Eskalasi Unjuk Rasa : Dilema POLRI

Eskalasi Unjuk Rasa : Dilema POLRI
FOTO: Sebuah wisma yang dikelola oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dibakar dalam sebuah aksi protes di Bandung pada Jumat malam.

Oleh: Agus Wahid
Penulis: Analis politik

Di luar dugaan. Itulah unjuk rasa mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat pada 25 – 28 Agustus, bahkan lebih dari itu. Bagaimana tidak? Unjuk rasa tidak hanya terpusat di arena Gedung DPR-DPD-MPR, tapi juga di berbagai daerah. Kualitas unjuk rasanya pun sudah mengarah anarkis: kerusuhan. Jumlah pengunjuk rasa pun kian meningkat banyak. Daya tahannya dalam berujuk rasa pun lebih lama. Hal ini membuat brikade pertahanan jebol, bahkan kocar-kacir. Posisi berubah: lapisan pengunjuk rasa seperti menguasai medan. Tak sedikit dari satuan keamanan dikejar massa.

Sebuah renungan, apakah unjuk rasa yang sudah demikian anarkis itu murni memperjuangkan moral dan karenanya masih tergolong murni? Atau, apakah memang telah terjadi pergeseran karena munculnya penumpang gelap yang memang mengarah ke tindakan makar?

Jika kita analisis secara komparatif sejumlah panorama unjuk rasa beberapa hari lalu dengan jauh sebelumnya terlihat indikasi kuat: tidak murni lagi perjuangan moral itu. Pada tanggal 25 Agustus masih terlihat murni. Baju almamater kampusnya masih dikenakan para pengunjuk rasa. Dari elemen buruh pun – pada tanggal 26 itu – masih terlihat jelas anasir perserikatan buruhnya.

Tapi, pada 27 dan 28 bahkan sampai 30 Agustus sudah menampak beda wajah-wajah pengunjuk rasa itu. Tindakannya pun tidak lagi orasi seperti yang biasa dilakukan kalangan mahasiswa dan buruh. Tapi, sudah mengarah pada tindakan pengrusakan. Tindakan anarkisnya pun mulai menyasar ke fasilitas-fasilitas umum seperti koridor busway. Sarana publik dibakari. Bahkan, sejumlah gedung DPR seperti di Tegal, Makasar dan Bandung dibakar. Institusi kepolisian – antara lain Mako Brimob Senen – Jakarta juga menjadi sasaran amuk massa, yang tampilannya bukan lagi wajah-wajah terpelajar.

Di sisi lain, kecendengan durasi unjuk rasa selama ini maksimal bertahan dua hari. Itu pun ada jeda. Demo dari siang dan berhenti pada kisaran jam 20:00. Besoknya juga demikian. Tapi, untuk unjuk rasa kemarin berlangsung beberapa hari. Ada daya tahan yang ekstra. Hal ini mengundang tanya. Benarkah ada suntikan dana dari pihak tertentu?

Spekulasi pun berkembang. Catatan intelejen mempertegas adanya pihak internal istana yang kolaborasi dengan pihak eksternal istana yang mengambil kesempatan dalam air keruh itu. Bahkan, kolaborasi itu sudah dirancang sebelumnya. Catatan ini dapat dibaca dengan mudah. Pertama, dalam lingkaran internasl istana terdapat Gibran dan Geng Solo yang masih bercokol di kabinet. Sebagian Geng Solo itu sendiri pun eksis di luar Istana. Barisan “brutus” ini sudah menunjukkan keridaksabarannya untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Prabowo. Sebuah kegtidak-sabaran yang sudah lama tercium.

Dalam kaitan itu kita saksikan gerakan kader PSI berperan aktif untuk membangun narasi perlawanan sekaligus ketidakpercayaan kepada Prabowo. “Kalau sudah tidak mampu, baiknya mundur”, tulis buzzernya dalam #hastag yang diviralkan secara massif. Poros istana (Gibran)-Jokowi (Solo)-PSI menjadi tiga kekuatan mobilisator yang kuat. Dengan tingkat kemiskinan yang masih menggelayuti masyarakat, mereka dengan mudah disiram dengan recehan dan sembako dan tunduk untuk melakukan titah The God Father. Siapa dia? Bisa ditebak dengan mudah.

Yang menarik untuk kita cermati, terdapat dasa muka dalam diri God Father. Yaitu, berwajah mantan penguasa dan para anteknya di lingkaran kekuasaan, juga wajah-wajah yang kita kenal dengan sembilan naga. Persekongkolan bandar politik dan bandit politik ini memudahkan gerakan massif yang demikian massif dan ekstensif. Dan dalam waktu relatif singkat. Seperti remote control. Dipencet langsung on.

Wajah-wajah bandit itu – sebagai hal kedua – dapat kita cermati pada kekuatan eksteral yang sakit hati karena kepentingan bisnisnya diganggu. Belum lama ini, korupsi di Pertamina hampir Rp 1.000 triliun berhasil terkuak. Beberapa aktornya sudah menjadi tersangka. Bahkan, sang raja mafia migas (Reza Chalid) juga sudah dinyatakan sebagai tersangka, meski kini berstatus DPO. Ketiga kekuatan itu menampak jelas pada dinamika politik nasional yang demikian keruh.

Mencermati eskalasi kerusuhan yang tidak lagi murni unjuk rasa moral, bagaimana POLRI harus bertindak? Pada tanggal 25 Agustus, kita saksikan sistem pencegahannya masih standar-prosedural. Di samping pemagaran kawat berduri, juga barikade tameng dan gas air mata. Namun, pada tanggal-tanggal berikutnya, sudah beda wajah-wajah yang dihadapi. Tuntutan pun berubah, dari sekedar suara pembubaran DPR menjadi turunkan Prabowo.

Yang menarik untuk kita cermati, massa juga menyerbu bahkan menjarah beberapa rumah anggota DPR dan rumah Sri Mulyani yang dinilai tidak empati terhadap penderitaan rakyat. Model penjarahan ini baru pertama kali dalam sejarah unjuk rasa di Tanah Air ini. Tapi, kita bisa memahami kemarahan rakyat, karena krisis empati sejumlah pejabat tinggi negara ini memang sungguh menginjak-injak martabat rakyat. Namun demikian, data di lapangan menunjukkan, para penjarah tak terlihat baju almamater kampus atau baji kebesaran perserikatan buruh. Tapi, masyarakat entah dari mana. Tak dikenali identitasnya.

Di satu sisi, kita bisa mencatat, wajah-wajah penjarah karena memang kondisi tekanan ekonomi. Namun demikian, terlihat mobilisasi massa penjarah. Mayoritas mereka, bukan warga setempat dari target rumah yang dijarah. Yang unik lagi, anggota Dewan seperti Pasha “Ungu”. Dia yang tak tampak jogged-ria seperti Eko Patrio dan Uya Kuya juga menjadi sasaran penjarahan, padahal Pasha juga tak melontarkan komentar kata-kata seperti Nafa Urbah atau Ahmad Sahroni yang nyinyir itu.

Dapat kesimpulan, penjarahan tampak diset up sebagai upaya membangun destabilitas nasional. Dan set up ini sudah disampaikan mantan Panglima TNI: Gatot Nurmantyo kepada Prabowo.Sekali lagi, unjuk rasa anarkis dan penjarahan yang meluas itu terjadi setelah terviral luas #hastagbubarkandpr atau #hastagturunkanprabowo dan hastag-hastag lainnya yang bisa ditelusuri melalui tweeter pemiliknya.

Fery Irwandi, seorang ahli IT jebolan Monash University, mencoba mentracking #hastag-hastag tersebut. Hasilnya mengarah pada kelompok partai tertentu (PSI) yang memang sehati dengan Gibran. Maklum, Ketua Umumnya memang adik kandungnya. Kita perlu mencatat, dengan dukungan Geng Solo (di dalamnya istana dan kabinet serta anasisr oligarki dan boss-boss mafia migas), maka kekuatan perlawanannya menjadi powerful. Di atas kertas, Prabowo bisa jatuh. Inilah target politik (makar), yang – secara konstitusional – akan mengantarkan Gibran menggantikannya.

Prabowo sebagai mantan elit tentara tentu membaca gerakan persekongkolan itu. Dan dirinya sudah menegaskan tak akan mundur dari kekuatan komplotan itu. Siap menyikat. Tentu dengan instrumen hukum. Di sinilah kita bisa melihat kecerdikan Prabowo. Untuk mengendalikan situasi nasional, Prabowo meminta Menteri Pertahanan, Syafrie Samsudin dan memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengambil tindakan tegas pemulihan keamanan.

Penunjukan Prabowo terhadap Menhan bermakna ganda. Pertama, Kapolri dan Panglima TNI – seperti kita ketahui bersama – bagian dari Geng Solo. Setidaknya, dua sosok ini dipelihara Jokowi. Agar perintah pengamanan dan pengendaliannya efektif, kedua pimpinan puncak di bidang pertahanan dan keamanan ada dalam pengawasan atau instruksi langsung Menhan. Kok tidak langsung Presiden? Berbagi tugas. Dan itulah strategi.

Makna krusial dari penunjukan Prabowo terhadap Menhan adalah menatap validitas apakah di antara petinggi keamanan dan pertahanan steril dari skenario Geng Solo ini atau memang terlibat, meski dalam bentuk pembiaran? Dalam hal ini Prabowo tetap hati-hati. Tak mau terkecoh oleh desakan publik yang meminta pencopotan Kapolri dan atau Panglima TNI.

Langkah Prabowo dapat kita pahami bahwa dalam satuan Polri banyak yang brengsek. Setidaknya menjadi alat kekuasaan dan “penyembah buta” terhadap Jokowi. Dan tak dapat disangkal, di zaman Jokowi inilah martabat Polri diacak-acak. Marwahnya dirusak dan dijatuhkan. Namun, kondisi itu tak boleh dijadikan landasan generalisasi negatif bagi seluruh satuan Polri. Fakta bicara masih banyak satuan keamanan yang tetap setiap pada doktrin Bhayangkara. Mereka yang tetap in the track pada fungsinya tentu harus dijaga marwahnya.

Karena itu, #hastagbubarkanpolri merupakan agitasi yang justru akan menghancurkan negara itu sendiri. Sebab, akan seperti apa negara tanpa kepolisian. Bangrangkali, untuk menertibkan kiprah dan perilaku Polri yang nakal, harus berangkat dari reformasi kebijakan melalui perubahan UU kepolisian yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.

Tupoksi Polri akan digiring secara dominan ke pemberantasan korupsi dan mafianya. Sebagai partner kejaksaan, terkait urusan narkoba. Polri juga bisa lebih maksimal dalam menjalankan fungsi urusan pelayanan pengayoman masyarakat. Untuk membangun reorientasi baru ini, pada akhirnya, perlu dilakukan restrukturisasi kelembagaan Polri dan personalianya pada track kenegaraan yang benar. Penataan kembali ini sekaligus untuk menyisir dan menertibkan mana satuan Polri yang brengsek dan mana yang taat asas. Dengan demikian, akan muncul wajah baru POLRI yang bermartabat: digandrungi masyarakat dan sejalan dengan kebutuhan negara.

Harus dari manakah restrukturisasi itu? Secara teoritik, dari “kepalanya”. Tapi, karena virusnya sudah sistemik dan menggurita, maka tidaklah cukup dengan mengganti kepalanya, tapi harus berangkat dari sistem. Tampaknya, inilah persoalan yang dipandang Prabowo, sehingga tak buru-buru mencopot Kapolri Sigit Sulistyo Prabowo, meski tercatat sebagai bagian dari Geng Solo. Wallahu `alam.

Bekasi, 6 September 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K