimana aparat keamanan dan pemerintah telah mengembangkan strategi baru: penggunaan konten palsu (deepfake), buzzer politik, defleksi narasi melalui media sosial, dan pengaturan platform.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah video deepfake yang menampilkan Sri Mulyani Indrawati seolah-olah menyatakan bahwa “guru adalah beban negara”, yang tersebar luas beberapa hari sebelum demonstrasi besar. Meskipun kemudian terbukti hoaks, kerusakan reputasi dan gesekan sosial yang muncul tidak dapat diabaikan.
Modern Diplomacy
Elemen utama strategi digital counter-revolution
Penggunaan buzzer berbayar untuk menyebarkan narasi pro-pemerintah atau mendiskreditkan lawan di platform seperti TikTok dan X.
Platform tekanan (platform pressure): pemerintah mendorong platform agar cepat menghapus konten “meresahkan”, atau menghadapi sanksi administratif.
Pengalihan isu: ketika satu topik meledak, digantikan dengan “skandal” yang lebih ringan namun menutupi akar persoalan, sehingga protes publik tidak mengeras.
Kenapa hal ini viral
Analisis ini dibagikan luas karena banyak netizen merasa “dimainkan” oleh narasi yang tidak transparan.
Konsep “digital counter-revolution” menjadi istilah kunci dalam diskusi di komunitas daring dan media berita analitik.
Dampak & refleksi
Untuk masyarakat umum: menjadi penting untuk meningkatkan literasi digital — bukan hanya mengenali hoaks, tetapi memahami bagaimana narasi terbentuk.
Bagi pengamat politik: ini menunjukkan transformasi taktik otoritas — dari “tembak, tahan” ke “konten, algoritma, ruang siber”.
Bagi platform teknologi: tantangan besar dalam menjaga netralitas, kebebasan berbicara, dan sekaligus keamanan nasional.
Catatan penting
Strategi ini memiliki sisi gelap: bisa mengekang kritik sah, memperkuat kontrol pusat tanpa transparansi.
Tapi ada peluang: masyarakat yang sadar digital bisa membalikkan arah — dari korban narasi menjadi partisipan kritis.
Kesimpulan
Digital counter-revolution di Indonesia menampilkan bahwa di era media sosial, konfrontasi bukan hanya di jalanan — tetapi di feed news, komentar, algoritma. Bagi generasi muda dan pengguna aktif platform, ini menjadi wake-up call: jika kita tak paham aturan ruang digital, maka narasi akan melaju tanpa kita tahu (Sumber: Modern Diplomacy — 7 September 2025 )
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pertalite Brebet di Jawa Timur: Krisis Kepercayaan, Bukan Sekadar Masalah Mesin

Ini 13 Ucapan Kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa: Dari Bogor ke Kursi Keuangan — Jejak Seorang Insinyur yang Menjadi Ekonom Kontroversial

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Otonomi Yang Melayani : Menanggapi Cak Isa Anshori dengan Kacamata Tata Kelola Islam

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional

Patrick Kluivert Dihentikan Setelah 9 Bulan — Apa Yang Salah?

Sentimen Pasar Bangkit, Tapi Bayang-Bayang Inflasi Masih Menghantui



No Responses